Seperti Meniti Jembatan Setipis Rambut Dibelah Tujuh


Damhuri Muhammad


Buku setebal 212 halaman ini bertajuk Meniti Badai (antologi cerpen Pandemi). Terminologi "badai" di sini, bukanlah terjangan amuk gelombang yang meluluhlantakkan sebuah bahtera di tengah samudera raya, tapi badai tak kasat mata akibat serangan makhluk seukuran nanometer yang lantaran kuasanya berhasil menciptakan badai ketakutan di seluruh permukaan bumi. Sekilas saya membayangkan aktivitas meniti badai itu seperti perjuangan para hamba Tuhan dalam meniti jembatan yang ketipisannya seukuran rambut dibelah tujuh. Langit di atas kepala mereka menyeruakkan hawa panas yang tak tertanggungkan, sementara di bawah jembatan siraat al-mustaqim itu adalah lautan api yang siap melahap tubuh para pejalan yang terjungkal atawa tergelincir lantaran berdesak-desakan dalam siksa penitian yang entah kapan bakal tiba di tujuan. Demikian kiranya satu patahan kisah tentang pengadilan akhirat yang kerap dituturkan oleh para guru mengaji di masa silam. 

Foto: @damhurimuhammad


Begitu pula kisah-kisah kecil yang ditegaskan sebagai cerita yang lahir atas panggilan "badai" pandemi Covid-19. Duapuluh dua pengarang perempuan yang terhimpun dalam antologi ini mendedahkan rupa-rupa badai yang melanda hidup keseharian warga sebagai akibat dari badai pandemi yang hingga kisah-kisah ini terbukukan, belum menunjukkan tanda-tanda bakal mereda. Badai pertama adalah badai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Badai itulah yang akhirnya menyudahi hidup seorang istri bernama Pita dalam cerita bertajuk Jabang Uang dalam Pelukan Batu-batu, karya Dewi Purboratih. Sejatinya Pita sudah habis-habisan berjuang menghadapi kepayahan hidup lantaran Boya, suaminya, telah kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Dalam keadaan hamil yang kedua, Pita bertahan dengan usaha katering, berjualan ayam Geprek, aneka kudapan tradisional dan kue-kue kering secara daring. Tapi kerja keras itu pula yang kemudian merenggut janin dalam kandungannya. Pita ambruk, dan keguguran. Tak berhenti di situ nestapa Pita! Setelah kematian bayi yang sampai membuat ia berhalusinasi, ia juga harus menerima amarah suami, karena sesungguhnya bayi itu sudah disiapkan untuk diadopsi oleh keluarga kaya atas nama kegentingan ekonomi keluarga. Kegilaan semacam ini bukan yang pertama bagi Boya, suami Pita. Bayi kembar mereka pun sebelumnya telah berada di tangan keluarga kaya, dan rupanya itu belumlah cukup! 

"Ayolah Lupita, anak itu rezeki!" begitu Boya membujuk istrinya agar kembali "memproduksi" anak. "Anak ini tidak akan menjadi milik kita. Kau akan membuat anak ini bernasib sama seperti si kembar!" Demikian Pita menyangkal kehendak suaminya. Tapi toh, kehamilan itu terjadi juga, meski akhirnya persalinan Pita tak berhasil mendatangkan "komoditas" baru bagi Boya. Tak lama setelah pemakaman janin malang itu, Pita dituding tidak bisa menjaga jabang uang yang akan menyelamatkan keluarganya di musim pagebluk. Di ujung kisah, Dewi Purboratih membangun sebuah adegan Lupita-Boya yang sedang berkabung. Boya memelukku erat-erat. Wajahku terbenam begitu dalam pada dekapan dadanya. Aku tak bisa bergerak. Dadaku sesak. Tak ada lagi udara yang bisa kuhirup. Mataku pun terkatup (hal.30). Adegan itu terasa datar dan normal saja di masa berduka, tapi bila diselami secara intens, pembaca bisa merasakan peristiwa kebuasan di mana Boya menyudahi hidup Pita, untuk selamanya.   

