Fiksi-Pandemi Sebagai Alibi...


DAMHURI MUHAMMAD  




Andai kini kita mengakui bahwa hidup di lingkar wabah sebagai hidup yang terus bergerak menuju kepayahan (jika tak dapat disebut menuju kematian), maka Disorder, novel  terkini Akmal Nasery Basral ini mungkin akan  disambut sebagai panduan teknis atas sikap kehati-hatian dan kewaspadaan, agar mahabencana yang bermula dari mahkluk tak kasat mata itu tak merebak ke seantero dunia, lalu mengakibatkan jutaan kematian yang memuncaki kurva dan statistika. 


Betapa tidak? Kewaspadaan tingkat dewa itu digerakkan oleh kecurigaan seorang dokter wanita  sekaligus epidemiolog brilian yang bermula dari kabar kematian tiga buruh peternakan babi di Atambua, yang diketahuinya saat ia diundang sebagai narasumber di RSUD Kupang, NTT. Bermula dari perjalanan Kupang-Atambua, yang tak terencana, ketegangan demi ketegangan, intrik demi intrik,  dalam novel setebal 483 halaman itu hampir tak bersudah. Koko Han,  pemilik peternakan yang seperti menyembunyikan sesuatu, otopsi yang gagal (atau sengaja digagalkan), hingga menghilangnya jurnalis media setempat yang menulis kabar tentang kematian 3  buruh peternakan yang terasa janggal dan  begitu tiba-tiba. 







Dalam  arus ketegangan yang tak kunjung reda, Akmal membawa pembaca bertandang jauh ke Vatikan, yang secara bersamaan di sana sedang berlangsung perayaaan Hari Orang Miskin Sedunia. Bukan pada keramaian seremonial yang rutin digelar  itu  titik perhatiannya, melainkan pada insiden pork-free tortelini, menu khas yang biasanya berasal dari prosciutto--daging babi yang diiris tipis-tipis dan dikeringkan sebagai ham--tapi atas dasar penghormatan kepada para tetamu lintas agama, semua jenis hidangan yang mengandung unsur  babi dalam tortelini itu diganti daging ayam. Tak berselang lama setelah mencicipi menu sakral itu, Paus Yohannes Paulus III atau Bapa Suci seketika memegang lehernya, seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya, lalu ia  kejang-kejang, hingga  dilarikan ke rumah sakit. Tak pelak lagi, tagar #WhoWantsToKillPope memuncaki daftar topik perbincangan di linimasa media sosial. Kontroversi segera meruyak. Mauro Salvatore, pemimpin Lega Destra d'Italia, kelompok sayap kanan ultranasionalis anti-imigran yang mengecam kebijakan pro-multikulturalisme Vatikan, muncul di laya kaca. 

"Apa yang sedang terjadi di tahta suci adalah hukuman Allah Bapa karena Paulus Yohannes III mengubah menu makanan yang sudah berabad-abad menjadi identitas bangsa Italia. Bagi kita, makanan bukan hanya pengisi lambung, tetapi juga tanda kesyukuran dan ketaatan kepada Tuhan Maha Pemberi. Makanan adalah simbol sakralitas. komposisinya tak bisa diubah atas alasan apapun. Ada banyak cara untuk menghormati tamu. Namun mengubah tradisi demi mengambil hati bukanlah hal terpuji. Cara seperti ini harus dikecam keras. Tahta suci sudah melakukannya selama 10 tahun terakhir tanpa mendengarkan kami, keberatan kita semua. Kejadian hari ini hendaknya menjadi pelajaran bagi umat yang mengaku tunduk kepada Hukum Kristus. Berpeganglah pada tradisi, termasuk keaslian makanan." demikian pernyataan keras  Mauro Salvatore.

Siapa yang tega meracuni Bapa Suci?  Siapa yang bisa menjamin pork-free tortelini  benar-benar steril dari daging babi? Atau bila tortelini telah diganti dengan  daging ayam, apakah tak ada kemungkinan bakal mengandung virus flu unggas? Begitu obrolan profesor Tobias Shochet dengan koleganya sesama peneliti, profesor Giroux di Laboratorium Lyon, Prancis. Insiden Vatikan belum terang duduk perkaranya, dari kota kecil Saint-Cyr-sur-Menthon, tak jauh dari Lyon, tersiar kabar tentang seorang konsultan peternakan babi meninggal, juga  secara misterius. Shmuel, kolega Shochet di kampus Claude Bernard Universitas Lyon menjelaskan, bahwa sebelum meninggal, korban itu baru saja pulang dari pegunungan Yaji, Cina. Lokasi itu tak asing bagi guru besar epidemiologi seperti Tobias Shochet,  pegunungan Yaji adalah pusat peternakan babi terbesar di Cina. 

