Masa Depan Ketakpastian
Damhuri Muhammad
Siang
itu Musholla kecil di samping rumah saya telah digembok. Para pengurus inti
telah membawa kunci ke rumah masing-masing. Tidak untuk dibuka kembali menjelang
Ashar, sebagaimana biasa, tapi untuk di-non-aktifkan sementara, guna
mematuhi himbauan social distancing
(belakangan istilahnya berubah menjadi physical
distancing) di masa darurat wabah Corona. Sekilas saya pandang wajah
seorang pengurus. Tampak pasrah saja menerima hasil keputusan bersama itu, meski
jauh di kedalaman, raut mukanya menyiratkan bimbang yang tak akan mungkin terbahasakan.
Tanpa mengurangi hormat pada segala upaya
dalam memutus mata rantai penularan virus mematikan ini, kebimbangan itu adalah
bagian dari kebimbangan massal, akibat ketakpastian-ketakpastian yang
merajalela. Sampai kapan kita akan menutup pintu bagi jamaah? Sampai kapan kita
harus berpisah dengan keriangan anak-anak saat mengeja alif-ba-ta? Sampai kapan rapat-rapat rutin perihal pembagian infaq untuk
yatim dan fakir miskin akan ditunda? Sampai kapan rapat-rapat warga perihal iuran
makam, kerja bakti rutin, dan keamanan lingkungan mesti diberhentikan?
Tak ada kepastian jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan kecil itu. Semakin nyinyir dipertanyakan, semakin jauh kami
dari kepastian. Sementara ketakpastian-ketakpastian itu terus menumpuk, saya
dan para pengurus Musholla yang lain, senantiasa dikepung oleh berbagai kabar
perihal wabah Corona yang berseliweran di grup-grup percakapan daring. Kami bagai
tenggelam dalam air bah informasi yang tak ada habis-habisnya sepanjang hari.
Mulai dari angka-angka dan statistika jumlah korban meninggal di seluruh dunia
yang dimutakhirkan setiap hari, persentase rata-rata kematian, kesembuhan, dan
peningkatan jumlah kasus, hingga berbagai macam kisah dramatik seputar wabah Corona di
dalam negeri, yang hingga kini, bagai bagian dan sub-sub bagian dari sebuah
roman panjang yang tak khatam-khatam.
Foto: Koleksi Pribadi |
Arus deras dari banjir kabar itu seperti saling berpacu dengan kecepatan
penularan wabah Corona itu sendiri. Banyak orang tiba-tiba muncul dalam wajah
seorang epidemiolog, virolog, dan pakar teori konspirasi. Berbagai istilah
bergentayangan di linimasa, mulai dari lockdown, social distancing, work
from home, stay at home, physical
distancing, dan belakangan juga marak diperdebatkan; herd immunity. Dalam nada berkekalar, seorang warganet menyebut
fenomena ini dengan sindrom “Kemringgrisisme Tengik
di Musim Korona”. Menjelaskan apa itu virus, apa itu Corona, pada khalayak
jamak, sukarnya alang-kepalang, harus dijelaskan pula duduk perkara makna kata-kata
asing itu. Seolah-olah Corona hanya akan menjangkiti kaum darah-biru, sementara
kami yang awam di kasta paling bawah, tak bakal dihampiri Corona. Apakah
penyakit bisa memilih-milih warna kulit dan martabat sosial bangsa manusia?
Demikian warganet itu bertanya.
Sedemikian ajaibnya banjir
informasi yang melanda kita, Selain vaksin guna menangkal pandemik Corona,
menurut WHO, beberapa waktu lalu, kita juga membutuhkan vaksin guna membasmi
"infodemik" alias banjir informasi tentang virus itu sendiri. Kedua
vaksin itu belum ditemukan hingga kini. Tangkapan data udara Drone Academy
dengan kata kunci "Covid-19" dalam rentang waktu 2 hari terakhir
(22-23 Maret 2020) saja, menghimpun 2.831.458 konten yang mengandung kata
"Covid-19". Tak kurang dari 1.675.849
akun medsos aktif dengan frekuensi unggahan (berisi konten Covid-29) 1-5 kali.
Di masa physical distancing di mana
banyak orang bekerja secara daring (tentu didominasi oleh kegandrungan
bermedsos), Twitter dan Facebook kabarnya sedang mengurangi kualitas tampilan
video guna menghindari banjir konten agar sistem penyimpanan datanya tidak
tiarap. Arus deras kabar yang dibawa oleh konten-konten yang membludak
itu, bergerak amat cepat, bahkan lebih cepat dari penularan Covid-19 itu
sendiri. Ada yang benar, tapi tak sedikit pula yang menyesatkan, bahkan tak
jarang telah memicu kepanikan. Dalam seminggu terakhir, situs resmi www.covid19.go.id telah
menangkal tak kurang dari 188 konten hoaks tentang Corona. Jumlah yang akan
terus bertambah sepanjang masa darurat bencana nasional.
