Hidup Kita Setelah Pandemi
Damhuri
Muhammad
Tak
lama setelah himbauan penjarakan sosial (social
distancing), atau yang kemudian berubah menjadi penjarakan fisik (physical distancing) dimaklumatkan, unggahan
pose foto bersama di linimasa dari peristiwa pesta pernikahan mengalami trend penurunan tajam, bila tak dapat disebut raib
sama sekali. Sejak penularan Covid-19 merajalela,
jangankan peristiwa pesta pernikahan, sekadar prosesi akad-nikah di hadapan
petugas KUA saja, tak semuanya terpenuhi. Undangan telah tersebar, gedung telah
di-booking, jasa Wedding Organizer (WO) telah dibayar, seragam tuan rumah telah siap
pakai, tiba-tiba semuanya batal lantaran pandemi Corona. Beberapa video viral
berisi peristiwa pembubaran pesta pernikahan oleh aparat memperlihatkan betapa
pandemi itu tidak main-main. Betapa kerumunan orang adalah salah satu penyebab panjangnya
mata rantai penularan, dan karena itu tak ada kompromi, tak ada basa-basi. Semuanya
harus patuh atas nama kegentingan.
Di Bogor, Jawa Barat, samar-samar terdengar
keluhan sepasang pengantin baru, yang sejatinya telah merelakan pembatalan
resepsi dan hanya akan menjalani prosesi akad-nikah secara cepat tanpa
kerumunan, tapi ia tetap menyesali situasi yang tak normal itu. Betapa tidak?
Pasangan itu tak akan punya dokumentasi atas kenangan berharga dalam tarikh
keluarganya, tak akan ada ucapan selamat dari sahabat dekat, tak ada pelukan
hangat dari karib-kerabat, termasuk nasihat dan doa-doa selamat dari para guru
dan orang-orang terhormat. Kalau masih mungkin membuat dokumentasi penting, itu
tak lebih dari pose formal-seremonial kedua mempelai bersama keluarga dari dua pihak
bersama petugas KUA. Tampak muka memang, tapi hidung, mulut, hingga dagu
tertutup masker. Kelak, pose bersama orang-orang “bertopeng” itu tak akan
banyak berguna. Sebab, raut muka riang di hari bahagia tak akan terpancar
sempurna tanpa ekspresi senyum yang terang-benderang. Raut muka apa yang dapat
dibaca dari mulut terbalut masker?
Lain peristiwa pernikahan yang
sakral dan istimewa itu, lain pula pose bersama dalam grup reunian yang
sebelumnya membanjiri linimasa. Kegandrungan berkumpul dengan teman-teman di mall, restoran, café, atau ruang-ruang
publik lainnya, juga bagai raib dari peredaran. Bila masih ada yang nekat mengunggah
pose-pose terkini dari kegitan reunian rutin, mungkin ia termasuk netizen yang kebal dari sinisme,
komentar miring, bahkan caci-maki. Konten-konten visual yang diproduksi dari berbagai aktivitas komunal sedang terhenti.
Tak ada visual tentang syukuran rumah baru, syukuran kelahiran bayi pertama, syukuran
khitanan putra semata wayang, atau sekadar visual arisan rutin yang biasanya
bergilir dari rumah ke rumah.
Background
ruang publik pose selfi
yang biasa padat manusia, kini sepi
dan mencekam. Pintu masuk pusat-pusat perniagaan hanya dijaga satu-dua petugas.
Bila sebelum pandemi perkakas mereka adalah detektor logam, kini berganti termometer
tembak, guna memastikan suhu tubuh pengunjung. Hampir semua gerai makanan,
hanya melayani pesanan take a way
alias bawa pulang. Pose-pose personal jelas
tidak diproduksi dalam situasi normal. Sebab, semua warga harus berada di
rumah, tapi karena desakan kebutuhan, mereka harus menembus realitas abnormal.
Dalam masa Work From Home (WFH),
sejatinya warga dapat menggunakam jasa pesan makanan daring, tapi berurusan
dengan kurir bukanlah tanpa risiko. Bila tak terelakkan, kita akan mengandaikan
kurir itu sebagai carrier alias
pembawa virus.
Kurir menyantolkan bungkusan makanan di
pintu pagar, Tuan mengambilnya tanpa kontak fisik sama sekali. Sebelum
membukanya, Tuan akan mencuci tangan lebih dahulu. Bukan Tuan saja yang
“mencurigai” kurir itu sebagai pembawa virus. Kurir itu pun mencurigai Tuan
sebagai “Orang Dalam Pemantauan” (ODP). Petugas keamanan di pusat perbelanjaan
juga akan membaca Tuan sebagai pembawa virus, yang sewaktu-waktu akan menjadi
bagian dari angka-angka dalam statistik pasien positif Covid-19. Di masa
pandemi ini telah sempurna sebuah lingkaran setan kecurigaan dan pusaran ketakutan
yang tak ada ujungnya. Saling curiga, saling waspada, saling menabung
ketakutan.
