Bola Menggelinding, Darah Bercucuran…
Damhuri Muhammad
Beograd, 1990-an. 30 menit sebelum
pertandingan Red Star dan Partizan berlangsung, klub suporter Red Star bernama
Ultra Bad Boys mengumpulkan orang-orang terkuatnya di ujung stadion, tak jauh
dari rimbunan pepohonan yang baru tumbuh. Masing-masing membawa batangan logam
dan pentungan kayu. Mereka membentuk
formasi V dan mulai berjalan mengitari stadion dengan tampang-tampang beringas.
Memukuli setiap orang yang menghalangi. Mula-mula mereka menyerang
suporter Partizan, lalu menerjang barikade polisi. Serangan yang begitu cepat,
hingga suporter Partizan dan polisi di sekitar stadion tak sanggup membendung
gempuran Ultra Bad Boys. Tak lama berselang, mereka meninggalkan korban-korban
yang bergelimpangan. Seperti jejak baru mesin pemotong rumput.
Begitu kisah Draza,
pemimpin Ultra Bad Boys, yang secara rinci ia uraikan saat diwawancarai oleh
Franklin Foer, jurnalis bola dan peminat kajian globalisasi, yang terbukukan
dalam Memahami Dunia Lewat Sepakbola (2006). Keberingasan Draza, setali tiga uang
dengan sepak terjang Krle, pentolan
Ultra Bad Boys yang tak kalah ganasnya. “Metode apa yang paling Anda sukai
untuk memukul orang?” tanya Foer waktu itu. “Potongan besi, tendangan khusus
untuk mematahkan tungkai ketika orang lengah!” balas Krle sambil menghentakkan
kaki di bawah meja, memperlihatkan bahwa ia sangat terlatih. Red Star dan
Partizan adalah musuh bebuyutan dalam sepakbola Serbia. Kepada Foer, Draza
bilang, “Fans Partizan pernah membunuh suporter Red Star berusia 15 tahun. Ia
sedang duduk di stadion, mereka menembak dadanya. Monster-monster itu membunuh
si bocah. Mereka tak tahu batas.”
Krle
adalah tukang pukul Red Star sepanjang masa keemasan klub itu. Pada 1991, Red Star menjuarai Piala
Champion, dan telah menjadi catatan penting dalam sejarah sepakbola Yugoslavia
sebelum negara itu pecah berkeping-keping. Terlepas dari sejarahnya sebagai
tunggangan nasionalisme Serbia, Red Star dikenal sebagai klub yang berhasil
menyatukan bakat-bakat khusus dari berbagai etnis di Yugoslavia. Para pengamat
sampai menyematkan berbagai stereotip pemain yang dimiliki Red Star. Pemain
asal Slovenia dikenal sebagai bek handal, menyeret menentang ke depan tanpa
kenal lelah. Orang Kroasia memiliki kecenderungan Jerman untuk menyambar
peluang mencetak gol. Orang Bosnia dan Serbia adalah penggiring dan pengumpan
yang kreatif, meski kurang tajam dalam taktik. Campuran bakat-bakat khusus itu
bersenyawa guna menghajar tim-tim unggulan Eropa Barat. Krle adalah jagoan yang
ikut ambil bagian dalam pasukan holigan untuk Red Star. Di barisan Red Star,
pasukan holigan diorganisir sedemikian rupa dan dipersenjatai, karena urusannya
bukan hanya sepakbola, tetapi sekaligus menjadi pasukan tempur Milosevic,
pelaku permbersihan etnis yang paling efektif dalam sejarah genosida.
Holiganisme
dalam gambaran Foer, hanyalah sebagian kecil dari gelombang besar kekerasan di
jagat sepakbola Eropa yang sudah tumbuh sejak lama. Mayat-mayat yang
bergelimpangan di sekitar stadion bukanlah pemandangan baru. Sejak 1980-an,
holiganisme sepakbola telah dinyatakan sebagai musuh utama barat. “Aib bagi
masyarakat beradab,” kata Margaret Thatcher suatu ketika. Berdasarkan data
korban yang tewas akibat holiganisme sepakbola pada 1980-an, Inggris dinobatkan
sebagai produsen suporter ganas terbesar di dunia, meski bukan satu-satunya.
Kekerasan telah menjadi bagian dari sepakbola di seluruh Eropa, Amerika Latin,
dan Afrika. Hanya saja, suporter Serbia sedikit lebih terorganisir dan diberi
perkakas yang memadai untuk membunuh. Para penggila bola tentu belum lupa
malapetaka besar di stadion Heysell, Brussel (Belgia), saat pertandingan final
piala Champions Eropa antara Liverpool dan Juventus, 29 Mei 1985. Tak kurang
dari 39 orang kehilangan nyawa dan ratusan lainnya terluka karena perilaku para
holigan Liverpool, yang membalas serangan publik Italia pada final di tahun
sebelumnya.
