Lingkar Luka Suhita
Damhuri Muhammad
Sepintas
lalu, orang-orang yang tumbuh besar di lingkungan kesantrian tampak seperti
orang-orang yang bahagia. Kasih sayang orangtua melimpah-ruah, puja dan
sanjung datang dari mana-mana, martabat dan kehormatan keluarga tak perlu
ditanya, silsilah atau nasab menjadi incaran para pemburu calon menantu,
segala kebutuhan terpenuhi, tak pernah kurang satu apapun jua. Namun, santri juga
manusia. Yang bisa saja jenuh berdiri lama di garis kesantunan dan etos
kesantrian di mana jangkar pergaulan muda-muda relatif dibatasi. Tak mungkin
bermain terlalu jauh dari masjid. Peci dan baju muslim adalah atribut setengah
wajib. Mimbar atawa podium-podium majelis ta’lim adalah habitus yang tak mungkin dihindari. Termasuk kesanggupan bersekolah
ke Timur Tengah yang tentu demi kesinambungan estafet kepempimpinan di pesantren.
Dalam situasi yang serba terjaga, yang
lama-lama bisa terasa sebagai “penjara” itu sekali waktu santri diam-diam ingin
melompati pagar pesantrennya. Ingin lepas-bebas menghirup udara luar. Tampil sebagaimana anak-anak muda lainnya,katakanlah menggondrongkan rambut, berkaos
oblong dan celana jeans, nongkrong di café hingga larut malam, atau bergabung
dengan komunitas penyuka musik-musik cadas, hingga menjalin asmara dengan
perempuan yang tak mungkin direstui. Tapi itu bukanlah perkara yang gampang. Tak akan leluasa.
Banyak mata yang mengawasi, banyak “intel-intel swasta” yang selalu memantau,
hingga lambat-laun akan tiba juga kabarnya di bilik ayah-ibu, Kyai dan Nyai, yang menjadi panutan banyak orang. “Kadang-kadang saya ingin berjoged dan
berjingkrak-jingkrak di panggung dangdut,” begitu kata seorang sahabat
santri suatu ketika. “Saya ingin
merokok, ingin pakai celana pendek di keramaian, bahkan ingin punya tato. Tapi
mana mungkin?” ketusnya lagi.
![]() |
foto: Instagram @koleksi_safira |
Usaha keras untuk menyimpang dari
garis tegas kesantrian semacam itulah yang dapat ditemukan dalam novel Hati Suhita, karya Khilma Anis ini. Laki-laki
bernama Birru, anak tunggal pasangan Kyai dan Nyai, pemilik pesantren besar
dengan ribuan santri, menolak permintaan sekolah ke Timur Tengah. Alih-alih bersiap menjadi ulama dengan
segala disiplin ilmu yang mesti dikuasai, ia malah kecanduan buku-buku filsafat
Barat dan novel-novel pembangkit semangat perlawanan. Di kampus, Birru malah
aktivis perlawanan kelas berat yang kerap tampil di orasi-orasi podium terbuka.
Bertolak belakang dengan harapan Abah-Ummi. Selepas menuntaskan pendidikan sarjana, alih-alih mengurus pondok,
Birru malah membangun usaha penerbitan buku, membuka café yang tujuannya tak
lain adalah untuk mengumpulkan kader-kader pergerakan. Itulah yang membuat ia makin
berjarak dengan Abah, meski diam-diam beroleh dukungan dari Ummi.
Birru telah menelikung dari “Garis
Abah” dan telah girang-gemirang dengan kebebasan yang didambakannya, tapi masih
ada satu tanjakan yang belum dapat diloncatinya, yaitu jodoh pilihan Abah-Ummi.
Perempuan bernama Alina Suhita. Cantik alang kepalang. Sopan dan lembut tingkat
dewa. Hafidzah kelas berat. Putri Kyai
besar, sahabat Abah-Ummi. Orang yang sangat diandalkan Ummi dalam pengelolaan
pesantren Al-Anwar. Akhlaknya terpuji
dan berperan sebagai jantung yang menggerakkan semua aktivitas pesantren.
Suhitalah yang menggantikan posisi yang seharusnya ditempati Birru, putra semata wayang itu.
