Ikhtiar Mengikis Kedengkian
Damhuri Muhammad
(versi cetak artikel ini tersiar di Harian Kompas, Selasa, 6 Agustus 2019)
Ada
pengalaman tak lazim di sebuah Musholla kecil, wilayah Beji-Depok (Jabar),
terutama saat kultum selepas subuh. Jamaah khusyu’
mendengar tausiah pendek yang disampaikan oleh entah siapa. Disebut “entah
siapa,” karena narasumbernya langsung saja berkisah tentang perjalanan ribuan
laron menuju pusat cahaya, tanpa mukaddimah, juga tanpa pengantar ta’mir Musholla. Tak ada pergeseran posisi
duduk jamaah dari posisi selepas shalat subuh. Hijab pembatas shaf laki-laki
dan shaf perempuan pun tak disingkapkan, hingga jamaah ibu-ibu hanya dapat
menyimak audio dari pengeras suara, tanpa bertatap muka dengan ustadz. Demikian
pula dengan jamaah laki-laki. Dalam posisi bersimpuh yang belum berubah, mereka
hanya melihat sedikit pergeseran kabel mikrofon yang secara perlahan diarahkan
ke tempat duduk ustadz, yang rupanya akan bertugas pagi itu. Tausiah tak
disampaikan di mimbar yang sebenarnya tersedia di samping mihrab. Ustadz tetap duduk
dalam posisi semula, bersamaan dengan jamaah shaf pertama.
Namun, tamsil alegorik yang
menggambarkan petualangan panjang para salik
menuju hadirat Tuhan, melalui cerita tentang
kawanan laron yang patah sayap sebelum tiba di pusat cahaya, atau tentang
seekor laron yang hangus terbakar lalu tiada, dalam pusaran cahaya yang sudah
lama dirindukannya, mengalir begitu khidmat. Tanpa nada berteriak-teriak atau
seperti membentak-bentak sebagaimana yang lazim terjadi pada dakwah mimbar. Tak
ada bisik-bisik, tak ada pula yang menguap lantaran mengantuk. Semuanya
menunduk dan terhanyut dalam kisah laron menuju pusat cahaya, yang dinukilkan
ustadz dengan bahasa yang menggugah perasaan.
![]() |
Ilustrasi: www.artmajeur.com |
Usut punya usut, ternyata ta’mir Musholla itu sudah cukup lama
menggelar dakwah non-mimbar semacam itu. Konon, metode itulah formula baru yang
mereka sepakati setelah berdiskusi panjang tentang semakin tak efektifnya
dakwah mimbar, terutama dalam implikasinya terhadap moralitas jamaah. Dalam
beberapa halaqah diskusi selepas maghrib,
sejumlah pengurus yang rata-rata santri muda itu, kerap melontarkan otokritik
terhadap model dakwah mimbar yang mereka sebut dengan “ngaji kuping.” Kuping
saja yang mendengar, sementara hati, absen. Itupun bagi yang tak mengobrol
dalam bisik-bisik atau yang tak mengantuk.
Aspek mobilisasi massa mungkin masih
dapat diraih oleh dakwah mimbar, tapi seberapa jauh implikasi etisnya terhadap
kesalehan sosial umat? Banyak orang
boleh jadi berkenan hadir pada majelis ta’lim, apalagi bila narasumbernya
ustadz-ustadz beken dengan channel youtube
di atas 5 juta subscriber. Jamaah
tentu menikmati guyonan-guyonan khas
ustadz “seleb”. Namun, sepulang dari tabligh akbar, tak ada yang berubah. Ghibah jalan terus, intensitas hasad tak reda, riya’
dan takabur tak kunjung lenyap. Pendeknya, biduk
lalu kiambang bertaut. Saat mendengar ceramah, seolah-olah akan bertaubat,
tapi kenyataannya tak ada yang sungguh-sungguh berubah. Tak ada ihsan yang terpancar dari keinsyafan
yang sebentar belaka.
Lain jamaah subuh di Depok, lain
pula pengalaman jamaah Jumat di sebuah Masjid dalam lingkungan kompleks
perkantoran, sebagaimana pernah diceritakan oleh Sidarto Danusubroto (2018)
pada sebuah diskusi. Saat itu, suara azan telah berkumandang. Samar-samar
terdengar mukaddimah sebuah khutbah, pertanda khatib sudah naik mimbar. Tapi,
sejumlah karyawan masih bergerombol di beberapa koridor dan pelataran, sembari
mengobrol atau sekadar mengutak-atik tombol-tombol virtual di perangkat gadget masing-masing. Belum ada
tanda-tanda mereka akan bergegas menuju masjid terdekat guna menunaikan shalat
Jumat. Pemandangan ganjil itu selalu berlangsung setiap Jumat. Setelah
berkali-kali ditelusuri, ternyata mereka tak sedang melalaikan kewajiban, tapi
sekadar menunda kehadiran di rumah Tuhan, hingga prosesi khutbah selesai, dan
sang khatib turun dari mimbar.