Rupa-rupa
peristiwa berdarah di dunia sepakbola itulah yang barangkali membuat si kulit
bundar tak hanya berkerabat dengan kegirangan dalam yel-yel kemenangan, tapi
juga tiada berjauhan dengan airmata lantaran holiganisme yang begitu lekas
merenggut nyawa. “Sepakbola, tampak olehku, bukanlah sebuah permainan untuk kesenangan dengan menendang bola, tapi ia
hanyalah sebuah spesies dari perkelahian,” demikian kalimat yang tertera dalam Animal Farm, novel karya George Orwell. Di tanah air, dalam rentang
waktu Januari hingga Agustus 2018, sebagaimana dicatat oleh www.jawapos.com
(24/9/18), sudah 16 nyawa melayang. Tak hanya berasal dari suporter klub Liga
1, tapi juga pendukung Liga 2 dan Liga 3. William Wijaya (16 tahun), suporter
klub Liga 3 Persitara Jakarta Utara, tewas dibacok dalam bentrokan di Jakarta
Timur, 4 Agustus 2018 silam.
Kabar
yang sangat memilukan pekan ini adalah tewasnya Haringga Sirila (23 tahun),
suporter Persija, di area Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung,
sebelum laga Persib Bandung kontra Persija, Jakarta, Minggu (23/9/18). Selepas peristiwa pengeroyokan itu, beredar rekaman
video amatir yang memperlihatkan kebrutalan para pengeroyok saat menghabisi rivalnya
hingga roboh tak berdaya. Korban dihujani pukulan dengan balok kayu, botol, dan
benda-benda keras lainnya. Tendangan dan hantaman tak henti-henti disarangkan
di tubuh korban. Saat korban sudah meminta ampun dalam kondisi berlumur darah,
tendangan, pukulan, hantaman, terus berlangsung, hingga nyawa korban tak terselamatkan.
Dalam pantauan
mesin penelusur percakapan dunia cyber,
Astramaya, peristiwa biadab itu telah mengundang banyak ungkapan duka dan belasungkawa,
yang disertai kutukan keras terhadap penyelenggaraan kompetisi bola di
Indonesia. Hingga kolom ini diturunkan, hanya dalam 3 hari, Astramaya telah
menghimpun tak kurang dari 45.864 perbincangan tentang luka yang bakal terus
menganga dalam sepakbola Indonesia itu. Interaksi yang berlangsung dalam topik ini
terpantau cukup beragam. Bukan hanya mengarah pada permintaan hukuman yang berat
atas kebuasan massa yang terdiri dari
anak-anak muda pendukung Persib, tapi juga pada atmosfir sepakbola Indonesia
yang jauh dari prestasi, tapi terus mencatat rekor hilangnya banyak nyawa.
Belakangan telunjuk netizen mengarah
pada PSSI, tapi alih-alih beroleh
respons yang menunjukkan rasa tanggung jawab, Ketua Umum PSSI (yang kebetulan
juga merangkap sebagai pejabat publik) malah membuat rekor volume perbincangan
baru di jagat maya, yang terhimpun dalam tagar #SiapPakEdy. “Apa urusannya Anda bertanya
seperti itu?” kata Ketua Umum PSSI dalam sebuah wawancara televisi, saat
ditanya seputar peristiwa tewasnya suporter Persija. “Bukan hak Anda bertanya kepada saya.”
Respons
emosional yang terdengar lumayan janggal itu telah menyita perhatian warganet,
hingga tak lama kemudian, berhamburan dialog-dialog pendek yang berasal redaksi
kalimat sinis Ketua Umum PSSI. “Iya, karena
yang berhak bertanya kepada Pak Edy hanyalah malaikat Mungkar dan Nankir,”
demikian salah satu bunyi dialog yang muncul di laman twitter. Namun, terlepas dari duka yang dalam, kutukan terhadap
kekerasan dalam sepakbola kita, dan rupa-rupa kejengkelan terhadap PSSI, kebiadaban
yang telah dipertontonkan oleh suporter bola kita, sebagaimana terang dan gamblang
dalam rekaman yang beredar sejak Senin (24/9/18), membuat saya membayangkan
pekatnya kegelapan yang akan menyelubungi masa datang sepakbola Indonesia, entah
untuk berapa generasi ke depan. Bila seharusnya sepakbola bertabur keriangan, bergelimang
kegemilangan, di republik ini sepakbola seperti jalan yang lapang menuju
upacara-upacara pemakaman...
Damhuri
Muhammad
Kolumnis
Comments