Podcast sebagai Suaka


DAMHURI MUHAMMAD


"Memiliki komputer dengan spesifikasi multimedia pada tahun 2000-an, sama dengan memiliki pesawat radio di era 1980-an," begitu perkiraan seorang pakar psikologi komunikasi, dalam sebuah seminar pada 1995. Seolah-olah konvergensi teks, audio, dan visual di era teknologi informasi yang dalam pemetaan Steve Case (2016) terjadi pada era Gelombang Kedua (2000-2015) itu, akan membuat radio sebagai media berbasis suara, bakal terpuruk sebagai barang lapuk. Maka, imajinasi yang menjalar selepas menyimak sandiwara Saur Sepuh dan Tutur Tinular, kegemaran generasi 1980-an, tentu akan punah, dan tak akan kembali terulang. 

Begitu pula dengan sorak-sorai dan yel-yel pemirsa setia Liga Galatama, saat reporter RRI berteriak histeris bila gol tercipta. Sentuhan dari kaki ke kaki, umpan-umpan silang, gocekan mengecoh lawan, balapan lari menuju garis 16, hingga jaring gawang lawan bergetar, yang hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi, berdasarkan intonasi suara dan detail deskripsi reporter dari laga penting yang disiarkan secara live. Bila berpijak pada prediksi di atas, pengalaman auditif yang mengasyikkan itu tentu telah menjadi artefak kenangan, yang asing bagi generasi youtuber dan instagramer

Sumber: https://www.seoclerk.com/pics/000/140/869/786dde2921ea8b619cebdaf5c5516275.jpg



Tapi ramalan tentang kematian audio itu meleset. Di kurun ketika linimasa penuh sesak oleh video, dalam ekosistem digital yang lazim disebut dengan Internet of Things (IoT), berita, cerita, dan lagu-lagu yang dulu dipancarluaskan dengan gelombang amplitudo modulation (AM) dan frequency modulation (FM) bagai sedang bangkit dari kubur. Platform radio berbasis teknologi digital muncul dalam wajah baru bernama podcast. Bermula dari kegelisahan Adam Curry, mantan VJ MTV Amerika era 1980-an pada medio 2000, yang merasa tak leluasa berbicara dalam bayang-bayang kode etik siaran. Ia membayangkan suasana ketika ia dapat mengoceh suka-suka, tapi tetap dapat keuntungan. "Saat itu internet sangat lambat. Jika kalian ingin dengar potongan audio, harus klik, tunggu lama, klik lagi dan baru terputar," kata Curry pada majalah Esquire, sebagaimana dikutip oleh www.cnnindonesia.com (01/03/20). "Bagaimana jika komputer kalian tahu kapan harus mengunduh konten yang kalian sukai, dan memberitahu saat konten itu sudah siap diunduh, kalian tinggal klik, lalu mainkan?" tanya Curry.

Ide ganjil itu membawa ia pada Dave Winer, pengembang perangkat lunak yang mewujudkan gagasan memasukkan audio ke dalam sistem really simple syndication (RSS).Dengan sistem RSS--semula hanya bisa untuk data teks--produsen konten bebas mengunggah data audio di kanal pribadi seperti blog. Audio yang secara otomatis masuk ke feed RSS, dapat mengirim notifikasi setelah pembuat konten mengunggah sesuatu. Winer tak mengijinkan Curry menggunakan piranti lunak bikinannya, meski ide kreatif Curry menggugah Winer untuk mengoptimalkan blog-audio berbasis RSS. Lalu, ia membuat kanal RSS yang mengumpulkan rekaman audio wawancara antara mantan wartawan NPR, Christopher Lydon, dengan ahli teknologi dan politikus. Kanal itu ditandai sebagai podcast pertama di dunia. Tak banyak yang tertarik dengan konsep Winer masa itu, hingga ia membuat serial penjelasan audio mengenai metode blog-suara yang sebenarnya bisa dipraktikkan oleh semua orang. Sementara itu, Curry menggarap program Daily Source Code, yang dianggap sebagai podcast popular pertama di dunia karena dapat diunduh dan langsung diputar di iPod lewat iTunes.

Istilah podcast--singkatan dari Ipod Broadcast--baru muncul pada 2004, dalam artikel Ben Hammersley berjudul Audible Revolution di www.theguardian.com. Ben menulis berita tentang audio yang diunduh secara otomatis, dan sebelum artikel itu disiarkan, ia diminta menuliskan 20 kata sebagai pilihan guna menamai fenomena tersebut, termasuk "Podcast" di dalamnya. Sejak itu popularitas podcast menanjak. Semula podcast memang identik dengan Ipod (produk Apple), tapi kemudian warganet menyebut semua serial audio digital dalam bentuk yang dapat diunduh dan didengarkan sebagai podcast. Singkatnya, podcast adalah radio on demand, yang dapat didengar tanpa antena, tanpa pesawat radio seperti dulu. Bila Anda tinggal di pelosok yang tak terjangkau gelombang radio dari stasiun di kota yang jauh, Anda cukup berlangganan Spotify di mana kanal radio-radio favorit tersedia di sana. Anda bisa memilih konten suka-suka, tanpa terikat oleh jadwal siaran, tanpa menunggu jadwal penyiar bersuara serak-serak basah idola Anda. Semua konten dapat didengarkan kapan saja. 

