Tumbangnya Kuasa WhatsApp?


Damhuri Muhammad



“Kamu akan jadi idiot jika berhenti sekarang. Beri waktu beberapa bulan lagi,” begitu  Brian Acton menyemangati Jan Koum, computer programer eks karyawan Yahoo, saat ia hampir putus harapan dengan versi awal platform pesan instan (Instant Message) bernama WhatsApp, sebagaimana dikutip Aashish Pahwa dalam artikel The History of WhatsApp di www.feedough.com (Juli 2020). Betapa tidak frustasi? Setelah mendemokan platform baru itu pada kawan-kawannya, tak ada yang menyukainya. Selain itu, entreprenur berdarah ukraina-amerika yang sudah berusia di atas tiga puluhan itu, kerap dibuat jengkel oleh aplikasi yang berkali-kali crash hingga ia berpikir sebaiknya mencari pekerjaan baru saja. 







Ide dasar dari aplikasi perpesanan garapan Jan Koum itu adalah democratising phone-based communications atau pola komunikasi berbasis pengguna telpon yang demokratis, karena menurutnya, model komunikasi semacam itu sedang menjadi kebutuhan pada masa itu, di samping kebutuhan atas notification push   dan enkripsi untuk keamanan data pengguna. Kisah WhatsApp bermula pada 2009, setelah Jan Koum dan Brian Acton meninggalkan pekerjaannya. Perlahan-lahan tabungan mulai menipis, dan keduanya harus melamar pekerjaan di Facebook. Tapi upaya itu tidak berjalan sesuai rencana. Jan dan Acton cukup kecewa, tetapi kegagalan itu membuat mereka memulai perjalanan baru dalam hidup mereka; WhatsApp, yang menurut data tahun 2020, telah menembus angka 2 miliar pengguna di seluruh dunia.

Aashish Pahwa menuturkan,  Jan Koum membeli iPhone pada Januari 2009 dan segera menyadari potensi industri aplikasi di App Store yang waktu itu telah berumur beberapa bulan. Jan ingin membuat aplikasi yang dapat menunjukkan status di samping nama personal pengguna. Koum mendiskusikan ide tersebut dengan Acton dan keduanya kemudian mengunjungi Alex Fishman (praktisi Modal Ventura) guna mendapatkan lebih banyak wawasan. Tetapi menjalankan ide itu tidak mungkin tanpa bantuan pengembang iOS, hingga Alex kemudian memperkenalkan mereka kepada pengembang Rusia, bernama Igor Solomennikov. 

Jan menamai plafform baru itu dengan WhatsApp, yang terdengar relevan dengan situasi terkini dari aktivitas keseharian kita. Teman-teman Rusia dari Alex Fishman menganggap platform bikinan Jan itu cukup menyenangkan dan mereka mulai menggunakannya untuk memperbarui keberadaan mereka sendiri dan mem-ping setiap teman mereka dengan status seperti;  "Saya bangun terlambat" atau "Tidak bisa bicara, saya di gym". Dengan begitu, pada mulanya WhatsApp lebih terasa sebagai platform berbagi keadaan keseharian--seolah-olah menjawab tanya Whats Up? (ada apa?)--lalu status yang muncul di layar gawai pengguna lain, dapat menjawabnya dengan status pula. Semacam linimasa medsos dalam ruang lingkup terbatas.   

Awal perjalanan WhatsApp tidak mulus, tapi seperti kebanyakan entreprenur-pelopor  sukses lainnya,  Koum berhasil mengembangkan aplikasi iOS dan mem-badanhukum-kan WhatsApp Inc di California pada 24 Februari 2009.Dalam waktu singkat, fitur ini menjadi saluran untuk pesan instan dan pengguna mulai mengobrol satu sama lain melalui status seperti seseorang akan mem-posting "Ada apa, Karen?" dan Karen akan membalas dengan mengubah statusnya. Jan menyadari peluang tidak disengaja itu di rumahnya di kota Santa Clara dan menyadari kebutuhan untuk meningkatkan model pengoperasian aplikasi status menjadi aplikasi pesan instan berbasis internet, dan muncullah WhatsApp versi 2.0. “Mampu menjangkau seseorang di belahan dunia lain secara instan, di perangkat yang selalu bersama Anda, sangatlah hebat,” ungkap Jan Koum.

