Dalam Riuh Karnaval Kelisanan
Damhuri Muhammad
-->
(versi cetak artikel ini telah tersiar di harian Kompas, Jumat, 7/12/18)
Pada
sebuah kuliah Filsafat Bahasa, saya bertanya tentang arti kata mengamankan dan menertibkan. Rata-rata mahasiswa menjawab, mengamankan berarti memberi rasa aman, atau menjauhkan dari ancaman.
Dalam aksi massa terhadap terduga pencopetan misalnya, lazim digunakan kalimat
“aparat telah mengamankan pelaku.” Sementara untuk menertibkan, hampir semuanya merujuk pada makna denotatif; aktivitas
mengatur atau menata sesuatu yang semula semrawut. Mahasiswa yang menjadi responden survei
kecil-kecilan itu adalah generasi kelahiran 1998 ke atas, yang berarti di masa
kejatuhan Orde Baru masih bayi. Itu sebabnya, tidak ada yang punya ingatan
tentang konotasi mengamankan dengan
aktivitas menangkap atau membekuk dengan cara-cara mengerikan. Begitu
pula dengan makna menertibkan, tak
ada imajinasi tentang perlakuan “menggusur secara paksa” atau “melibas massa dengan
gas air mata.”
Demikian kiranya riwayat bahasa dari
masa ke masa. Di tangan bayi-bayi masa Orde Baru, konotasi “mengamankan” dan “menertibkan”
telah kembali pada pangkal denotasinya, kamus kembali bekerja, dan dua kata itu
selamat dari konotasi yang menyeramkan.
Anak-anak muda--yang kebetulan mahasiswa saya itu--tidak tahu
bahwa konotasi terma “stabilitas, ”subversif,” dan “pembangunan” yang hampir menjadi “tahayul” di
masa Orba tak mungkin mengemuka, karena yang
boleh muncul hanya denotasinya. Bila menggunakan ungkapan penyair Afrizal
Malna, makna-makna tunggal itu dijaga ketat oleh tentara.
Tapi, itu datang dari masa kelam pengalaman
memaknai language games yang menurut
filsuf Ludwig Wittgenstein (1889-1951), akan mengalami pergantian aturan (rule of game) seiring dengan perubahan
zaman. Di era media sosial, kata-kata berhamburan
bagai telur-telur yang menetas saban siang, dan tak ada yang denotasinya
dikawal oleh “polisi” morfologi. Warganet leluasa menggunakan diksi, bebas
menyingkap tafsir pejoratif atas kata-kata yang bergentayangan di Twitter, Instastory, Facebook, WhatsApp. Dari kebebasan memungut makna di
rimba kata itu, saling berbalas status cadas, saling menyindir, hingga aksi
blokir-memblokir jejaring pertemanan adalah situasi yang biasa terjadi.
Ilustrasi: www.malangtimes.com |
Frasa sederhana dan kalimat popular
semacam Kelar Idup Lo, Situ Waras? atau Masyuuuk
Pak Eko, adalah contoh dari perayaan kelisanan, hingga pada akhirnya
memerlukan kamus spesifik guna menyingkap horison kontekstualnya. Ketiganya bagai
pisau bermata tiga. Bisa bercorak ofensif untuk mengudarakan sebuah isu baru,
bisa pula defensif guna menahan diksi-diksi bernada menyerang, tapi bisa pula
berposisi sebagai alegori atau satir yang menghibur, hingga apa saja komentar
yang muncul dapat dikait-kaitkan dengan pilihan frasa atau kalimat popular itu,
guna menggapai keriangan dalam suasana yang senantiasa menegangkan.
Gelombang kelisanan itu rupanya
menimbulkan hempasan yang cukup mengguncang atmosfir komunikasi politik
menjelang Pilpres 2019. Arena kontestasi bagai dikepung oleh perayaan tafsir konotatif
atas narasi yang berasal dari kedua kontestan. Indikasinya tampak sejak
munculnya kalimat Tempe Setipis Kartu ATM.
Kalimat yang bersumber dari pernyataan Cawapres Sandiaga Uno itu telah
membiakkan banyak kemungkinan makna. Ada yang menyikapinya sebagai alegori, lantaran
bahan baku kedelai impor kian mahal--yang berakibat pada meningkatnya biaya
produksi--maka untuk menjaga stabilitas harga, ukuran tempe ditipiskan
hingga mencapai ketipisan kartu ATM. Ada pula yang membangun konotasi, tak
gampang mengimajinasikan ketipisan tempe yang setara dengan ketipisan kartu
ATM, tapi karena Sandiaga yang berasal dari keluarga berada, sedari kecil hanya
mengenal kartu ATM, sampai di situlah
imajinasinya tentang ukuran ketipisan tempe. Tak sedikit pula warganet yang
berkomentar, itu hanya diksi-diksi jenaka yang sengaja dilepaskan guna mendongkrak
popularitas Sandiaga yang dalam hitungan survei masih minim.
