Benda-benda Aneh dalam Puisi Indonesia

DAMHURI MUHAMMAD






"Bikin saja undian mingguan dari daftar lengkap sastrawan Indonesia. Lima sastrawan terpilih jadi kanon selama seminggu. Semua punya kesempatan. Semua dapat giliran. Semua dapat rejeki," begitu kata Martin Suryajaya dalam orasi sastra di forum Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) III (3 November 2020). Tersimak seperti tutorial pendek guna menyudahi pertempuran panjang para sastrawan Indonesia dalam meraih reputasi kanonik, di masa ketika legitimasi keadiluhungan puisi tidak lagi berada di tangan HB Jassin, tapi dibangun oleh besar-kecilnya engagement dari konten yang mengudara di linimasa, dengan variabel jumlah like, mention, retweet, dan reply. Dengan begitu, rumus-rumus kanonik yang disusun Paus Sastra di masa silam, telah digantikan oleh algoritma media sosial dan content strategy berbasis Search Engine Optimization (SEO). "Tak ada lagi orang penting dalam sastra Indonesia. Semua sastrawan adalah orang penting. Semua orang adalah sastrawan," kata Martin lagi, guna menegaskan ketakberdayaan politik kanonisasi yang sudah udik itu.

Era ketumbangan sastra kanonik, bagi Martin, alih-alih disesali dan diratapi, malah ia rebut sebagai peluang guna membangkitkan bangkai-bangkai yang terkubur selama bermusim-musim, di bawah lantai singgasana rejim lirisisme puisi Indonesia. Nama-nama penyair tak termasyhur ia siarkan, daya ungkap janggal ia pertontonkan, derita tak berkesudahan dari orang-orang yang tersingkir oleh imperium lirisisme ia kisahkan dalam buku terkini berjudul; Terdepan, Terluar, Tertinggal (Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045). Toket tipis/toket panjang/suka pipis/suka sembahyang, demikian bunyi salah satu sajak pendek yang tercantum di halaman 181, dengan tarikh penulisan tahun 2027, karya seorang penyair asal Riau bernama Bustaman Albino. Semacam plesetan tengik dari corak pantun melayu, yang diubah menjadi meme berselera netizen +62.

Foto: Damhuri  Muhammad





Martin tidak mendaku-daku apalagi menegaskan klaim bahwa sajak berjudul Senja di Pekanbaru itu bikinannya, tapi ia skenariokan seolah-olah teks itu temuan tak tersengaja oleh seorang arsiparis cum sejarawan partikelir bernama Sulaiman H, yang sekaligus berperan sebagai penyunting buku setebal 216 halaman itu. Diriwayatkan, Bustaman Albino lahir di Lubuk Muda, Riau pada 1991. Penyair yang sejak kecil bangga dengan kealbinoannya itu di kemudian hari tekun mengolah khazanah pantun melayu lama. Dalam kariernya sebagai penyair tanpa mahkota tanpa piala, ia menyebut karya-karyanya sebagai "Pantun Melayu Albino". Pada tahun 2025, Bustaman Albino mendirikan Asosiasi Penyair Albino, tapi lima tahun kemudian ia tewas dalam baku hantam di forum Silaturahmi Sastrawan Sumatera di Taman Budaya Jambi, 15 Agustus 2030. Disebut-sebut, penyair senior Sumatera Barat Jonjon Johani menghantamkan asbak beling ke pelipisnya hingga Bustaman mengalami gegar otak parah. Penyebab utama baku hantam itu adalah sajak berjudul Di Atas Syair Perahu Motor yang dibacakan Bustaman di podium, dan membuat banyak sastrawan tersinggung. Hai nona syarif bustaman/haluskan ketiak dengan pedoman/alat vitalmu jua kerjakan/itulah jalan membetuli insang. Begitu kutipan salah satu bait dari sajak yang telah mengakibatkan tertumpahnya darah penyair, yang dicatat oleh penyunting buku 3T ini pada urutan ketiga. 

Satu tahun sebelum kematian tragik itu, almarhum Bustaman Albino menulis sajak berjudul Lagu Buat Farabundo Kanduang. Semacam gubahan kekinian dari pantun melayu yang jika disimak betul-betul, dapat diberdayakan sebagai material konten bergambar di InstaStory atawa status WhatsApp. Di antara beberapa baitnya berbunyi; Berakit-rakit ke Zulu/Berenang-renang ke Bosnia/Lain ladang lain biawak/Air cucuran atap jatuhnya ke pelacuran juga. Sementara pada bait lain dari puisi yang sama, Bustaman Albino menulis pantun setengah jenaka setengah "menghina" para empu peletak dasar pantun Melayu; Empat sehat/lima semburit/sudah jatuh tertimpa tanggul/pucuk dicinta ulam tidur. Lalu, sebagai sajian penutup ia ungkapkan; Duduk sama rendah/berdiri sama titit/lama terbang lupa berdiri/air susu dibalas air tuba fallopi. Seandainya Bustaman masih hidup, lalu ia berkesempatan membacakan sajak ini di forum semacam Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), agaknya bukan asbak beling belaka yang melukai pelipisnya, boleh jadi ia akan dibakar hidup-hidup, lalu abu jenazahnya diseduh sebagai campuran kopi para penyair avant-garde dalam lingkar kepanitiaan majelis terhormat itu. Sama sekali tidak tertera nama Martin Suryajaya sebagai subyek yang mengobrak-abrik tatanan pantun yang keramat itu, karena ia menyamar sebagai penyunting bernama Sulaiman H, lalu mengalirkan daya dobrak perlawanannya di perahu lapuk kepenyairan Bustaman Albino, yang diandaikan sebagai korban proyek kanonisasi puisi Indonesia, yang telah berlangsung lebih kurang satu abad. 