Dalam catatan Aashish Pahwa, bagian terbaik dari sejarah singkat WhatsApp adalah model platform  "Tanpa iklan! Tidak ada permainan! Tidak ada gimmicks (tipu-menipu)!” Prinsip sederhana yang membantu aplikasi perpesanan kecil dalam mendisrupsi  raksasa-raksasa  Instant Message seperti iMessage, WeChat, Facebook Messenger, Snapchat, LINE, Kakao-Talk, dan semacamnya. Prinsip tanpa iklan itu bahkan terus bertahan hingga 10 tahun sejak WhatsApp berdiri. Selain itu, sejarah WhatsApp perlu didengarkan karena ia tidak seperti kisah Startup biasa di mana para pendirinya memiliki ide yang membuat mereka keluar dari perguruan tinggi, membangun tim, dan mendapatkan pendanaan pra-benih (pre-seed funding). WhatsApp tidak dirancang oleh mahasiswa, tetapi oleh orang yang berusia tiga puluhan (ukuran lanjut usia pada rata-rata usia pendiri-pelopor dalam ekosistem Startup)  dan keduanya pernah memiliki pekerjaan tetap di perusahaan terkenal.

Setelah versi beta WhatsApp 2.0 diluncurkan, orang-orang menyukai cara masuk hanya dengan nomor telpon dan mengirim pesan ke kontak dengan jaringan internet tanpa beban biaya dari  SMS operator. Pemosisian yang tak disengaja itu juga disambut baik  karena pesaing seperti Blackberry Messenger (BBM) eksklusif untuk Blackberry, sementara G-Talk dan Skype mengharuskan pengguna untuk berbagi ID unik untuk dapat terkoneksi dengan orang lain. Kepraktisan semacam ini mengantarkan WhatsApp sebagai aplikasi dengan utilitas tinggi dan penggunanya meningkat menjadi 250.000 hanya dalam hitungan beberapa bulan.

Brian Acton tak tercatat sebagai anggota aktif dalam tim WhatsApp sampai ia berhasil meyakinkan lima mantan karyawan Yahoo yang lain untuk menginvestasikan 250.000 dolar AS dalam pendanaan awal, dan  itu terjadi pada Oktober 2009. “Kamu memiliki seluruh karunia internet yang terbuka untuk dikerjakan,” kata Acton ketika Jan Koum mendatanginya dengan membawa WhatsApp versi 2.0. Sambutan Acton menjadi  dorongan besar bagi WhatsApp karena tidak hanya mendapat pendanaan yang memadai, tetapi juga memiliki co-founder yang sangat berpengalaman. “Kami tidak berangkat untuk membangun perusahaan. Kami hanya ingin membuat produk yang digunakan orang, ” ungkap Koum. Brian Acton secara resmi bergabung dengan WhatsApp pada 1 November 2009. 

Setelah fase beta berakhir dan WhatsApp diluncurkan secara eksklusif di App Store pada November 2009,  platform baru itu menonjol sebagai alternatif yang sempurna untuk mengirim SMS di dalam negeri, bahkan internasional secara gratis. Founder dibanjiri email dari para pengguna iPhone yang menanyakan tentang prospek masa depan aplikasi tersebut dan apakah akan diluncurkan untuk Nokia dan BlackBerry yang menguasai pasar saat itu. Jan segera mempekerjakan salah satu temannya, Chris Peiffer, untuk membuat aplikasi versi BlackBerry yang diluncurkan dua bulan kemudian.

Meskipun respons-nya sangat menggembirakan, di Amerika Serikat sendiri, WhatsApp terbilang berkinerja buruk, bahkan sampai sekarang. Itu sebabnya Koum dan Acton berencana membawa aplikasi ini ke dunia di luar AS, seperti Eropa dan Asia. Dua tahun setelah itu WhatsApp pun dapat digunakan di gawai berbasis Windows dan Android. Pekerjaan utama segera dimulai di sebuah  gudang yang telah diubah di Evelyn Ave di mana para pendirinya menyewakan beberapa bilik, dengan perabotan murah guna menghemat biaya.Koum dan Acton juga bekerja secara gratis selama beberapa tahun pertama dan satu-satunya biaya besar selama hari-hari awal adalah mengirimkan teks verifikasi kepada pengguna. Untuk menebusnya, model bisnis  WhatsApp berubah menjadi berbayar seharga 0,99 dolar AS.  Fitur baru pengiriman foto telah ditambahkan dan jumlah pengguna meroket bahkan ketika aplikasi itu sudah berbayar. WhatsApp masuk dalam daftar 20 aplikasi teratas di App Store pada tahun 2011. Anehnya, Jan sama sekali tidak tidak membual tentang kesuksesannya di media guna meluaskan jangkar pemasaran. “Pemasaran dan pers menimbulkan debu. Itu masuk ke mata Anda, lalu Anda tidak fokus pada produk. ”