Apa pasal? Isi khutbah itulah pangkal
soalnya. Dengan suara yang berapi-api, mulut berbusa-busa, khatib meneriakkan
klaim-klaim kebenaran. Dengan bahasa yang keras dan sarkas, khatib menuding
orang-orang yang berbeda iman sebagai kaum sesat dan kafir. Seperangkat dalil ditartilkan, dengan segenap tafsir dangkal, yang lebih
terdengar sebagai cercaan dan makian ketimbang kedalaman kajian yang bernas dan
menyejukkan. Dakwah yang semestinya berisi himbauan dan ajakan untuk
meningkatkan kualitas iman, dan menyebarluaskan pesan-pesan perenial keislaman
sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat
bagi semesta alam) beralihrupa menjadi bahasa kebencian, bahkan ancaman yang mengerikan.
Eksklusivisme yang sedang mewabah itu
kemudian terdukung oleh dunia digital dengan media sosial sebagai jantungnya.
Dari pagi hingga pagi kembali, kita bagai dikepung oleh narasi-narasi keras
yang tersiar secara massif. Laman-laman akun pribadi, linimasa facebook, twitter, instagram, hingga
grup-grup WhatsApp penuh sesak oleh
himbauan bernada propaganda, bahkan dalam batas-batas tertentu--meminjam istilah Donny Gahral Adian--bisa terjerumus pada agitasi atas nama
kitab suci, yang dalam beberapa tahun belakangan telah menimbulkan sejumlah
potensi kegentingan.
Atas dasar itu, barangkali jalan keberagamaan yang lemah-lembut
menjadi penting dan relevan. Apa yang direkomendasikan dan secara terukur telah
diikhtiarkan oleh Haidar Baqir melalui gerakan Tasawuf: Mazhab Cinta agaknya perlu dipertimbangkan. Sebagai
peneliti Sufisme Islam--yang
langsung menimba ilmu dari pakar semacam Annemarie Schimmel (1922-2003)--melalui buku-buku pengantar tasawuf yang
sudah terbit sejak 2015, Haidar melakukan simplifikasi gagasan-gagasan tasawuf-falsafi, agar mudah dicerna oleh
semua kalangan, dan langsung dapat diamalkan dalam aktivitas keseharian.
Pendekatan praktis ini terasa pada dua
buku yang ditulis Haidar, yaitu Belajar
Hidup dari Rumi; Serpihan-serpihan Puisi Penerang Jiwa (2015) dan Dari Allah Menuju Allah; Belajar Tasawuf
dari Rumi (2019). Kedua buku itu berisi dasar-dasar pemahaman tentang mujahadatunafs (upaya keras melawan hawa
nafsu) dan riyadhah (latihan ruhani
guna menggapai kesucian hati) dalam safari spritual menuju hadirat Tuhan, berdasarkan tafsir atas puisi-puisi terpilih dari Mastnawi
karya besar Maulana Jalaludin Rumi (1207-1273). Keduanya juga menjadi rujukan dalam
episode-episode tausiah dua menit di channel youtube yang ia namai Tadarus
Rumi. Tak hanya itu, Haidar juga sering mengunggah serpihan-serpihan
tafsirnya terhadap puisi-puisi Rumi di akun twitter pribadi, dengan followers ratusan ribu orang dan respons
yang sangat antusias.
Orientasi gerakan Tasawuf; Mazhab Cinta adalah memastikan wujud ihsan sebagai puncak pengalaman
keislaman dan keimanan. Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan, keislaman dan
keimanan umat tak perlu lagi diragukan, tapi apakah Islam dan Iman tersebut dapat
memuncak dengan terpancarnya Ihsan? Dalam buku terkininya, Mengenal Tasawuf; Spritualisme Dalam Islam (2019),
Haidar menguraikan pemahaman Ihsan
sebagai moralitas yang sudah steril dari egoisme, hati yang sudah bersih dari nafs al-ammarah bi al-su’ (nafsu rendah
yang terus mendorong ke arah keburukan), dan sebagai gantinya adalah rasa cinta
kepada Allah dan kepada sesama makhluk-Nya.
Suluk yang ditempuh dengan mujahadatunafs
dan berbagai riyadhah guna meraih
kesucian hati hingga tersingkap sebagai ruang tajalli-nya Tuhan, merupakan pilihan etos keberagamaan yang menekankan
dimensi eros (kerinduan pada Tuhan)
guna menyempurnakan orientasi fiqh.
“Langit dan bumi tak mampu menampung-Ku,” demikian firman Tuhan rujukan favorit
para sufi, “Yang mampu menampung-Ku adalah hati orang Mukmin.” Menurut Haidar,
teks itu relevan dengan puisi Rumi yang berbunyi; Jiwa adalah cermin bening. Tubuh adalah debu di atasnya. Kecantikan
dalam diri tak tampak, karena kita tersuruk di bawah debu. Begitu tamsil Rumi
perihal hati yang keruh oleh dengki, benci, takabur, riya’ dan semacamnya, yang di era pasca-fakta ini sedang menjadi
kebiasaan, sebagaimana kebiasaan berkumur-kumur saban pagi. Jalan tasawuf hendak
mengikis dan memusnahkannya dengan kedalaman cinta yang tiada berhingga…
Comments