Sobrat, Diego Asando Maradona, dan Sepak Bola Kita

Damhuri Muhammad


Adalah Sobrat, nama penyerang dadakan kesebelahan Joggring Salaka, dalam cerpen Matinya Seorang Pemain Sepak Bola karya Seno Gumira Ajidarma (disiar-ulangkan oleh www.panditfootball.com 29/3/2015), yang terkapar di lapangan setelah mencetak gol ke gawang Roni Paslah, legenda PS Indonesia Muda. Peristiwa itu lebih tragis dari insiden kolapsnya Christian Eriksen, gelandang timnas Denmark saat menghadapi Finlandia pada piala Eropa 2021. Bila Eriksen akhirnya selamat, detak jantung Sobrat berhenti tepat saat bola melayang ke arah gawang lawan. Tatkala Sobrat digotong ramai-ramai ke luar lapangan, SGA menggambarkan perdebatan konyol di antara penonton di stadion utama Senayan perihal apakah Sobrat hanya pingsan atau langsung meninggal dunia. Seorang penonton kemudian berteriak mengatakan "Pingsan apa? Dia meninggal!" Demikianlah penyerang yang malang itu dikisahkan. Ia mati di lapangan hijau, tepat setelah mencetak gol ke-17 di usia 30 tahun di hadapan  70.000 penonton. Tanpa simpati, tanpa ungkapan duka cita dari segenap penggila bola.

Pesepak bola timnas Indonesia, menyanyikan lagu kebangsaan saat pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2022 Grup G Zona Asia di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Kamis (10/9/2019). Tim nasional Indonesia menelan kekalahan dari Thailand dengan skor 0-3.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)


Disebut "penyerang dadakan" karena sesungguhnya Sobrat tak punya rekor yang mengagumkan sebagaimana talenta-talenta yang tampil di piala Eropa atau Piala Dunia. Sobrat hanya kiper cadangan yang karena kekurangan pemain diminta untuk mengisi lini depan. Lebih parah lagi, karier sepak bola Sobrat tidaklah secemerlang ketika ia mulai berhasil mencetak gol secara ajaib. Itupun bermula dari instruksi Mormon, pelatih Joggring Salaka, kepada Sobrat untuk turun ke lapangan sebagai penyerang dalam formasi 4-3-3, yang ternyata menghasilkan kejutan. Sobrat membuat Hattrick dan menyamakan kedudukan menjadi 3-3 saat berhadapan dengan kesebelasan Niac Mitra. Perlu ditegaskan, instruksi ganjil itu disampaikan Mormon dalam keadaan mabuk. Maklumlah, Mormon pelatih putus asa lantaran tim asuhannya kalah melulu. Tapi ajaibnya, setelah itu Sobrat semakin moncer.  Jonggring Salaka menang terus melawan kesebelasan manapun, termasuk melesakkan dua gol dalam pertandingan persahabatan melawan Tottenham Hotspur yang berakhir 2-2, hingga Sobrat segera menjadi pusat perhatian.

Dikisahkan pula, koran dan majalah pada masa itu memuat foto Sobrat sebesar-besarnya dalam posisi menendang bola. Pemburu tanda tangan menggerumuninya bagai lebah, di mana pun ia berada. Sobrat seperti mutiara yang ditemukan terlambat, karena umurnya sudah 30 tahun, termasuk tua dalam ukuran dunia sepakbola. Perjalanan hidup Sobrat sebagai pesepakbola tidaklah mulus belaka, bahkan bisa dikatakan menyakitkan. Betapa tidak? Setelah drop out dari Sekolah Teknik Menengah jurusan listrik, Sobrat sebetulnya tidak diterima oleh perkumpulan olahraga Macan Bola, karena tampangnya yang loyo dan tampak seperti orang sakit-sakitan. Tapi Sobrat terus menerus  datang dengan wajah yang seperti harus dikasihani. Para asisten pelatih maupun pelatihnya sendiri, bahkan memberi tambahan kerja sebagai pengambil bola kalau melayang keluar pagar atau masuk ke comberan. Waktu itu umur Sobrat sudah  20 tahun dan ia tidak pernah mendapat kesempatan bertanding, dan karena itulah ia pindah ke Jonggring Salaka, sebuah kesebelasan divisi II, milik pengusaha kelas menengah asal Surakarta. Di sana Sobrat  berlatih keras, meskipun mendapat tambahan tugas memijit para pemain usai bertanding. Dalam waktu tiga tahun, barulah ia bisa menduduki bangku cadangan.

Setelah bertahun-tahun duduk di bangku cadangan, kemudian Sobrat berhasil menunjukkan dirinya sebagai penyerang idola dengan koleksi 17 gol, tapi amat disayangkan, ia mati secara tak terduga. Sobrat menghembuskan napas penghabisan begitu saja, ketika banyak orang masih bersorak-sorai merayakan kemenangan berkat tendangan spektakulernya. Sobrat pergi dalam damai, ketika tugasnya belum selesai, dalam melunaskan dahaga kemenangan para penggemar tim Joggring Salaka.  Begitu saja jantung itu berhenti berdetak. Begitu biasa.Seperti sebuah berita kematian, yang menyedihkan bagi seseorang, tetapi tak berarti sama sekali bagi yang lain, demikian pengarang menyudahi kisahnya. 

