Menimbang Kuasa Data


Damhuri Muhammad


 
(versi cetak artikel ini tersiar di harian Kompas, Selasa, 10 Maret 2020)


Kolom-kolom digital pada form registrasi akun baru telah saya isi. Sejujur-jujurnya, seakurat-akuratnya. Sebab, demikianlah peringatan yang muncul setiap kali saya bergeser dari kolom ke kolom. Pagi itu, saya perlu akses pada sebuah data untuk kelengkapan riset ringan. Sejak aktivitas saya “terkeranda” dalam ekosistem digital, entah kali ke berapa saya meng-input data untuk rupa-rupa kebutuhan. Jika belum ribuan, mungkin kuantitasnya sudah ratusan kali. Tiba-tiba saya tergoda untuk menghitung, sudah berapa banyak saya melepaskan data di dunia maya?   
        Aktivitas mula-mula saya selepas bangun pagi adalah memeriksa layar telpon pintar, membaca notifikasi pesan-masuk dari macam-macam aplikasi chat-online, lalu lekas membalasnya.  Setelah 1-3 pesan terbalas, kadang-kadang sambil antri kamar mandi, masih ada sedikit waktu untuk membuka notifikasi email, lalu memilih pesan-pesan penting untuk direspons secara ringkas. Selepas berbagai aktivitas ringan itu, sembari menyantap sarapan, tangan saya tak juga lepas dari gawai, karena linimasa media sosial belum sempat dibuka. Bila sebelumnya, aktivitas saya masih “responsif”, di fase ini meningkat menjadi “aktif”.  Saya mulai menulis status, nimbrung berkomentar di status para sejawat, atau melepaskan konten baru, yang menurut saya bakal menyemarakkan keriangan pagi, sebelum meluncur ke tempat bekerja.           
Dalam perjalanan menuju kantor dengan moda transportasi publik, tentu masih banyak waktu untuk lagi-lagi scrolling layar gawai. Di sela-sela scrolling macam-macam aplikasi news atau medsos, 1-2 pesan pendek terkait urusan pekerjaan mulai tiba, dan mesti di-reply segera, apalagi bila sumbernya dari atasan. Hampir tak terasa waktu berjalan. Situasi berdesak-desakan di gerbong KRL Commuterline misalnya, tak terhiraukan, lantaran asyik-masyuk dengan gawai, tiba-tiba saya sudah sampai di stasiun tujuan, meloncat turun untuk selekasnya tiba di meja kerja, dengan tumpukan pekerjaan yang menjengkelkan.

