90 Menit Usia Kesombongan

Damhuri Muhammad


Setelah Kim Vilfort menjebol gawang Jerman yang dijaga oleh Illger, yang membuat skor akhir 2-0 untuk Denmark, hingga tim asuhan Moller Nielsen  itu ternobat sebagai juara Eropa 1992, Copenhagen bagai tenggelam dalam lautan kegembiraan. Tak lama setelah perayaan besar-besaran itu, sebuah perusahaan memberi hadiah kepada Peter Schmeichel, Kim Christofte dan kawan-kawan.  Sebagaimana dicatat Sindhunata (2002) dalam Bola di Balik Bulan, mereka ditraktir berlibur di sebuah negara di Eropa, sesuai pilihan masing-masing. Yang unik dari hadiah itu adalah, ongkos berlibur bukan hanya untuk seluruh pemain, tetapi juga untuk anjing piaraan para pemain (jika punya). Dengan begitu, mereka boleh membawa anjing piaraan dalam liburan itu, dan tak perlu cemaskan ongkosnya. Semua ditanggung beres. Dari desas-desus yang bergulir, hadiah piknik bersama anjing piaraan itu rupanya hendak  menyindir publik sepak bola dunia bahwa dalam kompetisi besar itu sejak mula, bukankah Denmark hanya ditimbang sebagai underdog? Tapi dalam perjalanannya, dinamit itu meledak,  menghancurkan Prancis, dan membuat Belanda angkat koper lebih dini. 


Foto: akun twitter @footballmirror


"Melawan Belanda akan lebih sulit buat kami," kata anak-anak asuh Berti Vorgts waktu itu.  Ungkapan yang terdengar seperti mengandung penyesalan, lantaran pertarungan penghabisan di stadion Ullevi, Gothenburg, Swedia itu hanya menyisakan Denmark. Seolah-olah Andreas Brehme, Stefan Effenberg dan kawan-kawan dengan mudah bakal melumat "tim hiburan" itu. Bagi Jerman, lawan idaman adalah Belanda, bukan "tim sirkus," "tim bayi" "tim Disneyland,"  dan sederet julukan yang meremehkan Denmark. Namun, tak lama setelah wasit Bruno Galler meniup pluit terakhir, dunia menyaksikan selebrasi kemenangan Denmark, seperti kegembiraan orang-orang saat menonton atraksi sirkus. "Sungguh tak terlukiskan, bahwa kami telah mengalahkan juara Eropa dan juara dunia sekaligus," kata Bryan Laudrup. Flemming Povslen telah membuktikan bahwa kesombongan tim-tim besar di kejuaraan penting itu, hanya berusia 2 x 45 menit. 

Takdir sebagai tim yang dipandang sebelah mata bagi Denmark bukan saja datang dari rival-rival beratnya di Swedia. Jauh sebelum itu, tim ini juga dianggap kurang menjanjikan bagi umat sepak bola di negerinya sendiri. Federasi Sepak Bola Denmark (DBU) tak sungguh yakin pada kemampuan Moller Nielsen sebagai pelatih. "Nenekku dapat mencatatkan hasil yang lebih baik daripada Moller (Nielsen)," ujar Hans Bjerg-Pedersen, Presiden DBU masa itu, sebagaimana dikutip oleh Sandy Firdaus (www.panditfootball.com, 2017). Cemooh tak berhenti di situ, Nielsen bahkan juga diragukan oleh para pemain Denmark yang sedang bertabur bintang. Jan Molby yang kala itu menjadi bintang Liverpool menyebut posisi Nielsen yang dulu hanya asisten Sepp Piontek (pelatih Denmark sebelumnya) akan membuat ia sulit mendapatkan rasa hormat dari pemain. Bagi publik Denmark, Sepp Piontek adalah orang yang telah berjasa besar membawa tim kesayangan mereka ke Piala Dunia 1986. Piontek mengundurkan diri pada 1990,hingga menyisakan posisi kosong di kursi pelatih Denmark. Nielsen yang dipercaya sebagai asisten Piontek tentu berharap dapat mengisi posisi tersebut. Tapi pihak DBU meragukan kapasitas  Nielsen. Disebut-sebut DBU tak punya rencana untuk mengangkat Nielsen sebagai pelatih timnas. Mereka lebih menginginkan sosok Horst Wohlers pelatih Bayer Uerdingen untuk menggantikan Piontek. Bahkan setelah Denmark ternobat sebagai juara Eropa, tetap saja lebih banyak orang mengenang jasa Piontek ketimbang kerja keras Nielsen. Jika perangai semacam ini didengar oleh para penggila sepak bola asal Padang, maka sudah selayaknya mereka menyumpahi orang Denmark dengan umpatan berbunyi: P*ntek...  