Korban kanonisasi puisi Indonesia selanjutnya adalah Bambang Lokajaya, penyair kelahiran Tuban, yang setelah melalui berbagai guncangan kepayahan hidup, kemudian bermukim di Sekretariat Dewan Kesenian dengan segala macam bentuk keprihatinan. Di sela-sela kesibukannya ngojek dengan Astrea Grand bekas, puisi kerap mendengung di kepala Bambang Lokajaya. Lalu, pada suatu malam ia mendengar suara gaib yang menyuruhnya untuk pergi ke terminal guna menanti kedatangan seseorang berbusana baju lurik yang akan menyerahkan sebuah kitab kepadanya.Setelah bolak-balik ke terminal itu, dan menanti dalam waktu yang lama, (tapi laki-laki berbaju lurik tak kunjung tiba), Bambang Lokajaya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ia harus menulis puisi. Penyair berterimakasih pada penyakit/atas segala sakit yang telah diberikan/penyair berterima kasih pada pakaian/atas bantuan yang telah diberikan/rasanya sudah cukup/Penyair sudah siap pulang ke dalam Sastra/Indonesia yang tak pernah ada, demikian sedikit kutipan dari sajak bertajuk "Doa Penyair Menjelang Ajal," bertarikh tahun 2045, sajak ketiga setelah "Doa Penyair Kala Prihatin" (2041), dan "Doa Penyair di Hari Cerah" (2034). 

Atas berbagai kepayahan hidup para penyair yang tak mujur akibat politik kanonisasi sastra Indonesia, Martin seolah-olah hendak memastikan bahwa puisi-puisi mereka senantiasa hanya dapat terbaca sebagai doa. Katakanlah misalnya, doa agar dimudahkan rejeki, doa agar diberi ketahanan dalam deraan kelaparan (lantaran puisi tak laku-laku), termasuk doa supaya proposal kegiatan perayaan puisi diterima dengan pendanaan yang memadai dari Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan. Tentang gelombang keprihatinan yang melanda segerombolan penyair non-kanonik itu, Sulaiman H memilih sejumlah sajak karya anggota perkumpulan bernama Yayasan Pancaroba. Lembaga ini satu-satunya nama non-personal dari 18 nama terang yang merujuk pada imaji tentang penyair bernasib buruk sebagai "mentimun bungkuk"  dalam narasi besar puisi Indonesia. Sehubungan dengan dilaksanakannya/penerbitan dan peluncuran buku/antologi puisi Dengung Cemara/kami memohon kepada Bapak Kepala/agar sudilah kiranya/memberikan bantuan/barang seberapa/pada usaha kami/untuk mencetak/dan meluncurkan buku/kepada publik sastra Indonesia. Demikian sepenggal sajak berjudul "Teruntuk Kepala Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan," karya salah satu member Yayasan Pancaroba, yang menurut catatan Sulaiman H, diinisiasi oleh tiga penyair, yaitu Noto Suroto, Mas Kumambang, dan Godi Suwarna. Semacam tiga serangkai penyair angkatan 45 yang dalam kanon sastra Indonesia dikenal sebagai Tiga Menguak Takdir. Bantuan apa gerangan yang diharapkan oleh para penyair yang bernaung di bawah bendera Yayasan Pancaroba itu? Inilah dia rinciannya; Adapun hal-hal yang kami butuhkan adalah sebagai berikut/Honor penyunting dan penulis kata pengantar/Honor penata letak dan perancang sampul/biaya cetak 1000 eksemplar, HVS A5, sampul berwarna/biaya acara peluncuran, meliputi/cetak spanduk 2x5 meter, mata ayam di pojok/honor narasumber 2 orang/kudapan dan kopi untuk 100 orang.