shutterstock image by Reanew/660647326


Prahariezka Arfienda (2018) dalam artikelnya di www.algorit.ma--situs akademi Data Science yang berbasis di Jakarta--mencatat jumlah pengguna telpon pintar di dunia sekitar 5.135 milyar. Sekelompok peneliti yang menamai diri mereka IDC, memperkirakan jumlah data di seluruh dunia akan mencapai 163 zettabyte (ZB) pada 2025. Angka tersebut diperoleh berdasarkan laju produksi data tahunan di seluruh dunia yang kini mencapai 16.3 ZB. Satu ZB  setara dengan 1 triliun gigabyte (GB). Bayangkanlah, jika setiap hari pengguna telpon pintar mengunggah foto, video, dan mengirim email. Belum lagi, data-data yang berasal dari sensor, kamera CCTV, database di instansi pemerintahan, dan semacamnya. Dari situlah samudera data tercipta.  
        Dari sejumlah sumber yang dihimpun oleh Prahariezka Arfienda, tercatat bahwa mesin pencari Google memproses tak kurang dari 24 petabyte (setara 24 terabyte) data setiap hari, yang terhisap dari 3,5 milyar aktivitas pencarian. Di ruang mobile data, dari proses mengirim-menerima, dihasilkan 1,3 exabyte (setara 1.300.000 TB) setiap hari. 156 juta email terkirim setiap hari, dengan total jumlah  spam yang mencapai 103.447.52 setiap menitnya. Lalu berapa data yang dihasilkan oleh aplikasi percakapan online, termasuk WhatsApp Group (WAG) yang saban hari menyesakkan memori internal gawai kita? Tak kurang dari 15 juta pesan teks terkirim setiap hari. Sementara situs eksiklopedi gratis, wikipedia, menghasilkan 864.000 pemutakhiran halaman setiap hari. 100 juta orang menggunakan fitur InstaStory IG setiap hari, dan 95 juta orang mengunggah foto dan video. 293.000 status Facebook muncul setiap menit, dengan total jumlah komentar mencapai 510.000 per menit. Ini belum termasuk jumlah video yang diunggah dan dikomentari di Youtube, lagu-lagu yang diputar di Spotify, cuitan singkat di Twitter dan data yang dihasilkan berbagai platform yang berjumlah ratusan juta.
        Dalam sebuah kesempatan, seorang menteri di republik ini berkomentar,  bahwa data ibarat tambang emas di abad ini. Meski hanya celetukan ringan, itu benar adanya. Di dunia computational thinking (penyelesaian masalah berbasis matematika komputer), cara berpikir itu biasa dikenal dengan Data Mining alias tambang data. Cara kerjanya sederhana, timbunan data diklasifikasi, di-regresi,  dan dikelompokkan secara cepat dengan macam-macam piranti lunak.  Dari pengolahan itu kemudian diperoleh pengetahuan tentang pola, trend, dan anomali-anomali tertentu, dalam bentuk grafik, kurva, dan diagram. Dengan kecanggihan piranti lunak ciptaan para ahli IT, data dapat “ditambang” seperti memisahkan serbuk-serbuk emas dari pasir dan lumpur, dalam sebuah aktivitas tambang tradisional. Bedanya, piranti semacam RStudio (software untuk proses clustering) dan Orange (software untuk visualisasi cluster) bekerja cepat, dan menghasilkan kesimpulan yang seolah-olah akurat, bahkan tanpa observasi, hipotesa, apalagi eksperimentasi.    
        Perangkat lunak yang bekerja dalam tambang data itu diciptakan oleh sebuah upaya bernama Machine-Learning alias mesin yang belajar. Semakin banyak saya menyetor data ke dunia maya, semakin besar kesempatan mesin-mesin tak kasat mata itu untuk belajar. Menghapal, menghitung, mengelompokkan, memetakan pola,  menandai anomali, dan akhirnya menegaskan kesimpulan tentang hidup saya. Sebagai bagian dari Big Data yang telah di-ekstraksi untuk berbagai kepentingan--terutama kepentingan industri periklanan--hampir semua aktivitas keseharian saya digerakkan oleh bit-bit digital yang bermukim di jantung industri-industri raksasa.
       Bahwa salep gatal-gatal yang biasa saya pakai, dalam rentang waktu 2 bulan ke depan, tak perlu digunakan lagi.  Sebab, penyakit saya sudah beralih menjadi “sakit kepala sebelah.” Karena itu, di linimasa media sosial saya telah bermunculan banyak pilihan obat bagi penyakit baru tersebut. Saya hanya perlu menimbang soal harga dan efek sampingnya, tapi jangan coba-coba abai  berbelanja. Bila saya cuek, layar gawai saya akan dibanjiri notifikasi yang mengingatkan bahwa bakal ada jenis penyakit baru, lengkap dengan informasi tentang upaya-upaya jitu guna mencegah bahayanya, yang tentu saja dengan sekali lagi; berbelanja.
         Agenda menonton film, membeli buku, liburan ke luar kota, atau sekadar memilih jenis jajanan yang akan di-order via aplikasi digital tidak lagi ditentukan oleh keinginan manusiawi saya, melainkan oleh kecerdasan mesin (artificial intelligence) yang dirancang berdasarkan hasil Data Mining tentang saya dan jutaan netizen tak berdaya lainnya. Di manakah ruang yang tersisa bagi observasi tatap muka, eksperimentasi berkala, mekanisme verifikasi dan falsifikasi, sebagai syarat guna merumuskan pengetahuan ilmiah, sebagaimana yang dulu ditempuh para ilmuwan?  Di mana tempat bersembunyi dari godaan untuk mengunggah foto-foto keluarga, menanggapi konten-konten sampah di WAG, dan scrolling linimasa media sosial dengan kandungan agitasi dan proganda yang tak terhingga banyaknya? “Berpikir itu melelahkan! Serahkan saja hidup kita pada mesin-mesin cerdas di jagat maya. Guna membalas budi-baiknya, asupilah mereka dengan data!” begitu pesan seorang pakar algoritma, dalam sebuah Diklat Tambang Data… 

*artikel ini telah menjadi bagian dari buku Takhayul Milenial, yang diterbitkan oleh BinaBuku, Jakarta 2020. Sahabat pembaca yang ingin memiliki buku tersebut, dapat melakukan pemesanan di sini:





                  

Comments

Popular Posts