Petualangan panjang dokter Permata Pertiwi menguak asal muasal virus zoonosis bernama Swine Origin Influenza Virus (SOIV) serta konspirasi keji yang melingkupinya, terjadi pada 2026, atau 7 tahun setelah malapetaka  pandemi Covid-19. Tak mudah bagi dokter Ata bertahan sebagai ilmuwan yang gigih menghambat laju penularan SOIV-26 yang boleh jadi akan lebih mengerikan dari wabah Pes, London 1665, sebagaimana dimonumentasikan oleh Daniel Defoe dalam A Journal of the Plague Year (1772). Secepat-cepatnya karakter protagonis itu bergerak guna memastikan pasien mula-mula, lebih cepat lagi subyek-subyek anonim menghadangnya dengan macam-macam modus. Dari ancaman via telpon, hingga aksi-aksi penculikan yang membuat nyawa dokter Ata sebagai taruhannya. 

Disebut-sebut, SOIV-26 adalah konspirasi global yang dikendalikan oleh sebuah persaudaraan rahasia guna mewujudkan tata dunia baru setelah dicabik-cabik oleh kapitalisme global. Tatanan modern yang telah menumbalkan sebagian besar umat manusia terpuruk di ceruk kemiskinan itu mesti diruntuhkan, atau dimusnahkan dengan senjata biologi untuk kemudian dapat mewujudkan tata dunia baru yang lebih berpihak pada kaum miskin. Persekongkolan  keji yang menjadi arus utama  pengisahan novel ini secara tak sengaja kemudian juga menyingkap kembali kemungkinan penyebab pandemi Covid-19 sebagai eksperimen virologis yang bocor (atau sengaja dibocorkan?) dari laboratorium di Wuhan, Cina, sebagaimana   SOIV-26 yang dicurigai berasal dari laboratorium di Harbin, Cina.    

Fiksi-pandemi semacam Disorder ini tentulah bukan barang baru dalam kerja kepengarangan. Di masa awal work from home (WFH), para penyuka buku di Indonesia, telah meramaikan perbincangan tentang tikus-tikus yang mati bergelimpangan di jalan, sebagai pertanda awal munculnya wabah, sebagaimana dituturkan oleh dr Bernard Rieux dalam The Plague (1947), novel karya Albert Camus, tentang  wabah yang menewaskan penduduk Kota Oran, Aljazair sehingga kota itu ditutup selama berbulan-bulan (seperti yang benar-benar terjadi di Oran pada abad 19). Begitu juga dengan kisah memilukan dalam Pale Horse, Pale Rider (1939), karya Katherine Anne Porter. Semacam  monumentasi fiksional dampak Flu Spanyol  1918. 

Kegemaran membincang kembali kisah-kisah lama tentang penularan wabah di berbagai belahan dunia, bagi sebagian pembaca, mungkin jauh lebih baik ketimbang menenggelamkan diri dalam arus kesimpangsiuran informasi perihal pandemi Covid-19. Lebih baik lagi daripada terus menerus menanti kepastian tentang kapan kurva kematiab akibat virus corona bakal melandai, dan kapan aktivitas keseharian akan normal seperti sediakala. Fiksi-pandemi adalah terapi, dan barangkali juga  "alibi," agar kita tak berkewajiban memastikan hal-ihwal yang tak mungkin pasti di masa  pandemi.   

Menimbang sedemikian awetnya ketakpastian dalam keseharian yang kian lama kian genting ini, berapa banyak lagi  fiksi-pandemi yang kita butuhkan, guna mengalihkan keletihan setelah bertarung dalam kepungan wabah selama 1 tahun penuh? Guna menuntaskan rasa penasaran kita atas ujung dari pandemi Covid-19, kenapa Akmal tidak menyediakan satu bab khusus dalam Disorder, tentang kurva kematian yang sudah landai, dan kita  sudah kembali bergiat mencarin nafkah tanpa protokol kesehatan yang ketat dan menjengkelkan, pemerintah sudah menghormati temuan saintifik, data pasien terinfeksi dan pasien meninggal sudah mendekati  akurat, ekonomi tumbuh optimal, dan para aparatur medioker tidak lagi berani meremehkan ancaman virus.

Disorder, sayangnya, tak dirancang guna meredakan kecemasan, sebaliknya justru dibuat dengan semangat melipatgandakan ketegangan. Dengan begitu, para penyuka novel thriller akan terus menikmati petualangan mereka  di dunia fiksi-pandemi, hingga tanpa disadari, kita sudah berada di tahun 2026 saja. Presiden Republik Indonesia sudah berganti, Menteri Kesehatan boleh jadi  dijabat oleh epidemiolog muda seusia dokter Ata, tapi pandemi Covid-19 ternyata belum kelar-kelar juga. Duh...    


DATA BUKU

Judul : Disorder

Tebal : 483 hal

Penulis : Akmal Nasery Basral

Penerbit : Bentang Pustaka

CEtakan : I, 2020 











 


Comments

Popular Posts