Selain abai pada strategi pemasaran dan menghindari pers, lebih mengherankan lagi, Koum dan Acton  juga menghapus semua permintaan rapat dari Venture Capital (modal ventura) yang berminat untuk berinvestasi. Keduanya menganggap sebagian besar pemodal ventura cenderung mendukung model bisnis periklanan yang tidak mereka sukai. Namun, Jim Goetz, mitra Sequoia Capital, begitu gigih dan menghabiskan 8 bulan guna merayu pasangan itu hanya untuk berbicara. Ia akhirnya berhasil menemui Koum dan Acton, lalu mengusulkan kesepakatan menjadi penasihat strategis dan menginvestasikan sekitar 8 juta dolar. Tim WhatsApp setuju karena Jim berjanji untuk tidak memaksakan model iklan pada mereka.Hanya berselang dua tahun kemudian, pada Februari 2013, jumlah pengguna meningkat menjadi 200 juta dan staf meningkat menjadi 50 orang. Hal ini membuat bingung para pendiri, dan mereka  mengundang Sequoia Capital untuk putaran pendanaan kedua yang menghasilkan $50 juta dolar lagi. Para pendiri juga mengubah model bisnis menjadi berlangganan di mana aplikasi ditawarkan secara gratis untuk tahun pertama, tetapi pengguna dikenai biaya berlangganan tahunan sebesar 1 dolar AS setelah uji coba berakhir.

Angka pengguna 200 juta pada 2013 membengkak dua kali lipat pada bulan Desember dan naik lagi menjadi 500 juta pada April 2014. Semetara per September 2015, pengguna aktif WhatsApp tercatat sebanyak 900 juta. Skalabilitas tak terbayangkan itulah yang  yang membuat Facebook tergila-gila pada WhatsApp. Akuisisi pun terjadi. WhatsApp Inc menerima pinangan Facebook dengan  nilai sebesar $19 miliar pada Februari 2014. Semula Facebook tidak melakukan banyak perubahan pada WhatsApp, tetap dipatok banderol per tahun dan tanpa iklan. Waktu itu Facebook sedang dalam misi menjadi perusahaan seluler pertama dan menjadikan perpesanan sebagai layanan inti. Whatsapp adalah pesaing terbesar Facebook Messenger dan bahkan melampaui anak perusahaan Facebook itu dalam tingkat keterlibatan. "Bagi platform yang digerakkan oleh iklan seperti Facebook, WhatsApp dan datanya adalah peti harta karun yang sedang menunggu untuk dibuka," kata Aashish Pahwa. Tapi saat WhatsApp bergerak lebih banyak untuk memenuhi ambisi Facebook, Brian Acton pergi  pada September 2017 untuk bekerja di organisasi nirlaba Signal Foundation miliknya, diikuti oleh Jan Koum yang meninggalkan perusahaan di tengah perdebatan dengan Facebook mengenai privasi data dan model bisnis WhatsApp.

Kini, platform percakapan daring yang disebut-sebut telah digunakan oleh hampir seperempat manusia penghuni dunia ini sedang dilanda guncangan hebat. Pasalnya lagi-lagi soal keamanan data pribadi pengguna yang dalam kebijakan baru WhatsApp hendak dipaksakan untuk terintegrasi dengan platform induk; Facebook. Tak pelak lagi, platform perpesanan instant Telegram dan Signal  bagai sedang menjadi kanal yang siap menampung air bah yang melimpah ruah  dari WhatsApp akibat gelombang eksodus yang sangat mencemaskan.  Tak lama setelah protes pengguna WhatsApp menggurita, Telegram langsung mengklaim jumlah penggunanya telah mencapai 500 juta, dan media-media asing tak henti-henti bertanya perihal kuasa WhatsApp atas data pribadi milyaran penggunanya, hingga persepsinya selalu mengarah pada ajakan untuk segera "hijrah" ke Telegram atau Signal.  

Tak jenuhkah Tuan dengan notifikasi WhatsApp Group (WAG) yang saban pagi penuh sesak oleh kiriman sampah visual dari anggota kerumunan alumni-alumnian, perkumpulan orang-orang sekampung, atau kelompok-kelompok fanatikus politik sektarian, dengan segala bentuk interaksi basa-basi dan debat kusir unfaedahnya? Tak terganggukah Tuan ketika nomor pribadi muncul tiba-tiba di WAG  antah-berantah (tanpa persetujuan lebih dahulu) dalam intensitas yang melampui jadwal minum obat 3 x sehari? Belum lagi kiriman-kiriman video kadaluarsa berkapasitas  besar yang terus menerus membuat Tuan repot melakukan penghapusan rutin, bila tak ingin gawai  mengalami full storage. Barangkali gelombang eksodus pengguna WhatsApp ini adalah momentum bagi netizen +62 untuk mendapatkan alasan paling masuk akal guna  meninggalkan keriuhan WAG, tak perlu left diam-diam tengah malam, karena dijamin tak akan menyinggung perasaan bila hengkang dari pintu depan. Lalu, kita hendak ke mana? Jika mendambakan jaminan keamanan privacy dengan end to end encryption seperti WhatsApp versi awal, kita dapat berlabuh di Signal, sebab keduanya lahir tangan dingin yang sama; Brian Acton. Pilih mana?  Telegram atawa Signal? 






Comments

Popular Posts