Lalu muncul diksi “Sontoloyo” yang
berasal dari Presiden Joko Widodo--kebetulan berstatus Capres petahana. “Sontoloyo”
dibaca sebagai tanda semiotik yang mengacu pada kelayakan atau ketaklayakan
seorang Presiden menggunakannya. Sudah dijelaskan berkali-kali, Jokowi hanya
sedang menggunakan kiasan untuk sejumlah pihak yang menurutnya tidak fair dalam melihat itikad baik dari
rencana kebijakan tentang Dana Kelurahan.
Diksi Sontoloyo juga tak menanggung beban makna yang berat. Presiden
Sukarno pernah menggunakannya sebagai kiasan yang tak mendistorsi reputasi Presiden
sebagai Kepala Negara. Tapi dalam arus kelisanan yang begitu deras, tafsir pejoratif
dapat dirancang dengan berbagai argumentasi yang seolah-olah tersimak
meyakinkan, hingga kemudian memicu polemik berkepanjangan.
Tafsir pejoratif juga muncul atas diksi Genderuwo dan yang terkini Tabok
dari Jokowi, Tampang Boyolali dari
Prabowo Subianto, Buta-Tuli dari KH
Ma’ruf Amin. Barangkali sudah lumrah bahwa imajinasi tentang makhluk Genderuwo
digunakan sebagai cara orang tua menakuti-nakuti anak-anak, supaya tak bermain
hingga larut senja. Dalam horison pernyataan Jokowi, kebetulan ia hendak
menganalogikan orang-orang yang gemar menakuti-nakuti rakyat dengan kabar yang
tak dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Misalnya tentang ramalan Indonesia
bakal ambruk, atau Indonesia akan bangkrut lantaran rapuhnya fundamental
ekonomi, padahal tak ada yang perlu ditakutkan, karena menurut Presiden, setiap
potensi masalah telah dipikirkan matang-matang, dan penyelesaiannya dikerjakan
dengan perhitungan yang prudent dan prinsip kehatian-hatian.
Maka, alih-alih takut, seyogyanya yang
dihembuskan adalah optimisme dan harapan-harapan baru bagi kegemilangan
Indonesia di masa depan.
Capres Prabowo Subianto pun tak luput
dari hempasan badai kelisanan sebagaimana yang dialami Jokowi, Sandiaga, Ma’ruf
Amin. Frasa “Tampang Boyolali” yang
semula hanya dimaksudkan sebagai pengamsalan sederhana tentang inferioritas bangsa kita di hadapan
para pemodal asing, kemudian mengalami penyimpangan makna yang mengarah pada
asumsi tentang penghinaan atas anak-anak bangsa, terutama yang tanah
kelahirannya di Boyolali, Jawa Tengah. Polemik tentang “Tampang Boyolali”
sampai menghabiskan waktu berhari-hari hampir di semua platform media sosial. Hal serupa juga dialami oleh Cawapres Ma’ruf
Amin lantaran diksi “Buta-Tuli” yang semula dimaksudkan sebagai amsal dari sebuah
kisah dalam Alquran, tentang orang-orang yang telah buta hatinya dan ditulikan
pendengarannya. Tak ada tendensi menyinggung, apalagi menghina fisik. Namun, pesan
yang dibelokkan sebelum tiba di tujuan, dapat dikapitalisasi guna mendegradasi
moralitas produsennya. Berhari-hari pula linimasa dikepung oleh perdebatan yang
jauh dari gagasan dan program-program kerja untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Karnaval kelisanan mungkin tak dapat
dielakkan, tapi apakah marjin elektoral bisa diraih hanya dengan skor kalah-menang
di gelanggang pertarungan tafsir pejoratif atas narasi kedua kontestan? Bila yang
sedang diperebutkan adalah pemilih usia 17-34
tahun--disinyalir berjumlah puluhan juta dan dikalkulasi sebagai
kunci kemenangan--apakah sudah terkonfirmasi mereka
terpikat pada politik kelisanan yang nyinyir dan tak bermutu itu? Bahasa mereka
tidak rumit, tidak polemis, bahkan hanya bahasa visual, atau semacam emoticon dalam percakapan daring. Karnaval
kelisanan hanyalah tamasya kata-kata yang tak mengundang minat mereka. Habis-habisan
berdebat soal Tempe setipis ATM,
Sontoloyo, Tampang Boyolali, Buta-Tuli? Baper ah…
Comments