Badai selanjutnya adalah badai pergunjingan. Aulia Gerimis dalam cerita bertajuk Radio Jalan Guneman, secara alegorik memetakan lapisan-lapisan gosip yang menstimulasi berbagai bentuk kecurigaan di sebuah permukiman urban. Terma "guneman" yang berarti "pembicaraan," digunakan sebagai simbol dari pusaran pergunjingan tentang rupa-rupa kabar yang tak  jelas asal-usulnya. Di sanalah seorang host biasa mengudarakan gosip-gosip yang tidak selalu berkaitan dengan kepayahan akibat kebijakan pembatasan kerumunan warga atas nama kegentingan, tetapi juga soal suami si anu yang pada suatu malam pulang dalam keadaan teler, dan hampir saja menyiram istrinya dengan bensin. Sebagaimana pergunjingan di platform twitter yang karena sedemikian ramainya kemudian meraih peringkat  trending topic, begitu pula konten-konten siaran di Radio Jalan Guneman, dan selalu saja topik-topik panas itu berkaitan dengan suara ngiung sirine ambulans saat menjemput orang-orang terinfeksi virus yang harus segera dijauhkan dari permukiman, begitu pula dengan desas-desus tentang sebuah keluarga besar yang masih nekat menggelar resepsi pernikahan. 

Salah satu trending topic dari siaran Radio Jalan Guneman yang saban hari membuat warga saling menabung curiga, berkaitan langsung dengan narator cerita itu. Dikisahkan sebelum resepsi pernikahan di rumah Kades yang masih kontroversial itu, pengantin pria tiba-tiba dijemput ambulans karena dinyatakan positif Covid-19. Lelaki itu tidak lain adalah mantan kekasih si narator. Di titik ini, pandemi bekerja menunda kebahagiaan, termasuk juga menunda kesedihan narator saat mantan kekasihnya bersanding di pelaminan  dengan perempuan lain. Meski tertunda, ia tetap tak bisa selamat dari deraan siaran Radio Jalan Guneman. Misalnya obrolan tentang kecocokan putra Kades dengan calon istrinya yang kebetulan seorang dokter, yang setidaknya tetap menyiksa si narator, karena obrolan itu terdengar seolah-olah membanding-bandingkan dengan dirinya yang hanya perempuan biasa. Analogi ini mengingatkan kita pada air bah informasi tentang Covid-19 sejak 2 tahun terakhir, yang terasa jauh lebih menyiksa ketimbang ancaman virus itu sendiri. 

Kisah tentang ngiung sirine ambulan yang menjemput pasien terinfeksi Covid-19 terulang dalam cerita bertajuk Sepotong Luka Bersampul Cinta untuk Kekasih, karya Mega Anindyawati. Bila cerita Radio Jalan Guneman lebih tekun memetakan peristiwa penjemputan dengan ambulan, Mega Anindyawati secara intens menghadirkan problem resistensial dari karakter bernama Laras. Sudah berkali-kali Laras (berprofesi sebagai perawat) telah mengingatkan saudaranya untuk tidak menggelar mitoni (ritual penyambutan bayi pertama), karena kerumunan orang dalam acara itu amat berisiko bagi anggota keluarga mereka yang lanjut usia dengan macam-macam penyakit bawaan. Tapi peringatan itu diremehkan saja oleh Widodo Sujatmiko yang tetap bersikukuh bahwa acara penting itu aman dari risiko penularan. Penyakit tinggi hati kembali menghinggapi Lurah yang sudah dua periode memimpin Desa Makmur itu. Perbincangan Laras dengan Widodo kembali berakhir dengan tanggapan sinis (hal.91). Alhasil, salah seorang juru masak dalam pesta itu, terkonfirmasi positif Covid-19. Aparat  membubarkan acara itu. Semua orang yang mengalami kontak fisik dengan Siti, si juru masak yang ternyata mantan TKW baru pulang, mesti menjalani rapid-test. Widodo dan Wening (istrinya) harus berakhir di ruang isolasi rumah sakit dengan pengawasan ketat. 

Karkter Widodo dalam kisah kecil di atas mengingatkan saya  pada sikap sejumlah pejabat tinggi yang meremehkan ancaman Covid-19 di awal-awal masa pandemi. Jejak digital yang hingga kini masih dapat diunggah memperlihatkan sikap yang meremehkan bahaya virus Korona, misalnya narasi yang berbunyi Indonesia satu-satunya negara yang bebas Korona, atau orang Indonesia tidak mungkin terinfeksi Korona karena kita doyan makan nasi kucing, atau Korona tidak bisa masuk ke Indonesia karena ijinnya susah. Bahkan ada seorang menteri yang tak segan-segan menantang hasil riset dari universitas ternama di Amerika Serikat tentang bahaya Covid-19. Tapi pada gilirannya, sikap yang meremehkan dan antisains itu kemudian mesti dibayar mahal dengan kurva data korban  Covid-19 yang bahkan tak terkendali dalam rentang 1,5 tahun, dengan dua kali lonjakan dahsyat. Maka resistensi Laras, dan sinisme antisains Widodo adalah monumentasi mikro dari sikap pejabat publik Indonesia di fase awal mahabencana virus Korona. 