Para ahli menyebut situasi baru yang janggal ini dengan istilah new
normal. Semacam normalitas yang
ganjil karena kita terbiasa dengan
kenyataan masa kini. New normal akan
kukuh sebagai kenormalan di masa datang. Tak tertutup kemungkinan, normalitas
di masa lalu, juga akan kembali menjadi new
normal di masa setelahnya. Normal dan new normal
bergerak secara bergantian. Bila dipahami secara parsial, kita akan terkepung
dalam ketakutan, seakan-akan krisis terus muncul. Tapi kalau dipahami secara
holistik, pergantian situasi itu tak lebih dari sebuah siklus. Maka, yang
diperlukan hanyalah beradaptasi dengan keadaan new normal itu.
Pada level yang lebih kritis, ada dua
tokoh dunia yang menulis catatan penting perihal masa depan hidup kita pasca
pandemi Corona. Pertama, sejarawan
dan eskatolog kondang asal Israel, Yuval
Noah Harari. Dalam artikel pendeknya The
World After Coronavirus (Maret 2020), Yuval mencemaskan kebangkitan
totalitarisme akibat teknologi pengawasan yang kini sedang bergerak dari
pengawasan “di luar kulit” ke pengawasan “di dalam kulit”. Bila sebelum
pandemi, pengawasan atas warga hanya sebatas preferensi ideologi dan sikap
politik, kegemparan wabah Corona telah membuat setiap warga di dunia harus rela
“ditelanjangi” sedemikian rupa, meliputi suhu tubuh, detak jantung, dan situasi
kejiwaan saat menghadapi keganasan Covid-19. Menurut Yuval, kelak data-data
yang telah dihimpun oleh teknologi komputer berbasis algoritma yang digunakan penguasa itu tak akan dibuang percuma dengan dalih
kedaruratan selanjutnya.
Tokoh kedua, novelis India, Arundhati
Roy. Dalam catatan kritisnya atas
kebijakan lockdown pemerintahan India
yang berujung kacau, ia menyebut pandemi sebagai portal, gerbang yang
memisahkan masa lalu dan masa datang. Dalam artikel bertajuk The
Pandemic is a Portal (April 2020) itu, Roy menjelaskan normalitas di masa
lalu India adalah kebencian rasial, ketamakan penguasa, kerusakan lingkungan, dan
yang terkini adalah nestapa pekerja migran Delhi yang diusir para tuan tanah
dan kaum kelas menengah sejak lockdown
dimaklumatkan. Mereka harus berjalan kaki ratusan kilometer menuju Badaun, Agra, Azamgarh, Aligarh, Lucknow, Gorakhpur, kampung halaman mereka.
Atas nama kedaruratan, media arus utama di India membubuhkan “racun” Covid-19
dalam kampanye anti-Muslim. Organisasi Jamaah
Tabligh yang menggelar pertemuan akbar di Delhi sebelum lockdown, diklaim sebagai super spreader (penyebar kuat). Persepsi jamak yang muncul
kemudian adalah, kaum muslim India sengaja menyebarkan virus itu atas nama
jihad. Memasuki portal new normal pasca pandemi, menurut Roy, apakah warga akan membawa
kompleksitas persoalan masa lalu itu, atau akan melangkah ringan dengan sedikit
barang bawaan, lalu berjuang untuk itu?
Kenyataan
baru di Indonesia tak kalah janggal. Kabar duka dari toa masjid kini tidak lagi
memberi stimulus bagi solidaritas kemanusiaan agar kita berbondong-bondong
mendatangi rumah duka. Justru menghunjamkan ketakutan yang tak terbahasakan. Jangan-jangan
jenazah yang terkapar adalah orang terinfeksi
Covid-19 yang tak melapor. Jangan-jangan ia akan menjadi penyebab
kematian massal di permukiman kita, dan karena itu harus dijauhi. Bila ada
kumandang adzan pertanda waktu shalat, alih-alih
merangsang keinginan untuk berkumpul dan berjamaah, yang muncul sekali lagi
ketakutan. Jangan-jangan suara muadzin itu masih mengundang kerumunan. Jangan-jangan salah satu dari jamaah adalah
orang yang terjangkit virus, dan karena itu permukiman kita bisa dipasang garis
polisi, atau bahkan semua warga bakal digelandang ke ruang isolasi.
Begitulah
pandemi bekerja, memproduksi lingkaran kecurigaan, mendedahkan pusaran
ketakutan. Bukan saja pada abang-abang Ojol tumpangan saban petang, teman-teman
kantor, bakul sayur di depan rumah, petugas pencatat tagihan listrik, tukang
sol sepatu, bahkan pada suami, istri,
dan anak-anak sendiri, kita pun memendam curiga, menabung rasa takut. Menghapus
jejak kecurigaan dan ketakutan selama pandemi melanda tentu tak semudah
membasuh tangan dengan hand sanitizer...
Comments