Bila mengikuti alur kisah yang diriwayatkan oleh Sulaiman H, upaya gigih Yayasan Pancaroba untuk mendapat bantuan dana dari lembaga pembinan bahasa dan sastra Indonesia tersebut tampaknya gagal, sebagaimana ditandai dengan munculnya sajak berjudul "Surat Terbuka untuk Badan Bahasa." Semacam luapan kekesalan lantaran proposal kegiatan berpuisi yang ditolak lantaran tak relevan dengan nomenklatur dalam deretan panjang bahasa anggaran. Tiga bulan sudah/kami menunggu kepastian/anggaran hotel dan transportasi/semula dikatakan/semuanya beres/sudah teranggarkan/Tiba-tiba saja/dua minggu sebelum acara/Kabid Diplomasi Kebahasaan berkata/"Kami tidak menganggarkan..." begitu penggalan sajaknya. Terdepan dalam proposal kegiatan, terluar dalam substansi gagasan, dan selalu tertinggal dalam bagi-bagi jatah anggaran. Setidaknya demikianlah derita kepayahan yang dialami oleh para penyair non-kanonik, dalam upaya membangun marwah Sastra Indonesia yang sama-sama mereka cintai. 

Buku yang ditulis dengan berbagai modus penyamaran ini mengandung muatan penghormatan sekaligus pembelaan, pada setidaknya 17 penyair yang dihimpun dalam semangat seperti mengumpulkan benda-benda aneh dalam sejarah panjang puisi modern Indonesia. Ircisor Gulagat, Siti Kertapati, Yusrizal, Errico Malladroit, Hary Sorendoreri, Lindu Aji, Rina Novita Herliany, Siti Sundari, Ambrosius Lamtoro, Osman Sapta Oddang, Bustaman Albino, dan Bambang Lokajaya adalah sebagian dari nama-nama asing itu, yang menurut tuan penyunting adalah produsen puisi obskur, di mana para kreatornya sudah lama ditenggelamkan oleh keadiluhungan nilai puisi Indonesia. Martin Suryajaya, yang menyaru sebagai Sulaiman H, menulis profil masing-masing kreator malang itu, yang dalam usia kepenyairan sedemikian pendek, telah gagal sampai di garda depan puisi Indonesia, mustahil terbukukan sebagai kanon, apalagi berlimpah puja-puji sebagaimana nama-nama besar yang nyaris menjadi berhala dalam peta sastra Indonesia. 

Dari sekian banyak kisah keterpinggiran penyair non-kanonik yang terbaca pada profil mereka dalam buku ini, ada satu himbauan agar generasi "produk-gagal" itu tidak senantiasa terlunta-lunta dalam keterpinggiran dan tentu saja kemiskinan (baik dalam keseharian maupun dalam kegiatan-kegiatan perpuisian), yang terungkap samar-samar pada sajak Profil Bisnis karya penyair dengan nama pena Nutrisari. Nama itu satu-satunya produsen puisi obskur yang realistis dan menyimpan bakat wirausaha. Kelak bila bisnis sukses tentu penyair yang bertipikal entreprenur itu akan mandiri dalam kegiatan festival puisi, upacara peluncuran buku, atau forum temu penyair, tanpa harus menenteng proposal ke kantor Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan. Pada mulanya adalah wiraswasta/Nutrifood melayang-layang sebagai Usaha/Tak ada suatu apa di bawah sana/Sebuah kekosongan tanpa gizi/ Nutrifood lalu bersabda/Jadilah!/Maka terjadi; seonggok serbuk dalam sachet plastik, sebuah gizi tanpa dunia/Nutrifood memberinya nama Nutrisari dan membiarkannya berkelana. Sajak ini mengandung kisah sukses dari orang-orang yang berbakat wirausaha, yang dapat menginspirasi banyak penyair non-kanonik supaya "mandiri dalam perekonomian dan berkepribadian dalam kepenyairan." Dan Tuhan menciptakan alam semesta/dan Nutrisari/dan Nutrifood/Sejak saat itu keduanya merasa/ingin mendirikan sebuah PT.

Lalu, bagaimana dengan apresiasi, decak-kagum, piala penghargaan atas sajak-sajak terbaik sepanjang tahun? Siapa yang layak dinobatkan sebagai penyair paling keren di era pasca- kepenyairan ini? Sebagaimana saran Martin Suryajaya, lakukan pengundian mingguan saja! Minggu pertama predikat penyair keren jatuh pada Ircisor Gulagat dengan rekor 45K retweet dan 37K like, misalnya. Minggu kedua beralih pada Lindu Aji dengan rekor 3.5K comment dan 189 share, lalu Yusrizal, Siti Kertapati, Errico Malladroit, Hary Sorendoreri, Ambrosius Lamtoro, Bustaman Albino, Bambang Lokajaya, dan seterusnya. Semua bisa keren. Semua dapat bagian. Abaikan legitimasi estetik dari Paus Sastra. Peduli setan dengan politik sastra kanon-kanonan...



DAMHURI MUHAMMAD
Esais. Kolumnis


Data Buku


Judul           : Terdepan, Terluar, Tertinggal
                       (Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045)
Penulis       : Martin Suryajaya
Tebal           : 216 Halaman
Penerbit      : Anagram, Jakarta
Cetakan      : Pertama, Agustus 2020


Comments

Popular Posts