Korona dan Belantara Angka-angka
Damhuri
Muhammad
Di
belantara kelisanan tentang wabah korona yang begitu rimbun hari-hari ini, sejatinya saya tak ingin
nimbrung bicara. Sebagai rakyat jelata, saya sudah rela menerima apapun akibat
dari penularan wabah itu bagi hidup keseharian saya. Saya selamat alhamdulillah, saya mati konyol pun tak
soal. Tapi bagaimana mungkin saya menghindar dari kenyinyiran yang beranak-pinak
hampir setiap menit? Segala macam gawai
telah saya istirahatkan, tapi iklan-iklan sampiran platform Youtube yang dilayarbesarkan oleh anak-anak, tetap saja
melintas sewaktu-waktu. Saya melarikan diri ke pos kamling, topik inti obrolan
tetap saja; korona.
Dari semua perbincangan yang
keluar-masuk di gendang telinga saya, arus utamanya tak beralih dari semesta
angka-angka. Jumlah kasus per hari ini, jumlah pasien terdeteksi, jumlah pasien
sembuh, jumlah yang meringkuk di ruang isolasi, hingga jumlah pasien meninggal
dunia. Hari-hari saya bagai dikepung oleh grafik, diagram, dan kurva di mana
isinya tak lebih dari angka-angka. Seolah-olah angka-angka itu lebih berkuasa
dari bahasa. Seolah-olah statistika itu lebih jumawa dari jiwa-jiwa yang
dikalkulasikannya. Hari ini sudah berapa
orang yang mati? Begitu bunyi pertanyaan pentingnya. Jawabannya tak lebih dari angka-angka, tanpa
perlu dijelaskan, apakah itu mati konyol, mati terhormat setelah upaya penyelamatan
habis-habisan, atau mati auto-pilot karena
memang saat itulah ajalnya tiba.
ilustrasi: DetikCom |
Oleh karena yang saya peroleh melulu
angka-angka, saya tidak lagi percaya bakal ada pihak-pihak yang dapat
menjelaskan duduk perkara bagaimana sebenarnya cara virus itu menghabisi nyawa
manusia? Bagaimana cara tuan-tuan dokter
melakukan observasi, variabel apa saja yang diteliti, uji-laboratorium jenis
apa saja yang ditempuh, alat apa yang digunakan (saya tidak yakin Indonesia punya alatnya) sebelum mereka mengambil
kesimpulan; Positif Covid-19. Bagi saya, adalah hak setiap orang (apapun status sosialnya) untuk mendapatkan argumentasi yang matang tentang kenapa
dia divonis kanker otak, gagal-ginjal, diabetes, bahkan sekadar panu, kurap,
dan kutu air. Apalagi Covid-19 yang notabene
virus baru. Apa jenis detektornya, bagaimana cara kerjanya, dan seakurat apa temuannya?
Menurut saya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan remeh itu tak dapat dibereskan
dengan angka-angka belaka.
Kejengkelan semacam itu telah
bermula sejak lama. Dimulai dari vonis dokter atas orang-orang dekat saya.
Katakanlah sahabat karib yang pernah menerima diagnosa gagal-ginjal, dan dengan lagak
seperti ahli nujum, seorang dokter memperkirakan usianya tak akan lebih dari 2
tahun lagi. Sahabat saya tak menyangkal vonis itu. Ia ikuti saja saran
cuci-darah rutin, ia tebus semua resep di apotek tanpa peluang tawar-menawar serupiah
pun. Menurut saya, inilah bisnis paling zalim di dunia. Disebut bisnis, tapi tak ada peluang tawar-menawar bagi konsumen. Berapapun bandrol obat
yang tertera pada nota, dibayarnya saja
dengan lapang dada. Hingga 9 tahun kemudian, setelah menjalani hidup dengan
cuci-darah 3 kali seminggu, dengan pembiayaan yang tak perlu saya kalkulasikan
dengan angka-angka, ia masih sehat-wal’afiat, tak kurang satu apapun jua. Lalu
di mana pertanggungjawaban diagnosa perihal tenggat usia seorang pasien? Teman saya yang ditakar usianya dalam 2 tahun
ke depan saja, ternyata tidak mati-mati, alias hidup sentosa sebagaimana
manusia-manusia sehat lainnya.
Dalam kasus Positif Covid-19,
bagaimana kalau seandainya pasien tervonis merasa baik-baik saja, tak mengeluh
sakit sama sekali, sementara ia sudah terlanjur menanggung stigma, rumahnya
dipagari garis-polisi, dikucilkan dari pergaulan, atau bahkan di-bully khalayak jamak dengan kenyinyiran tingkat dewa? Bagaimana kalau diagnosa
itu salah atau kesimpulan Positif Covid-19 cacat-ilmiah? Risiko apa yang mesti dipikul oleh para
pekerja statistik yang telah mencantumkan dirinya sebagai bagian dari kurva
penderita? Di mana tanggungjawab keilmuan orang-orang medik yang selama
berkurun-kurun dipandang sebagai profesia mulia tempat banyak orang
menyandarkan cita-cita?
Itulah sebabnya, saya tidak bisa percaya pada
angka-angka. Saya lebih hormat pada jiwa-jiwa di mana para penderitanya adalah
para manusia. Kecemasan manusia atas ancaman besar yang bakal merenggut nyawa
mereka tak mungkin dibaca oleh statistik. Kekecewaan manusia atas orang-orang
yang telah dipercayainya bakal memberi rasa aman dalam hidupnya sebagai warga
negara, juga mustahil diukur dengan angka-angka. Kemarahan manusia atas
manusia-manusia lainnya yang sengaja mencari keuntungan ini-itu di atas bencana
kemanusiaan itu sendiri, hanya bisa dibaca dengan naluri kemanusiaan pula.
Bukan dengan matematika, apalagi dengan grafik, diagram, dan kurva.
Peduli setan dengan angka-angka dan
statistika! Alih-alih membaca angka-angka, saya lebih tertarik untuk bercakap-cakap
dengan kucing liar yang meminta suaka ke rumah saya--lantaran
dibuang seperti binatang berpenyakit oleh majikannya. Sesekali
saya tergoda untuk bertanya pada hewan
itu; kenapa kaum binatang malah kebal dari
virus korona? Kenapa saya tak mendengar kabar tentang kucing kesayangan nyonya-nyoya
Jakarta terinfeksi korona? Maka, di musim korona yang semakin mencekam ini, kalaupun
saya akan bertanya dengan angka-angka sebagai jawabannya, pertanyaan
terakhir saya adalah; sudah berapa banyak
rakyat Indonesia yang gila, lantaran saban hari disuapi statistika?
Comments