Asap yang Pandai Menyimpan Api
Damhuri Muhammad
(Versi cetak artikel ini tersiar di harian Riau Pos, September 2015. Bertepatan dengan bencana asap
yang melanda wilayah Riau, dan Sumatera pada umumnya)
Dalam sebuah kisah bertajuk Yang Datang dari Negeri Asap (2014), sastrawan yang bermukim di
Pekanbaru (Riau), Hary B Kori’un, secara satir sekaligus dramatik,
mendeskripsikan sosok Alia, perempuan belia yang tiba-tiba muncul dari gumpalan
asap. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Melangkah perlahan-lahan menyusuri trotoar.
Jalan tampak memutih. Asap di mana-mana. Konsep waktu terhisap dalam kepungan
asap yang tak kunjung menipis. Pagi, siang, atau petang tak dapat lagi
dibahasakan. Raut muka orang-orang yang lalu-lalang tersembunyi di balik
masker. Dari kejauhan, busana mereka tampak seragam dalam warna kelabu, karena
terselubungi oleh warna asap yang tak mungkin dielakkan.
Bilamana mata batin seorang sastrawan
telah mencurahkan penglihatannya guna memonumentasikan sebuah peristiwa, dapat
dipastikan itu bukan peristiwa yang biasa, apalagi peristiwa remeh-temeh. Kabut
asap--sebagaimana
yang kini tengah melanda Riau, Sumut, Jambi, Sumsel, dan berdampak sangat parah
di seantero Sumatera--yang menjadi pusat perhatian
sekaligus panggilan penciptaan sastrawan itu tercatat sudah berkali-kali
terjadi, terutama sejak 1990-an, dan tak tertuntaskan hingga kini. “Seperti
tamu tahunan yang tak pernah lalai berkunjung ke kota kami,” demikian keluhan seorang
sejawat di Riau. Sedemikian terbiasanya kawan-kawan di Sumatera menghadapi
bencana kabut asap, komikus Iggoy el-Fitra, dalam serial komik Si Bujang (2015) mengabadikan jawaban
Asya (karakter perempuan balita) setelah Si Bujang bertanya; Asya kalau udah besar mau jadi apa?
Secara spontan dan lugas Asha menjawab, Mau
jadi petugas pemadam kebakaran, Om Bujang. Biar bisa ikut padamkan kebakaran di negeri
ini.
Inilah petaka yang hampir niscaya di kampung
halaman imajiner Alia, seperti ternukilkan dalam kisah tragik karya Hary B Kori’un.
Oleh karena sedemikian kerapnya kabut asap melanda, dengan sangat yakin Alina
berkabar pada kekasihnya, bahwa orang-orang di kampung kelahirannnya tidak
perlu makanan. Sebab, asap telah menjadi asupan nutrisi mereka. Vitamin,
karbohidrat, dan serat sudah terkandung dalam asap. Sepintas lalu, mungkin
terdengar mengada-ada, main-main, dan berlebihan. Namun, bila ditimbang
dengan kepayahan ratusan ribu bahkan jutaan warga Riau, Sumut, Jambi, Sumsel
dalam menghadapi bencana kabut asap sejak beberapa hari belakangan ini, Hary B
Kori’un seolah-olah telah menujumkan kabar perihal musibah besar itu, jauh-jauh
hari sebelumnya.
Sejumlah penerbangan ke Sumatera terpaksa
dibatalkan. Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru sempat lumpuh beberapa
hari. Jarak pandang hanya dalam hitungan ratusan meter. Indeks Standar
Pencemaran Udara (ISPU) dinyatakan telah masuk kategori tidak sehat.
Sekolah-sekolah diliburkan hingga batas waktu yang belum dapat ditentukan. Aktivitas
perekonomian sudah pasti terganggu dan mengakibatkan kerugian yang tidak
sedikit. Pendek kata, asap dapur saudara-saudara kita di Sumatera nyaris padam
karena dihantam oleh kepulan demi kepulan asap yang berembus dari hutan
belantara. “Pejabat makan suap, pengusaha makan kakap, rakyat makan asap,”
demikian salah satu narasi keprihatinan yang di-posting
seorang
netizen di media sosial Instagram dengan tagar #masihmelawanasap. Solidaritas
bermunculan dari segenap penjuru republik ini. Himbauan agar pemerintah pusat
segera turun tangan mengalir deras, hingga presiden pun cepat-tanggap, lalu
terjun langsung ke sejumlah titik api di wilayah Sumsel.