Sobrat yang mati-muda tentu hanya sosok imajiner yang sukar dicari rujukannya di dunia sepak bola kontemporer, tapi mengingat ketakmujuran timnas kita hampir di setiap kejuaraan penting, Sobrat boleh jadi sebuah harapan yang janggal. Bahwa harapan-harapan besar terhadap sepak bola Indonesia yang tak kunjung kesampaian selama puluhan tahun, dapat dibereskan oleh satu  keajaiban seperti yang telah menimpa Sobrat. Dalam gegap-gempita lagu kebangsaan tim-tim yang akan bertanding di panggung selevel EURO 2021 misalnya, dahaga itu semakin bertambah-tambah kiranya, bahwa entah bila masanya Indonesia Raya bakal menggema di Piala Dunia. Jangankan kompetisi level dunia, dalam kenyataannya pada kejuaraan tingkat Asia Tenggara saja, timnas tercinta  kalah senantiasa. Inilah sebuah bangsa yang rakyatnya menjadi pemuja kesebelasan Jerman, Prancis, Spanyol, Inggris dan Italia di panggung kejuaraan Eropa, tapi nasib sepakbola di tanah air mereka sendiri, seperti kerakap tumbuh di batu, yang hidup segan mati tak mau. Mungkin itu sebabnya mukjizat Sobrat dibutuhkan! Untuk sekali berarti, setelah itu mati...

Lain petaka Sobrat, lain pula peruntungan sial Diego Asando Maradona, ujung tombak PS Gunung Terang, sebagaimana dikisahkan oleh Ugoran Prasad dalam cerpen  Sepatu Tuhan (Kompas, 18 November 2007). Bila Sobrat berakhir di liang lahat di saat kariernya sedang moncer, perjalanan Asan berakhir sebagai tersangka pembunuhan berencana. Secara kebetulan, penyidik yang menginterogasi kasus itu adalah Letnan Sardi, pasangan kembarnya saat mereka membela PS Gunung Terang. Masa itu, kedua ujung tombak beroleh hadiah dari bandar judi, Raman Jereng. Sepatu Kaisar (Beckenbauer) untuk Sardi, Sepatu Tuhan (Maradona) untuk Asan. 

Dikisahkan, ujung tombak kembar PS Gunung Terang mengamuk, demi membentang cita-cita tinggi-tinggi. Tak tanggung-tanggung, 7 gol untuk Sepatu Kaisar, 13 untuk Sepatu Tuhan.  Di perempat final, PS Gunung Terang tak mengendurkan serangan, meski sudah memimpin 1-0. Dalam satu skema serangan, posisi para pemain tiba-tiba meniru skema gol kedua Argentina di gawang Inggris, sebulan sebelumnya. Dari lini tengah, Asan lepas sendirian. Dua rekan, termasuk Sardi, mengikutinya dari sayap. Asan terus menggempur. Satu pemain terlewati, lalu satunya lagi. Pemain ketiga mengira cukup dengan bermain posisi, tapi malah kalah lari. Pemain keempat menghadang, mengincar kaki, tapi Asan refleks meliukkan tubuhnya. Pemain keempat itu bermaksud meniru meliuk tapi malah kehilangan keseimbangan, dan terpelanting. Di depan kiper, Asan, dengan simbol macan di sepatunya yang entah menerkam atau terbang, menyontekkan bola ke sudut kiri. Diego Asando Maradona, 2-0.

Celakanya, di partai semifinal, PS Gunung Terang dihajar PS Tunas Harapan 3-0. Kalau saja Asan main, ceritanya pasti lain. Kalau saja di malam sebelumnya tak ada pengendara motor melintas, kalau saja bukan Asan yang tersuruk di kolam Haji Sanusi. Asan korban tabrak lagi, konon karena tak memenuhi perjanjian atur skor  dengan si bandar judi, Raman Jereng.  Sardi tak mungkin bisa memaafkan kekalahan itu. Pencari bakat dari dua tim Galatama, memasang wajah bosan di partai semifinal, mencoret nama ujung tombak kembar PS Gunung Terang dari catatan mereka. Suatu keputusan buruk yang mengakibatkan Indonesia gagal juara dunia. Tak lama berselang, dengan kaki pincang Asan mengabdi sebagai jongos Raman Jereng, sementara Sardi meninggalkan sepakbola, dengan cara mendaftar Akademi Polisi. 

Tiga belas tahun kemudian, Asan berurusan dengan  aparat hukum. Ia diduga keras sebagai pelaku pembunuhan Raman Jereng, bandar judi besar kota itu. Tangan kecilnya telah menghantamkan batu ke tengkuk Raman, menyiramkan bensin, lalu membakar korbannya. Visum percaya bahwa korban belum tewas ketika api menyala. Karier Asan, ujung tombak PS Gunung Terang sudah lama tamat, begitu pun dengan Letnan Sardi, orang yang kini menangani kasusnya. Asan dan Sardi memang tak berakhir seburuk Sobrat. Tapi hukum sekali berarti setelah itu mati tetap berlaku bagi ketiganya. Betapa tidak? Nama mereka sedang dipuja-puja, lalu redup begitu saja. Tak ada gegap gempita piala, tak ada selebrasi juara, tak ada gema Indonesia Raya sebelum laga, yang tersisa hanya umpat dan cela belaka.

Hadiah Sepatu Kaisar dan Sepatu Tuhan dari bandar judi, Raman Jereng,  yang membuat Asan-Sardi berhasil meraih puncak dan sesaat kemudian jatuh tak bangkit lagi, barangkali juga semacam harapan janggal para penggila bola Indonesia untuk keberuntungan tim garuda dalam kejuaraan apapun. Sebagaimana kejayaan sesaat yang diraih Sobrat. Sekali saja, tak usah sering-sering... Sekali saja tampil di panggung dunia, sekali saja merah-putih berkibar, sekali saja sorak-sorai membahana, setelah itu mati pun tak apa-apa. Itupun rasanya tak bakal terjadi...      

      


Comments

Popular Posts