Emak-emak dan Kuasa Tak Bernama
Damhuri Muhammad
Saya memanggil perempuan yang melahirkan saya dengan
sebutan “Amak.” Konon, kata “Amak” masih
berkerabat dengan “Ummy” (Bahasa Arab) yang bermakna Ibuku atau Ibu saya. Perubahan ungkapan
dari Ummy ke Amak tampaknya semacam pergeseran yang menyesuaikan diri dengan
pengalaman berbahasa orang Minang, entah sejak kapan. Amak juga
saya gunakan sebagai sebutan untuk beberapa saudara perempuan ibu saya,
baik saudara kandung maupun saudara sepupunya. Meski begitu, ada 1-2 kerabat dekat Amak yang
saya panggil dengan sebutan “Ibu.” Seingat saya, itu terjadi karena mereka
adalah bagian dari keluarga besar saya yang sudah bermukim secara permanen di
kota. Sementara saya, Amak, dan kerabat-kerabat Amak yang saya panggil dengan
sebutan serupa, belum beranjak dari kampung. Saat mereka berkesempatan pulang
kampung bersama keluarga di momentum-momentum tertentu, di situlah saya
mendengar anak-anaknya menggunakan panggilan “Ibu.” Saya ikut-ikutan
menggunakan sebutan serupa.
Tapi, saya tetap merasa asing dengan kata “Ibu.” Saya canggung melafalkannya.
Saya merasa terlalu kekota-kotaan, atau dalam bahasa masa kini, terlalu
urban, padahal sejak kecil hidup saya tak beranjak dari sudut kampung. Oleh
karena itu, saya menggunakan sebutan “Ibu” sekadar untuk berbasa-basi. Sekadar
menyenangkan hati orang kota, yang barangkali sudah merasa udik bila masih
dipanggil dengan sebutan “Amak.” Masa itu, saya tidak bisa menaruh hormat pada
terminologi “Ibu.” Alih-alih
menghormati, setiap kali mengungkapkan kata “Ibu” saya malah merasa bersandiwara
belaka, dan sedikit-banyaknya merasa telah melecehkan saudara Amak yang sedang
berlibur itu.
Berbeda
situasinya dengan sebutan Amak. Bukan saja sebutan penghormatan, tapi juga kata
yang sakral dalam hidup saya. Separah-parahnya perangai seorang anak, bila
dalam pesan-pesan peringatan yang mendarat di kupingnya terkandung kata “Amak,”
segala yang keras akan melunak, segala yang liar akan berubah jinak. “Awas kau,
nanti awak bilang perangaimu itu pada Amakmu!” bila sudah begitu ancaman yang
terdengar, alamat bahaya bakal tiba. Banyak orang boleh menggertak, banyak
orang boleh mengancam, dengan ungkapan secadas apapun, tapi gertakan yang
paling bertenaga selalulah yang mengandung potensi kuasa Amak di dalamnya.
Dengan begitu, orang yang paling saya hormati, sekaligus saya takuti sejak dulu, tak lain adalah Amak.
Bila
mencurahkan perhatian dan kasih sayang, dari ujung rambut hingga ujung kaki
anak-anak, tak ada yang luput dari perhatian Amak, sepanjang hari, sepanjang
waktu. Urusan makan, urusan kesehatan, urusan pakaian, urusan keselamatan,
bahkan hingga urusan pasangan hidup alias jodoh, tak ada yang sungguh lepas
dari genggaman “kuasa” Amak. Dalam hal ajaran dan didikan, kata-kata Amak
adalah sabda. Sementara dalam perkara kekecewaan dan kemarahan, kata-kata yang
keluar dari mulut Amak adalah keperihan, adalah penderitaan, yang sulit
disembuhkan. Sejauh ini di generasi saya, tak ada yang sungguh berani atau
nekat melawan. Sebagian besar takluk dan bersimpuh di hadapan Amak.