“Di mana ada asap, pastilah di situ ada api,” bukankah begitu petuah dan nasihat yang kita
dengar sejak masa kanak-kanak? Namun, kearifan lapuk itu kini terdengar kian
samar dalam nyala api di semak-semak belukar hutan Sumatera. Tak dapat
disangkal bahwa tak ada cara yang lebih cepat dan jitu dalam membuka lahan baru selain dengan cara membakar. Di masa
silam para tetua kita juga menggunakan cara serupa. Tapi tak sekalipun sejarah
mencatat, bahwa api yang mereka nyalakan merembet ke mana-mana, apalagi menjadi
penyebab dari bencana kabut asap sebagaimana kini. Hutan liar yang mereka
rambah cukup untuk kebutuhan kebun dan ladang sendiri, dan mereka tak pernah
lupa menyisakan lahan yang bakal diwariskan pada anak-cucu di kemudian hari. Asap
yang mereka buat adalah asap yang jelas asal-usul apinya. Api yang mereka
kobarkan sangat gampang dipadamkan. Segampang mereka memadamkan kobaran gejolak
keserakahan yang bersemayam dalam diri setiap manusia.
Sementara asap yang kini telah mengakibatkan
segenap derita dan kepayahan rakyat di republik ini, adalah asap yang begitu lihai menyembunyikan api. Tak ada yang
sungguh-sungguh dapat memastikan dari mana sesungguhnya muasal nyala api itu. Alih-alih memastikan di mana sebenarnya
titik api paling mula, kita lebih gandrung menghitung titik-titik panas yang kita bahasakan secara
canggih dengan hotspot. Kita inventarisir
dari hari ke hari, kita catat perkembangannya dengan tekun dan saksama, lalu kita
kaji secara mendalam dan komprehensif dengan berbagai pendekatan saintifik.
Sementara saudara-saudara kita di Sumatera semakin sesak napasnya, semakin
rabun penglihatannya, semakin lumpuh
daya-upayanya.
Jangan-jangan tabiat kita dalam urusan bakar-membakar
ini telah ditunggangi sejak lama oleh api ketamakan guna menumpuk keuntungan
sebesar-besarnya, dan karena itu kita mesti membakar hutan seluas yang kita
dambakan, tanpa mempertimbangkan ada rejeki orang lain yang terlindas
karenanya. Ada hak-hak hidup orang lain yang kita renggut secara sadar dan kasar. Membuka
lahan baru tidak lagi sekadar cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
sebagaimana etos orang-orang di masa lalu, tapi didorong oleh keinginan hendak menumpuk
keberlimpahan yang tak berhingga banyaknya. Kaya yang mahakaya, dan kita tidak
lagi peduli, ada jutaan orang yang lantaran bencana kabut asap ini, hampir tidak
bisa memastikan apakah esok pagi asap dapur mereka masih dapat mengepul, atau
justru bakal pudur selamanya?
Mungkin itu sebabnya, bencana asap selalu dan
selalu saja berulang. Sepanjang kita tidak beritikad memadamkan kobaran api
keserakahan homo economicus yang terus
menyala di lahan-lahan industri
perkebunan, maka seperti telah dinujumkan oleh sastrawan Hary B Kori’un di kampung
halaman imajiner Alia, saudara-saudara kita di Sumatera juga akan meniscayakan
asap sebagai asupan nutrisi mereka saban musim kemarau. Balita-balita mereka
akan semakin tegas bercita-cita hendak menjadi petugas pemadam kebakaran, kelak
bila mereka sudah dewasa. Agar mereka dapat berkhidmat memadamkan api yang tak
sudah-sudah menganiaya hutan belantara kita. Agar mereka dapat menghadang
gempuran asap yang dari tahun ke tahun semakin pandai menyimpan api. Bukan api biasa,
tapi api yang berasal dari lelaku ketamakan purba kita...
Damhuri Muhammad
Sastrawan
Comments