Di gelanggang EURO 2021, Denmark tampaknya belum lepas dari takdir "tak diunggulkan." Bahwa perhatian besar tumpah ruah untuk Simon Kjaer dan kawan-kawan iya, tapi itu lebih dipicu oleh naluri manusiawi setelah Christian Eriksen tiba-tiba kolaps di lapangan saat berhadapan dengan Finlandia. Doa-doa mengalir deras untuk kesembuhan Eriksen, dan  puja-puji disematkan atas Kjaer Cs yang melindungi Eriksen dari sorotan kamera saat gelandang Inter Milan itu mendapat pertolongan pertama dari tim medis. Pada saat yang sama tampak pula Kjaer sedang memeluk seorang wanita (diduga pasangan Eriksen) yang sedang berlinang airmata ketika Eriksen belum sadar. Sekali lagi, perhatian itu tidak dalam rangka menjagokan Denmark sebagai calon juara Eropa, tapi lebih karena kesedihan melihat nasib malang yang menimpa salah satu pemainnya. Menjagokan Denmark? Nanti dulu!

Maka tengoklah perjalanan Denmark menuju 16 besar. Kalah dari Finlandia (0-1) dan Belgia (1-2) dan hanya menang secara fantastis atas Rusia (4-1). Di fase gugur, anak-anak asuh Kasper Hjulmand akan berhadapan dengan Wales pada Sabtu 26 Juni 2021 di stadion Stadion Johan Cruyff Arena, Amsterdam, Belanda. Setali tiga uang dengan Denmark, Gareth Bale dan kawan-kawan tentu juga jauh dari status diunggulkan. Meski begitu, Wales datang dengan mimpi besar yang ditopang oleh pencapaian mereka pada Piala Eropa 2016. Meski mimpi itu kemudian dikandaskan oleh Portugal di semifinal, rasa percaya diri mereka tumbuhkan dengan cara mengingat "tim dongeng" Denmark yang tak diperhitungkan, tapi toh bisa juara. Begitu pun dengan Yunani pada 2004. Atas dasar mitos tentang "siklus 12 tahunan" di mana dalam siklus itu kesebelasan kecil dan pinggiran akan menjadi juara. Dalam catatan Sindhunata (2016), "siklus 12 tahunan" itu pertama kali memang digaungkan oleh Wales ketika mereka akan menghadapi Portugal. Wales merasa dirinya sebagai kesebelasan kecil, dan  tahun 2016 itu adalah 12 tahun setelah Yunani juara. Tidakkah mungkin jatah juara itu sekarang jatuh ke tangan Wales?  Begitu keyakinan Gareth Bale dan kawan-kawan masa itu  "Kami sudah terbiasa menjadi tim yang tak diunggulkan," kata Bale dalm sesi wawancaranya sebelum menghadapi Denmark.   

"Saya tak berpikir ada batasan (untuk ambisi kami), terutama setelah Euro terakhir. Skuad ini lebih berkembang dan saya pikir terus berkembang," kata Daniel James. Baik pada Denmark maupun Wales, belum terdengar ungkapan bernada pejoratif semacam underdog, "tim dongeng," dan semacamnya, tapi pemenang laga ini akan segera berhadapan dengan hasil laga Belanda kontra Republik Ceko. Seandainya mitos (siklus 12 tahunan) yang dirawat Wales tak menjadi kenyataan, tak ada salahnya membayangkan tim Dinamit akan kembali menggempur Belanda. Peristiwa itu akan kembali mengingatkan kita pada tabiat congkak Van Breukelen pada 1992, setelah tim oranye terjungkal di kaki Denmark. 

"Hanya kami yang dapat membuat tegang pertandingan final. Sebab hanya kami yang dapat mengimbangi permainan Jerman," kata Breukelen yang terdengar masih sombong,  padahal ia sudah jatuh tersungkur. "Penampilan tim oranye itu adalah contoh klasik kesombongan yang menganggap rendah lawan," kata Walikota Amsterdam Ed van Thijn masa itu. Sekali lagi, bila Kasper Schmeichel dan kawan-kawan terus melaju, bukan tak mungkin pula "tim sirkus" kembali membuat dunia tertawa dan riang gembira. Dan, yang perlu dilakukan oleh Simon Kjaer, Andreas Christensen, dan Yussuf Poulsen tentu bersiap-siap memelihara anjing...  


Damhuri Muhammad

Kolumnis

             



Comments

Popular Posts