Di dunia luar, Birru melawan apa
saja yang perlu ia lawan. Memperjuangkan hak asasi orang-orang tertindas. Tapi di dalam, ia tak bisa mengelak dari kehadiran
Suhita, ia tak berdaya melawan perjodohan guna menentukan masa depannya
sendiri. Pernikahan dengan Alina Suhita
ia terima demi kebahagiaan Ummi. Betapa tidak? Sejak Birru masih berseragam
Tsanawiyah, nama Alina Suhita telah dihadirkan Ummi di rumahnya. Nama yang
kelak akan tertera di undangan pernikahan Birru. Nama yang tak mungkin beralih
ke yang lain. Lantaran sedemikian dekatnya santriwati terbaik itu dengan Ummi,
ia mengenal ibunda Birru seperti mengenal urat lehernya sendiri. Jam minum obat
Ummi, jenis obat-obatan yang mesti dikonsumsi Ummi, cara mengatasi bila
sewaktu-waktu kesehatan Ummi drop,
dan apa saja yang berkaitan dengan aktivitas keseharian Ummi, sempurna
dikuasainya. Di mata Birru, Suhita bukan saja cerdas dan telaten mengelola
pesantren yang selama di tangannya berkembang pesat, tapi juga mahir
membahagiakan Ummi. Tanpa Suhita di pesantren Al-Anwar, situasi akan lekas genting,
Abah bakal uring-uringan, Ummi bisa jatuh sakit. Dan, Birru, adalah orang
yang tak bisa hidup tanpa Ummi. Bila
Birru sakit, hanya sentuhan tangan Ummi yang mampu menyembuhkannya.
Maka, pernikahan yang mulia dan
didoakan oleh puluhan Kyai sepuh itu hampa. Alih-alih
ada cinta yang bersemayam di dalamnya, Suhita yang tak berdosa dan tak salah
apa-apa, mesti berlinang airmata. Betapa tidak? Hingga usia pernikahan telah genap
7 bulan, Birru belum menyentuh Suhita. Bahkan sekadar berbaring di ranjang yang
sama pun, tak. Suaminya memilih tidur di Sofa, tak jauh dari ranjang. Sementara
Suhita yang telah lebih dulu mencintai Birru, senantiasa tidur dalam keadaan
menutup aurat. Sekadar berganti pakaian pun,
lantaran merasa tubuhnya tak mungkin dilirik Birru, ia memilih di kamar
mandi. Kamar pengantin hanya berisi tartil suara mengaji, lafaz halus shalat malam suami-istri,
percakapan seperlunya. Selebihnya diam. Kaku dan beku. Birru selalu pulang
larut malam. Hidangan makan malam bikinan Suhita dingin, tak terjamah, sebagaimana
tubuhnya yang belum tersentuh, tak mengundang selera.
Tak ada yang tahu kesenyapan ganjil
di ruang privat pasangan Suhita-Birru. Suami yang tak punya selera dan
menghabiskan waktunya dengan chatting
mesra dengan seseorang entah siapa, Birru yang sesekali bersuara tinggi
lantaran Suhita merapikan buku-buku di meja, sementara tempat ia menyimpan buku
itu tak diketahui Birru. Di hadapan Ummi dan Abah, mereka bersandiwara,
seolah-olah pasangan yang bahagia. Sementara di kamar, dan memang hanya di
kamar--karena Birru tak pernah
mengajak Suhita ke luar--keduanya
bagai terkeranda dalam sunyi. Suhita terus menerus menangis dalam
kesendiriannya, sementara Birru riang-gemirang, karena di sana masih ada
perempuan lain yang setia mendengar keluh kesahnya; Ratna Rengganis. Anggun tak
terkira, jago menulis, luas jejaring, orang paling diandalkan dalam proyek-proyek
Birru Cs. Berkali-kali Suhita memergoki foto-profil Rengganis di layar gawai
Birru, terutama saat ada telpon masuk, dan gawai suaminya tergeletak di atas
meja. Suhita boleh saja menguasai Pesantren Al-Anwar, menguasai Ummi dan Abah,
tapi hati suaminya berada di genggaman Rengganis.
Berbeda dengan Birru, Suhita bukan
aktivis pergerakan. Ia tak biasa melawan. Apalagi berangan-angan melompati “pagar
kesantrian”. Ia hanya bisa merahasiakan kesedihannya, ditanggungnya saja perih
luka itu, demi Ummi, mertua yang sangat menyayanginya, juga demi Birru, suami yang
sudah dicintainya. Maka, novel setebal 400-an halaman ini penuh sesak isak-tangis
Suhita yang jatuh ke dalam. Ke dalam sebuah liang di ulu hatinya. Ia tak pernah
mengukur sudah sedalam apa gerangan genangan tangisnya, di tujuh bulan usia
pernikahannya.
