Menimbang Kuasa Data
Damhuri Muhammad
Kolom-kolom
digital pada form registrasi akun
baru telah saya isi. Sejujur-jujurnya, seakurat-akuratnya. Sebab, demikianlah
peringatan yang muncul setiap kali saya bergeser dari kolom ke kolom. Pagi itu,
saya perlu akses pada sebuah data untuk kelengkapan riset ringan. Sejak
aktivitas saya “terkeranda” dalam ekosistem digital, entah kali ke berapa saya
meng-input data untuk rupa-rupa kebutuhan.
Jika belum ribuan, mungkin kuantitasnya sudah ratusan kali. Tiba-tiba saya
tergoda untuk menghitung, sudah berapa banyak saya melepaskan data di dunia
maya?
Aktivitas mula-mula saya
selepas bangun pagi adalah memeriksa layar telpon pintar, membaca notifikasi
pesan-masuk dari macam-macam aplikasi chat-online,
lalu lekas membalasnya. Setelah 1-3
pesan terbalas, kadang-kadang sambil antri kamar mandi, masih ada sedikit waktu
untuk membuka notifikasi email, lalu memilih pesan-pesan penting untuk direspons
secara ringkas. Selepas berbagai aktivitas ringan itu, sembari menyantap sarapan,
tangan saya tak juga lepas dari gawai, karena linimasa media sosial belum
sempat dibuka. Bila sebelumnya, aktivitas saya masih “responsif”, di fase ini meningkat
menjadi “aktif”. Saya mulai menulis
status, nimbrung berkomentar di status para sejawat, atau melepaskan konten
baru, yang menurut saya bakal menyemarakkan keriangan pagi, sebelum meluncur ke
tempat bekerja.
Dalam perjalanan menuju kantor dengan
moda transportasi publik, tentu masih banyak waktu untuk lagi-lagi scrolling layar gawai. Di sela-sela scrolling macam-macam aplikasi news atau medsos, 1-2 pesan pendek
terkait urusan pekerjaan mulai tiba, dan mesti di-reply segera, apalagi bila sumbernya dari atasan. Hampir tak terasa
waktu berjalan. Situasi berdesak-desakan di gerbong KRL Commuterline misalnya, tak terhiraukan, lantaran asyik-masyuk dengan gawai, tiba-tiba
saya sudah sampai di stasiun tujuan, meloncat turun untuk selekasnya tiba di
meja kerja, dengan tumpukan pekerjaan yang menjengkelkan.
shutterstock image by Reanew/660647326 |
Prahariezka Arfienda (2018) dalam
artikelnya di www.algorit.ma--situs
akademi Data Science yang berbasis di
Jakarta--mencatat
jumlah pengguna telpon pintar di dunia sekitar 5.135 milyar. Sekelompok
peneliti yang menamai diri mereka IDC, memperkirakan jumlah data di seluruh
dunia akan mencapai 163 zettabyte (ZB)
pada 2025. Angka tersebut diperoleh berdasarkan laju produksi data tahunan di
seluruh dunia yang kini mencapai 16.3 ZB. Satu ZB setara dengan 1 triliun gigabyte (GB). Bayangkanlah, jika setiap
hari pengguna telpon pintar mengunggah foto, video, dan mengirim email. Belum
lagi, data-data yang berasal dari sensor, kamera CCTV, database di instansi pemerintahan, dan semacamnya.
Dari situlah samudera data tercipta.
Dari
sejumlah sumber yang dihimpun oleh Prahariezka Arfienda, tercatat bahwa mesin pencari
Google memproses tak kurang dari 24 petabyte
(setara 24 terabyte) data setiap
hari, yang terhisap dari 3,5 milyar aktivitas pencarian. Di ruang mobile data, dari proses mengirim-menerima,
dihasilkan 1,3 exabyte (setara
1.300.000 TB) setiap hari. 156 juta email terkirim setiap hari, dengan total
jumlah spam yang mencapai 103.447.52
setiap menitnya. Lalu berapa data yang dihasilkan oleh aplikasi percakapan online, termasuk WhatsApp Group (WAG) yang saban hari menyesakkan memori internal
gawai kita? Tak kurang dari 15 juta pesan teks terkirim setiap hari. Sementara
situs eksiklopedi gratis, wikipedia,
menghasilkan 864.000 pemutakhiran halaman setiap hari. 100 juta orang
menggunakan fitur InstaStory IG
setiap hari, dan 95 juta orang mengunggah foto dan video. 293.000 status
Facebook muncul setiap menit, dengan total jumlah komentar mencapai 510.000 per
menit. Ini belum termasuk jumlah video yang diunggah dan dikomentari di
Youtube, lagu-lagu yang diputar di Spotify, cuitan singkat di Twitter dan data
yang dihasilkan berbagai platform yang
berjumlah ratusan juta.