Data Edison Research 2016 mencatat, 21% warga AS usia 12 ke atas pernah mendengarkan podcast. Data itu menunjukkan peningkatan jumlah pendengar podcast dibanding tahun 2013 yang berada pada kisaran 12%. Dalam rilis "State of the News Media 2016" PEW Research Center menyebutkan produk-produk podcast telah menyentuh setidaknya 36% warga AS. Hasil survei Reuters Institute bersama University of Oxford pada 2019, mencatat lebih dari sepertiga orang segala umur di 38 negara mendengarkan podcast. Pada 2017, sebagaimana dilaporkan www.katadata.co.id (10/02/20), aplikasi Spotify meminta perusahaan riset Kantar TNS menyurvei pendengar radio dan podcast di Indonesia. Hasilnya, hampir separuh pendengar audio, menghabiskan waktunya menyimak podcast lewat platform seperti Spotify. Kini, popularitas podcast sudah menyamai siaran radio-radio konvensional. Banyak data menunjukkan, podcast makin akrab di telinga banyak orang di berbagai negara, terutama di kalangan milenial. Bahkan, di antara anak-anak muda yang berusia kurang dari 35 tahun, kini lebih dari separuhnya "tak bisa hidup" tanpa podcast.

Kegandrungan pada suara di jagat maya membuktikan bahwa kuasa visual tak sejumawa yang dibayangkan. Selain karena yang diperlukan hanya kuping dan tak membuat kita terkunci lama di depan layar gawai, suara juga memiliki semacam "hukum kekekalan bunyi". Bila di masa silam, bersama kekasih, Anda punya lagu favorit yang diputar berulang-ulang, setelah terpisah bertahun-tahun, tiba-tiba lagu itu terdengar lagi, maka suara itu akan menyingkap ingatan kadaluarsa yang tertimbun oleh tarikh dan riwayat baru. Kesadaran masa kini bagai direnggut untuk mundur jauh ke masa silam. Demikianlah kedigdayaan bunyi. Ia dapat diredam, tapi mustahil dimusnahkan. 

Sementara itu, gambar bergerak yang sudah menjadi konsumsi utama warganet, bagai mengunci imajinasi dengan citraan visual, hingga ia tak leluasa menjalar sampai jauh. Itu sebabnya, ketika sandiwara radio Saur Sepuh dilayar-lebarkan sebagai produk citraan gambar, para pendengar kecewa, karena capaian visualnya gagal menyamai keluasan imaji tentang gedepak kaki kuda tunggangan Lasmini saat mengejar Dewi Mantili sebelum duel maut atas nama dendam. Saur Sepuh versi layar lebar juga tak mungkin mampu memvisualisasikan gemuruh suara yang timbul oleh kepak sayap Rajawali raksasa saat Brama Kumbara mengendarainya. Begitu pula dengan suasana pertarungan Brama Kumbara dengan pendekar-pendekar golongan hitam, di mana ia harus menggunakan jurus mumpuni bernama Ajian Serat Jiwa. Di titik ini, suara lebih menjanjikan sensibilitas yang dalam, ketimbang gambar dalam jenis apapun.

Selain menimbulkan sensibilitas yang melampaui pengalaman bergumul dengan gambar bergerak, konten podcast (berita, cerita, lagu, dan semacamnya) yang minim interaksi, menutup peluang bagi aktivitas jempol yang doyan mengetik komentar sampah, dan tak jarang menyulut keributan. Tak banyak ruang untuk saling berbantah-bantahan, apalagi saling melepas ujaran kebencian. Alih-alih dimuseumkan sebagaimana ramalan di atas, kebangkitan radio dalam wajah mutakhirnya, malah menjadi suaka bagi orang-orang yang saban hari terkepung oleh kenyinyiran di kolom reply dan retweet. Ia membuat kita mendengar dalam diam, sambil tetap beraktivitas. Bukan menonton sambil bersiap meledakkan amarah. Mungkin itu sebabnya saya kehilangan satu-dua sahabat aktif di twitter. Semoga tidak betul-betul hilang, tapi sekadar menyepi dari keriuhan twitwar, sambil menyimak cerita pengantar tidur dari podcaster bersuara serak-serak basah... 

Comments

Popular Posts