Suhita adalah anak patuh, tak neko-neko, tak banyak tahu dunia luar. Urusannya hanya menjaga
hapalan, mengasuh para santri, mengurus manajemen pondok, dan yang paling pokok
adalah menjaga hati Ummi dan Abah. Dibiarkannya saja gelak-tawa Birru bersama
Rengganis. Ditunaikannya segala kewajiban pada suami. Pakaian, makanan, dan semua detail keperluan
laki-laki. Dikaguminya Birru dalam posisi yang amat berjarak. Dada berbulu, tubuh yang atletis, wajah yang rupawan, tapi jangan sekali-kali berharap dapat
menyandarkan letih di bahunya. Jangan sekali-sekali menanti belaian dan kecupan,
kecuali dalam rangka berpura-pura di hadapan
Ummi. Entah sampai kapan.
Pengarang memberi kesempatan pada
lima karakter kunci untuk berbicara
dalam novel ini. Suhita, Aruna (sahabat karib Suhita), Dharma (laki-laki yang
menyukai Suhita), Birru dan Rengganis, diberi tempat sebagai subyek yang
berkisah, terutama untuk menjahit kepingan pertistiwa yang seluruhnya bertumpu pada derita Suhita. Di sinilah keganjilan mulai terasa. Pola
penceritaan, teknik-teknik pengamsalan yang selalu dikaitkan dengan kisah-kisah
pewayangan Jawa, termasuk penggunaan istilah Jawa, hampir terasa seragam pada
setiap subyek. Tak mudah membedakan mana Suhita, Aruna, Dharma, Birru dan
Rengganis, ketika masing-masing berperan sebagai subyek berkisah. Semuanya
terasa familiar dengan Arjuna, Ekalaya, Durduyana, Banowati, dan semacamnya.
Seolah-olah semuanya penggemar wayang. Seolah-olah
semuanya adalah Suhita. Padahal, Rengganis yang tak bertradisi santri, dan tak
terlalu banyak digali silsilahnya, sangat berpeluang menjadi subyek yang
mandiri dan berbeda dengan personalitas Suhita. Begitu juga Birru, yang sedari
awal telah digambarkan sebagai representasi jiwa pemberontak, ketika berperan
sebagai subyek yang berkisah, tak menampakkan watak kerasnya, tak pula tegas resistensinya
terhadap fatsun kesantrian yang mengekang kebebasannya sebagai pribadi
anti-kemapanan. Dalam batas-batas tertentu, Birru setali tiga uang saja dengan
Dharma. Anak patuh dan masih bertahan dalam berbagai “kungkungan” yang
membatasi ruang geraknya.
Selain itu, yang cukup mengganggu
adalah properti penceritaan dalam bentuk kendaraan roda empat dengan merek yang
terkategori barang mahal. Tak soal ketika properti itu muncul ketika Birru
sudah berkarir sebagai penguasa. Tapi saat Rengganis menyingkap mula-mula
perkenalannya dengan Birru di kampus yang saya duga adalah IAIN atau yang kini
telah menjadi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada waktu pengisahan yang saya terka, mahasiswa
IAIN SUKA rasanya masih dekat dengan kendaraan roda dua, ketimbang mobil, apalagi
mobil mewah seperti milik Birru. Setahu
saya, Anak Kyai setajir apapun, sekali lagi di waktu pengisahan yang saya duga,
tetap saja masih menunggangi sepeda motor.
Namun, terlepas dari
keganjilan-keganjilan kecil itu, dramatisasi romantika segitiga (Birru-Suhita-Rengganis) yang menggoreskan
luka bagi para pelakunya, tapi tetap mendedahkan kebanggaan bagi keluarga santri
yang mendambakan kegemilangan masa depan pesantren mereka, adalah elegi yang
jika diselami kedalamannya, akan membutuhkan lembaran-lembaran tisu guna
mengeringkan lembab pipi akibat rembesan airmata. Suhita memang perempuan tabah,
tak gampang menyerah, dan yakin tak mungkin kehilangan mustika ampal-nya; Birru. Tapi Suhita juga manusia. Sebagaimana Birru, yang
telah berseberangan dengan Abah, menikmati kebebasan, dan akhirnya pilihan bebas
itu melukai istrinya yang tak salah apa-apa. Sesekali muncul hasrat Suhita
untuk melawan. Kehendak ingin pergi, dan menyusun rencana guna menghidar dari lingkar
luka yang mengepung hidupnya…
DATA BUKU
(Judul: Hati Suhita. Penulis: Khilma Anis. Penerbit:Telaga Aksara, Yogyakarta. Cetakan: XII, Mei 2019. Tebal: 405 halaman)
Comments