Dalam sebuah
kesempatan, seorang menteri di republik ini berkomentar, bahwa data ibarat tambang emas di abad ini. Meski
hanya celetukan ringan, itu benar adanya. Di dunia computational thinking (penyelesaian masalah berbasis matematika
komputer), cara berpikir itu biasa dikenal dengan Data Mining alias tambang data. Cara kerjanya sederhana, timbunan
data diklasifikasi, di-regresi, dan dikelompokkan
secara cepat dengan macam-macam piranti lunak. Dari pengolahan itu kemudian diperoleh
pengetahuan tentang pola, trend, dan
anomali-anomali tertentu, dalam bentuk grafik, kurva, dan diagram. Dengan
kecanggihan piranti lunak ciptaan para ahli IT, data dapat “ditambang” seperti
memisahkan serbuk-serbuk emas dari pasir dan lumpur, dalam sebuah aktivitas
tambang tradisional. Bedanya, piranti semacam RStudio (software untuk
proses clustering) dan Orange (software untuk visualisasi cluster)
bekerja cepat, dan menghasilkan kesimpulan yang seolah-olah akurat, bahkan
tanpa observasi, hipotesa, apalagi eksperimentasi.
Perangkat
lunak yang bekerja dalam tambang data itu diciptakan oleh sebuah upaya bernama Machine-Learning alias mesin yang
belajar. Semakin banyak saya menyetor data ke dunia maya, semakin besar
kesempatan mesin-mesin tak kasat mata itu untuk belajar. Menghapal, menghitung,
mengelompokkan, memetakan pola, menandai
anomali, dan akhirnya menegaskan kesimpulan tentang hidup saya. Sebagai bagian
dari Big Data yang telah di-ekstraksi
untuk berbagai kepentingan--terutama kepentingan
industri periklanan--hampir semua aktivitas keseharian
saya digerakkan oleh bit-bit digital yang bermukim di jantung industri-industri
raksasa.
Bahwa salep
gatal-gatal yang biasa saya pakai, dalam rentang waktu 2 bulan ke depan, tak
perlu digunakan lagi. Sebab, penyakit
saya sudah beralih menjadi “sakit kepala sebelah.” Karena itu, di linimasa
media sosial saya telah bermunculan banyak pilihan obat bagi penyakit baru
tersebut. Saya hanya perlu menimbang soal harga dan efek sampingnya, tapi jangan
coba-coba abai berbelanja. Bila saya
cuek, layar gawai saya akan dibanjiri notifikasi yang mengingatkan bahwa bakal
ada jenis penyakit baru, lengkap dengan informasi tentang upaya-upaya jitu guna
mencegah bahayanya, yang tentu saja dengan sekali lagi; berbelanja.
Agenda menonton
film, membeli buku, liburan ke luar kota, atau sekadar memilih jenis jajanan
yang akan di-order via aplikasi digital
tidak lagi ditentukan oleh keinginan manusiawi saya, melainkan oleh kecerdasan
mesin (artificial intelligence) yang
dirancang berdasarkan hasil Data Mining
tentang saya dan jutaan netizen tak
berdaya lainnya. Di manakah ruang yang tersisa bagi observasi tatap muka,
eksperimentasi berkala, mekanisme verifikasi dan falsifikasi, sebagai syarat
guna merumuskan pengetahuan ilmiah, sebagaimana yang dulu ditempuh para
ilmuwan? Di mana tempat bersembunyi dari
godaan untuk mengunggah foto-foto keluarga, menanggapi konten-konten sampah di
WAG, dan scrolling linimasa media sosial
dengan kandungan agitasi dan proganda yang tak terhingga banyaknya? “Berpikir
itu melelahkan! Serahkan saja hidup kita pada mesin-mesin cerdas di jagat maya.
Guna membalas budi-baiknya, asupilah mereka dengan data!” begitu pesan seorang
pakar algoritma, dalam sebuah Diklat Tambang Data…
*artikel ini telah menjadi bagian dari buku Takhayul Milenial, yang diterbitkan oleh BinaBuku, Jakarta 2020. Sahabat pembaca yang ingin memiliki buku tersebut, dapat melakukan pemesanan di sini:
Comments