Louise Glück dan Kenyataan yang Berantakan

 

DAMHURI MUHAMMAD



"Puisi adalah sebuah otobiografi," kata Louise Glück dalam Proofs and Theories (1994), tapi pemenang Nobel Sastra 2020 itu mengakui, "ia harus dikelupaskan tak hanya dari kronologi dan anekdot, tapi juga dari keyakinan pribadi." Bermula dari pengalaman subjektif dan metode analitik, Glück menghela kepenyairannya, yang dalam catatan Rossanna Warren pada Fables of the Self: Studies in Lyric Poetry (2008), dikatakan sebagai jalan puisi "yang berpusat pada diri, tapi tidak memusatkan diri."




Foto: https://www.instagram.com/p/CGaZ81YnHdb/


Sudut pandang dalam membaca Glück, penyair kelahiran New York 1943 itu, sejak dari First Born (1968), The House on Marshland (1975), Descending Figure (1980), The Triumph of Achilles (1984), Ararat (1990), The Wild Iris (1992), Meadowlands (1996), Vita Nova (1999), The Seven Ages (2001), Averno (2006), hingga A Village Life (2009), terkonfirmasi dalam ulasan Reena Sastri, peneliti tradisi lirik dalam Sastra Amerika, di University of Edinburgh, bahwa kecenderungan puisi Glück sering tampak bersifat pribadi atau otobiografik: masa kanak-kanak, pernikahan dan perceraian, hubungan keluarga, dan "dunia dalam" subjek penyendiri. Tapi menurutnya, Glück menyuguhkan topik-topik itu dengan corak puitik yang berbeda. Ia membangun aspek craftmenship dengan mitos, psikoanalisa, dan komitmen terhadap wilayah non-personal. Pada antologi Averno misalnya, Glück mengolah kisah Demeter-Persephone (mitologi Yunani). Dalam banyak karyanya, Glück menulis ulang cerita Yunani, Romawi, dan Yudaeo-Kristen. Menurut Reena, pada sebagian besar puisinya, Glück dapat mencapai titik terdalam dari keterpancangan mitos yang sejatinya sudah lapuk; kelahiran, kematian, penjelmaan, hubungan tak terelakkan dengan perpisahan, yang tak dapat dibatalkan. 


Cara Glück melepaskan otobiografi dari beban kronologi terkonfirmasi oleh temuan Walt Hunter dalam The Many Beginnings of Louise Glück (2020), bahwa puisinya jarang menandai sebuah momen, tak ada referensi politik tertentu, tak pula menegaskan nama terang (propher name). Sebagai misal, Hunter mengutip beberapa penggalan puisi dari antologi Descending Figure yang berbunyi; today above the gull’s call/i heard you waking me again/to see that bird, flying so strangely over the city. Kalaupun ada isyarat perihal momentum, itu tak lebih dari "hari ini" atau katakanlah "pagi ini" (karena berkaitan dengan adegan membangunkan seseorang dari tidur). Alih-alih merinci sebuah kronologi, Glück membenamkan waktu (pagi) dalam keriuhan kicau camar, yang meski terasa sebagai citraan ganjil, karena sulit membayangkan burung laut terbang sampai ke tengah kota. Tapi bagi Hunter, yang ingin dicapai oleh Glück adalah citraan tentang ketumpangtindihan kicau camar dengan suara manusia dalam aktivitas membangunkan seseorang di pagi hari. 

Apa yang baru dari suara seseorang yang membangunkan kita di pagi hari, dan apa yang aneh dari kicau camar? Yang pertama repetisi pengalaman sehari-hari, dan yang kedua adalah persepsi janggal tentang kicau camar di tengah kota dalam momentum yang bersamaan. Suara camar dan suara manusia yang tumpang tindih adalah isyarat tentang kekaburan, atau bahkan kekacauan, di sebuah permulaan hari. Bila berpijak pada momentum non-kronologis, maka relevan kiranya tafsiran Hunter yang ia sebut sebagai permulaan yang berantakan. Tak ada yang jernih dari momentum permulaan tempat banyak orang hendak berpulang (wish to return), karena sejak dari kenyataan yang paling awal, situasinya sudah berantakan, dan tak akan mungkin membahagiakan. Melenyapkan kronologi, tampaknya menjadi salah satu modus Glück, guna membebaskan corak otobiografik dari wilayah personal. Waktu pagi hari adalah milik semua makhluk. Peristiwa mendengar suara samar menjelang terjaga adalah pengalaman komunal.Termasuk ketakjernihan, ketersamaran, kesimpangsiuran, dan semacamnya. 

Atas dasar itu, maka lirisisme dalam puisi Glück tidak sedang mengundang sensibilitas tentang kejernihan dari kicauan camar di pagi hari, atau dari kelembutan suara seseorang yang membangunkan kita dari tidur pulas pada momentum yang sama, tapi hendak membuat citraaan tentang permulaan yang kacau dan tak tergenggam. “Dari dulu saya menyukai kosa kata yang paling sederhana, dan yang membuat saya terpesona adalah kemungkinan konteksnya, lalu cara puisi membebaskan diri dari rentangan makna yang mengejutkan, melalui pengaturan kata, dan penyamaran waktu," kata Glück lagi dalam Proofs and Theories. Mungkin itu sebabnya Glück lebih memilih kaidah sintaksis ketimbang romansa dan sisi musikal dalam puisi. 