Oleh
karena sedemikian besarnya pengaruh Amak dalam hidup saya, rasanya sebutan khas
itu tidak lagi sekadar tanda atau nama bagi perempuan yang melahirkan saya,
tidak sekadar berkonotasi pada muasal atau sumber dari setiap curahan perhatian
dan kasih-sayang yang tak berhingga, tapi sudah ternobat menjadi mitos perihal
kuasa yang tak kunjung dapat ditumbangkan. Mitos di sini bukan dalam pengertian
yang berhubungan dengan realitas klenik dan metafisik, tapi mitos dalam
kacamata semiotika Barthesian. Mitos yang tercipta oleh konotasi yang terus
berulang dalam kurun waktu amat panjang. Seperti kebiasaan orang-orang kampung
saya menyebut Honda bagi nama sepeda motor. Boleh saja mereka memiliki sepeda
motor bermerek Yamaha atau Suzuki, tapi mereka selalu menyebutnya dengan nama
Honda. “Tetangga kita punya Honda baru!” demikian desas-desus yang biasa
terdengar, meski tetangga itu baru saja membeli sepeda motor Kawasaki, bukan
sepeda motor bermerek Honda. Demikian pula dengan Amak. Boleh saja orang-orang
kampung saya yang merantau ke kota itu menyebut orangtuanya dengan panggilan
Ibu, Mami, atau bahkan Memo, kami tetap melihat hubungan mereka sebagai
hubungan Anak dan Amak. Dan sekali waktu, bila mereka tak pulang bersama ibu,
kami akan bertanya; Amakmu ke Mana? (bukan Mamimu
ke mana?)
Dalam
suasana perebutan wacana yang mengarah pada kooptasi istilah Emak-emak dan Ibu
Bangsa, dua minggu terakhir ini, bukan bermaksud hendak membesar-besarkan satu
kontestan Pilpres tertentu, faktanya Emak-emak memang jauh lebih menarik
perhatian ketimbang Ibu Bangsa. Emak-emak terkesan lebih familiar, alamiah,
informal, sementara Ibu Bangsa terdengar agak dipaksakan, seremonial, dan
terlalu formal. Dalam pantauan perangkat penelusur lalu-lalang percakapan di
dunia cyber, AstraMaya, hingga kolom kecil ini saya turunkan, ditemukan 113.367
percakapan yang mengandung terma Emak-emak. Terdiri dari 1.809 artikel news dan 111.758 konten unggahan di social media. Jumlah volume perbincangan tentang Emak-emak
itu berada jauh di atas volume perbincangan tentang Pelemahan Rupiah yang
hingga pekan ini hanya berada di angka
17.787.
Netizen
yang sejak awal mempopularkan istilah The
Power of Emak-emak bagai tak ingin
berhenti beropini bahwa istilah itu sama sekali tak bermaksud merendahkan
martabat perempuan. Alih-alih
mendistorsi peran dan kontribusi perempuan di panggung politik, The Power of Emak-emak justru hendak
menegaskan ketangguhan posisi perempuan sebagai kekuatan tak terduga dan tak
bernama, dalam konstelasi politik masa kini. Yang tak mampu membuat Emak-emak
terpikat, atau yang terlambat meluaskan jaringan ke wilayah Emak-emak, mungkin
bakal terkapar dalam kekalahan yang tak terduga pula. Kata “Emak,” “Amak,”
“Umak,” atau “Omak” sudah lama bercokol di ranah kultural masyarakat Indonesia.
Setinggi apapun tingkat pendidikan seorang anak, selebar apapun jarak ideologis
antara seorang anak dengan perempuan yang melahirkannya, sekali dia menggunakan
sebutan Emak tak akan berubah menjadi Ibu, Mami, atau Memo.
Bila dilacak secara cermat,
ada ratusan novel Indonesia yang
menggunakan sebutan Emak, Amak, Umak, atau Omak untuk menamai karakter
perempuan yang bersetia membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Bahkan orang
sekaliber Daoed Joesoef, Ph.D jebolan universitas ternama di Paris, Prancis,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, menjuduli sebuah memoarnya
dengan Emak (2003).
Sementara “Ibu Bangsa,”
adalah terminologi yang hanya terdengar di mimbar-mimbar formal-seremonial, dalam
pidato-pidato resmi, dan perbincangan menara gading yang tak membumi di percakapan akar rumput.
Tak hendak meremehkan konsep Ibu Bangsa, atau kontribusi banyak tokoh perempuan
yang telah membesarkan nama republik ini, tapi terma Emak, Amak, Omak atau Umak, memang terdengar lebih akrab, lebih mengakar. Amak
boleh saja tak cukup bersekolah, tak berijazah, tapi di negeri ini ada banyak
Emak-emak yang telah melahirkan negarawan dan tokoh-tokoh besar. Dalam perkara
mendidik anak, kebutuhan anak, kesehatan anak, pakaian anak, bahkan hingga
pasangan hidup (jodoh) anak, tak ada yang luput dari perhatian Emak-emak.
Sebesar apapun kuasa Tuan, setinggi apapun jabatan Tuan, jangan pernah berniat melawan Emak. Ampun Mak!
Damhuri Muhammad
kolumnis
Comments