Dengan rupa-rupa upaya yang
telah dilakukan, lalu kapan kurva statistika korban Corona akan melandai? Atau
jika masih akan terus menanjak tajam, di bulan apa kira-kira penularan itu akan
memuncak di Indonesia? Sudah sampai di mana pekerjaan para ahli dalam kerja
penemuan vaksin guna membasmi Corona?
Demikian topik obrolan pagi kami, di WAG
pengurus Musholla. Sekali lagi tak ada kepastian atas
pertanyaan-pertanyaan yang mengandung kecemasan
itu. Alih-alih kepastian, banjir informasi tentang Corona, malah
semakin menebalkan kebimbangan, dan tak jarang membuat kami terombang-ambing di
antara “percaya”, “waspada”, “sabar”, “kecewa” dan “takut”. Pagi kami percaya,
siang berubah takut, sore “waspada”, malam “kecewa” dan sebelum tidur, hanya kesabaran
yang dapat mengendalikan kepanikan kami.
Dalam masyarakat komunal,
jika kita sedang bimbang, biasanya kita perlu berbagi, bercakap-cakap dengan
sesama, setidaknya untuk memastikan bahwa bukan
saya belaka yang sedang berada di zona galau, karena itu adalah kegalauan
berjamaah. Celakanya, jangankan bercakap-cakap di pos kamling atau area
tongkrongan di sekitar permukiman urban, berkumpul di Musholla untuk shalat 5 waktu saja, tak diperkenankan untuk sementara waktu. Darurat Corona
membuat komunalisme yang telah mendarah-daging dalam keseharian kita, bergeser ke wilayah individualisme yang
janggal.
Kita tak henti-henti
meneriakkan himbauan Di Rumah Saja
sebagai bagian dari etos kebersamaan dalam menghadapi wabah berbahaya, tapi
pada saat yang sama, kita harus mengurung diri sendiri, tanpa bertatap muka
dengan tetangga dan para sejawat karib di lingkungan kita. Demi kemaslahatan
bersama, solidaritas ternyata harus dipaksakan bekerja dengan individualitas. Atas
nama ancaman, komunalisme “dilumpuhkan,” karena yang dipercaya dapat menyelamatkan
hidup kita kini adalah individualisme.
Inilah paradoks besar yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya.
”Rejim” ketakpastian bukanlah
barang baru dalam “habitus” kewargaan kita sebagai bagian dari Indonesia. Janji-janji
tentang kesejahteraan, harapan-harapan akan perubahan nasib di masa datang,
komitmen-komitmen tentang layanan publik yang manusiawi, dan pemenuhan rasa keadilan
bagi seluruh warga yang kerap dipidatokan, apakah sungguh-sungguh telah tegak sebagai kepastian yang tak perlu lagi diragukan? Itupun bukan persoalan bagi kita,
sepanjang basis komunal tidak diruntuhkan. Dalam situasi ketakpastian itu, banyak
orang masih dapat mengalihkan harapannya pada ruang-ruang mistis dan
eskatologis di komunitas-komunitas Burung Berkicau atau penyuka Batu Akik
misalnya, atau ruang-ruang klenik-futurustik yang tersedia dalam janji-janji
membuai di kerumunan pengikut Ratu Kerajaan Ubur-ubur, Kraton Agung Sejagat,
atau visi-visi agung dan adiluhung yang pernah
diwartakan oleh pejabat tinggi Sunda Empire.
Tapi, kini kanal komunal guna merawat harapan-harapan
baru itu sedang disumbat rapat-rapat, atas nama keselamatan umat sejagat. Tak
ada yang boleh melarikan diri dari pusaran ketakpastian. Tak ada yang
diperkenankan mengurangi beban kebimbangan dengan cara mempercakapkannya di
Musholla selepas Subuh, Maghrib, atau Isya. Tak ada yang bisa mengeluhkan harga
sembako yang melonjak di kerumunan ibu-ibu hebring saat berbelanja di
bakul-bakul sayur. Tak ada jaminan keselamatan bagi warga yang masih nekat menggelar arisan RT,
meski banyak anggota yang belum dapat giliran sedang didesak oleh banyak
kebutuhan. Semua pintu komunal telah dikunci, sebagaimana pintu masuk Musholla
kecil kami. Semua akses untuk bertatap muka boleh jadi akan segera dijaga oleh tentara.
Ruang-ruang untuk menjaring kegembiraan sesaat di masa pagebluk ini bagai
sedang dipasang garis polisi.
Kabar tentang vaksin Corona
belum juga tiba. Kurva data kematian akibat virus itu entah kapan bakal melandai.
Timbunan ketakpastian demi ketakpastian telah menyesak hingga pangkal pernapasan. Para
pengurus Musholla yang sudah terkunci itu, kini mengelola ketakpastian-ketakpastian
dalam kesepian, dalam individualitas yang ganjil, tanpa canda-tawa, tanpa tatap
muka, tanpa bahasa…
Comments