Kesederhaaan diksi, sebagaimana diulas Walt Hunter, tampak pada cara penyair pemenang Pulitzer Prize (1993) itu membuka puisi "Ilumination" dengan ungkapan; My son squats in the snow in his blue snowsuit (anakku jongkok di salju dengan pakaian salju birunya), dan puisi berjudul "Happiness" yang ia mulai dengan; A man and woman lie on a white bed (pria dan wanita berbaring di atas ranjang putih). Kedua kutipan itu masing-masing mengandung subjek (anak, pasangan), orientasi (jongkok, berbaring), tempat (salju, ranjang), yang menunjukkan aspek kepengrajinan dan kerja penyuntingan nyaris sempurna. Kedua citraan terasa istimewa bukan karena keanehan atau kebaruannya, melainkan karena kebiasaan, keakraban, dan kelazimannya. Sekali lagi, di sini tak mungkin tertandai momentum yang dapat membawa kita pada kronologi. Cara kerja Glück pada “Ilumination” dan “Happiness" disebut Hunter sebagai puisi yang “dimulai dari dekat.” Mungkin semacam kedekatan, atau kebiasaan mendengar suara orang yang membangunkan kita saban pagi. 

Pada sisi kepengrajinan yang lain, hasrat untuk pulang ke permulaan, dilakukan Glück  dengan penggalian atas mitos, di antaranya kisah lawas Odysseus dan Penelope dalam Meadowlands, atau Persefone pada Averno (2006). Lagi-lagi citraan tentang hasrat menggebu pada tarikh mula-mula, katakanlah kenyataan sebelum Odysseus pergi berperang dan meninggalkan Penelope istrinya selama bertahun-tahun, atau kenyataan sebelum Penelope dilanda derita berkepanjangan akibat penantian yang tak berkejelasan. Jangankan ujung petualangan Odysseus, awalnya saja sudah berantakan, dan tak ada yang sempurna pada momentum permulaan. Dalam catatan Hunter, upaya sia-sia kembali ke pangkal jalan itu dapat dilihat pada puisi Garden dalam The Wild Iris, yang berkisah tentang penolakan subjek aku untuk menuturkan sebuah kisah. I couldn’t do it again/ I can hardly bear to look at it (aku tidak bisa melakukannya lagi/aku hampir tidak tahan melihatnya). Seolah-olah pencerita sedang terbebani oleh pengalaman traumatik yang sedemikian menyiksa. Padahal itu hanya kisah remeh tentang sepasang remaja yang menanam kacang polong di sebuah taman dalam suasana hujan tipis. In the garden, in light rain/the young couple planting a row of peas/as though no one has ever done this before/the great difficulties have never as yet been faced and solved. 

Namun, kesederhaaan adegan itu dikunci oleh Glück dengan menegaskan, seolah-olah (aktivitas menanam itu) tidak pernah dilakukan sebelumnya, karena itu dianggap sebagai kesulitan yang pernah terjadi, dan pasangan muda itu telah menghadapi dan menyelesaikannya. Selanjutnya dikatakan, she wants to stop/he wants to get to the end, to stay with the thing, lalu dimunculkan adegan si laki-laki menyentuh pipi pasangannya, jari-jarinya bergerak dalam dingin musim semi. Peristiwa lepasnya sentuhan jari dari pipi perempuan dicitrakan Glück sebagai pertanda kepergian, yang bahkan sudah terjadi ketika cinta baru saja bersemi. Even here/even at the beginning of love/ her hand leaving his face makes an image of departure. 

Prosa pendek ini bisa saja membawa kita pada narasi besar semacam perjumpaan awal Adam dan Hawa di taman Eden, dan tak lama setelah itu keduanya pun terpisah, menjalani derita kerinduan masing-masing dalam kenyataan dunia yang berbeda dengan asal mula-mula keduanya. Menurut Hunter, pada Garden, Glück menunjukkan, tak ada asal mula yang tak tercemar oleh keadaan tidak bersalah, dan semua permulaan mengandung isyarat kepergian. Di sinilah "kutukan" atas kepenyairan bekerja, senantiasa dikuasai oleh wish to return, padahal kepulangan yang didambakan itu tak lebih dari perjalanan kembali pada kehancuran. 

Bagaimana akan membangun hidup bersama jika di permulaannya saja sudah ditinggalkan? Kejernihan apa yang dapat diraih dalam sejarah mula-mula, kalau kita sudah tahu dan sadar bahwa sebenarnya "yang kini" dan "yang dulu" sama-sama kenyataan yang hancur dan berantakan? Demikian kira-kira pengandaian yang diajukan Hunter atas sebagian besar karya-karya Louise Glück. “I think the only conscious aim is the wanting to be surprised,” begitu respons Glück sebagaimana dikutip Hunter. Bahwa satu-satunya motif yang tersisa hanyalah "keinginan untuk terkejut." Tapi, mungkinkah kita bisa terkejut oleh kehancuran yang sudah diketahui wujudnya sejak mula? 

I open my fingers/I let everything go/visual world, language/ rustling of leaves in the night/smell of high grass/of woodsmoke/I let it go, then I light the candle, tulis Glück dalam Twilight, puisi pembuka pada antologi A Village Life (2009). Glück telah sampai pada titik yang rela melepaskan semuanya. Citraan, bahasa, gemerisik daun di malam hari, aroma rumput, kepulan asap dari perapian kayu, dibiarkan lepas bebas, dipadamkan, lalu sang penyair menyalakan lilin. Tampaknya inilah yang mungkin dapat melunaskan keinginan untuk terkejut itu. Bukan pada kehancuran yang sudah menjadi pakaian sehari-hari, tapi momen-momen ketimpangtindihan antara perjumpaan dengan perpisahan, antara kehidupan dan kematian, antara kebahagiaan dan penderitaan, antara keterusterangan dan ketersamaran, antara menerangi dengan memusnahkan diri... 



DAMHURI MUHAMMAD 
Kolumnis. Cerpenis. 
Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta

Comments

Popular Posts