Badai lain yang juga termonumentasikan dalam buku ini adalah badai kehilangan. Bukan kehilangan lapangan pekerjaan seperti yang melanda Boya pada cerita Jabang Uang dalam Pelukan Batu-batu, tapi kehilangan artefak ingatan, tempat banyak orang mengalamatkan panah kerinduan. Badai ganjil semacam itu dapat ditemukan dalam cerita berjudul Cinta Pertama, karya Hafiidhaturrahmah. Sebagai dokter yang hari-harinya disibukkan oleh upaya keras menyelamatkan pasien-pasien kritis akibat infeksi Covid-19, tak ada yang istimewa dengan angka-angka yang menunjukkan naik-turunnya saturasi oksigen, begitu juga dengan riuh suara tangisan para anggota keluarga bila ada pasien kritis yang tak terselamatkan. Pemandangan yang bagi orang awam mungkin amat mencekam, tapi bagi seorang dokter telah menjadi biasa dan menyehari. Tapi berbeda situasinya dengan pasien perempuan yang sedang ditangani oleh dokter yang sekaligus menjadi narator dalam cerita ini. Pasien kritis itu hendak ia selamatkan dengan upaya yang sekeras-kerasnya. Sebab, perempuan itu adalah artefak hidup yang menghubungkan ingatannya pada seorang laki-laki di masa mudanya, yang tak lain adalah suami dari pasien itu. Dalam upaya penyelamatan itulah semua ingatannya atas laki-laki masa silam itu berkecamuk di kepalanya.  Tentang raja basket yang menjadi incaran banyak orang di masa SMA, tentang dirinya yang bulat-bulat menolak cinta si raja basket, yang diungkapkan pada hari kelulusan mereka (padahal diam-diam ia juga menyukai laki-laki itu), juga tentang pernikahannya dengan laki-laki pilihan ayahnya yang tidak terlalu mujur, termasuk tentang keyakinan bahwa laki-laki yang istrinya sedang ia rawat itu masih mencintai dirinya seperti dulu. Ujung dari kisah yang ditulis oleh pengarang yang memang berprofesi sebagai dokter ini adalah kematian pasien kritis itu. Hilang sudah artefak ingatan penghubung antara dokter Tiara dan lelaki pujaannya. Pandemi Covid-19 membuat si raja basket  kehilangan istri, sementara dokter Tiara kehilangan perantara antara cintanya dan cinta lelaki yang kini telah menjadi duda itu. Aku juga tidak hadir dalam acara yang masih didatangi beberapa teman dekat SMA kami karena alasan Pandemi. Aku hanya ingin menjauh darinya, setidaknya sampai aku siap berkata jujur jika akulah sosok di balik masker yang menyentuh istrinya terakhir kali dan mengantarnya pergi dalam damai. (hal.57)

Begitulah subyek-subyek hidup dalam buku meniti badai pandemi ini. Seperti orang-orang yang menghela kecemasan, kecurigaan, dan derita kehilangan dengan punggung masing-masing, saat meniti jembatan rambut dibelah tujuh dalam kisah-kisah pengadilan akhirat dari para guru mengaji di masa kanak-kanak. Ada yang hampir sampai di ujung titian, tapi dari kejauhan ia menggapai-gapai, berteriak-teriak, meronta-ronta, melihat anggota keluarganya berjatuhan ke dalam lautan api, lautan kematian. Sementara itu, badai mahadashyat ini belum akan berhenti. Entah sampai bila...


Damhuri Muhammad
Cerpenis. Kolumnis

DATA BUKU

Judul.     : Meniti Badai (Antologi Cerpen Pandemi)
Penulis   : Dewi Purboratih, Mega Anindyawati, dkk
Penerbit : PadMedia, Surabaya, Agustus 2021
Tebal.      : 212 hal                   

Comments

Popular Posts