Korupsi Berjamaah atau Beregu, yang Penting; Masuk Pak Eko...
Damhuri Muhammad
“DPRD Malang Cetak Rekor Korupsi
Beregu.” Demikian cuitan akun twitter @Liputan9 yang diunggah pada Selasa (4/9/18).
Dilengkapi poster online
berisi sederet foto-profil anggota DPRD Kota Malang dengan rompi orange khas
tersangka KPK. Hingga kolom ini diturunkan, menurut statistik mesin pemantau perbincangan jagat cyber, Astramaya, cuitan akun
berpengikut 941.000 itu, telah diunggah-ulang (retweet) warganet sebanyak 6.212 kali, dan disukai sebanyak 1.620
kali. Rekor popularitas cuitan @Liputan9 itu hanya satu tingkat di bawah
popularitas cuitan akun resmi Presiden Joko Widodo (@jokowi), yang berpengikut
10,3 juta orang. Cuitan yang mengandung keprihatinan Kepala Pemerintahan dan
himbauan kepada segenap anggota legislatif di seluruh Indonesia untuk
senantiasa menjaga kepercayaan rakyat itu, telah diunggah ulang (retweet) sebanyak 3.658 kali dan
disukai sebanyak 12.920 kali.
Poster online itu tampaknya dirancang dalam suasana psikologis selepas
peristiwa kompetisi akbar dalam Asian Games 2018 di mana Indonesia tercatat mencetak
rekor perolehan medali emas terbanyak di sepanjang keikutsertaan di ajang itu. Tak
mau kalah dari atlet-atlet Indonesia yang telah membukukan macam-macam rekor,
41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang (Jatim) juga mencatat rekor baru, dalam
kategori; Korupsi Beregu. 22 orang politisi dari berbagai Parpol yang semuanya
memakai rompi orange, sebagaimana terekam dalam foto-foto yang beredar luas di
media sejak 3 September 2018, sekilas memang tampak seperti kontingen yang baru
pulang dari sebuah kejuaraan. Hanya saja, kontingen orange itu tak disambut
dengan sukacita sebagaimana penyambutan kontingen olahraga setelah meraih kemenangan
besar, tapi dihujani umpatan dan makian oleh warganet.
Sebagaimana dicatat oleh Firdaus
Baderi lewat www.neraca.co.id (7/9/18),
22 orang tersangka itu adalah rombongan terakhir yang tiba di Kuningan,
Jakarta. Sementara 19 anggota DPRD Malang lainnya sudah lebih awal
mendekam di rumah tahanan, hingga total tersangkanya menjadi 41. Rekor korupsi
beregu itu bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK tahun 2017, yang
menciduk Ketua DRPD Kota Malang Arief Wicaksono. Arief diduga menerima suap dari
Walikota Malang non-aktif Mochamad Anton, terkait pengesahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) Kota Malang tahun 2015. Arief
disangka menerima jatah Rp 100 juta dari total suap Rp 700 juta. Kemudian sisa
uang suap itu dibagikan pada anggota dewan lainnya.
Dari
segi jumlah pelaku, rekor korupsi dalam kategori beregu ini sebenarnya belum
bisa dikatakan pecah oleh anggota DPRD Kota Malang. Sebab, pada tahun
2004 silam, Pengadilan Negeri Padang (Sumatera Barat), memvonis 43
anggota dewan bersalah dalam kasus korupsi APBD senilai Rp 5,9 miliar.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Sumbar di bawah pimpinan Kajati Antasari Azhar
menetapkan seluruh anggota DPRD Sumbar 1999-2004 yang berjumlah 65 orang
sebagai tersangka dalam kasus penggunaan APBD. Jadi, bila di Malang masih tersisa 4 orang anggota
DPRD-nya, di Sumbar waktu itu, rekornya; sapu bersih. Tak seorang pun
yang tersisa.
Namun, dalam kasus korupsi
ramai-ramai yang terjadi di DPRD Sumbar, istilah yang muncul bukan Korupsi Beregu, tapi Korupsi Berjamaah. Tak dapat disangkal, konotasi
kata “Berjamaah” tentu lebih religius dan asketik. Dalam tuntunan ibadah dalam
Islam misalnya, keutamaan shalat berjamaah berkali-kali lipat besarnya bila
dibandingkan dengan shalat yang dilakukan seorang diri. Tapi bila disandingkan
dengan kata “korupsi,” keistimewaan terma “berjamaah” mengalami penjungkirbalikan
yang tajam. Sebab, dalam perilaku korup, alih-alih keutamaaan yang berlipat
ganda diperoleh, yang datang justru azab dan hukuman. Setidaknya sanksi sosial
yang berkali-kali lipat lebih besar dari sekadar sanksi bila kejahatan itu
dilakukan sendirian.
Di sini kata “berjamaah” berada
dalam wilayah paradoks kental. Dalam bahasa agama, ia sangat mulia, sementara
dalam bahasa sehari-hari (ordinary
language) maknanya terdistorsi ke ranah yang rendah. Kerendahan itu belum
termasuk bila ditambahkan gambaran tentang prosesi berlangsungnya sebuah ibadah
yang terselenggara secara berjamaah. Di sana ada imam yang memimpin, yang tak
boleh salah bilangan rakaatnya, yang
harus menjaga tuma’nina (berhenti
sesaat di antara urutan-urutan prosesi shalat), yang harus menjaga tartil
bacaan shalat, yang harus mengukur tenaga dan usia para jamaah dengan durasi
waktu bacaan ayat, yang semuanya berujung pada terjaganya kekhusyukan shalat semua
jamaah. Lalu, bagaimana kalau imamnya adalah imam dalam korupsi berjamaah?
Hukuman apa yang setimpal bagi orang yang menjadi pemimpin dalam kejahatan
bersama?
Dengan begitu, terminologi Korupsi Beregu jauh lebih lunak. Hanya
merujuk pada prinsip soliditas sebuah tim, katakanlah seperti etos kerjasama
dalam sebuah kesebelasan sepakbola. Betapapun besarnya kebintangan 1-2 pemain,
tanpa etos komunal, tanpa kerjasama, tim itu akan mudah ditumbangkan. Dalam
sebuah tim, tak ada imam dengan segenap persyaratan berat yang mesti dipenuhi, hanya ada kapten. Itupun gampang
digonta-ganti sesuai penilaian dan arahan pelatih. Tapi ada hal menarik dalam
etos komunal sebuah tim. Bila kemenangan berhasil direngkuh, semua pemain pasti
sepakat bahwa prestasi itu digapai dengan kerja bersama, saling bahu-membahu,
dan tak satu pemain pun yang berani mengklaim bahwa kegemilangan itu disebabkan
oleh keringat dan kerja keras sendiri.
Begitu pula ketika 1-2 pemain secara
tak sengaja melakukan kesalahan-kesalahan minim, yang dapat menganggu ritme
kerja sama dalam mengejar kemenangan, biasanya segenap anggota tim akan
memaklumi dan memaafkannya. Bahkan ketika pada akhirnya mereka gagal dalam
sebuah kompetisi, tak ada yang sungguh merasa beralasan untuk menuding 1-2
pemain sebagai penyebab kekalahan yang
memalukan itu. Semuanya akan memaklumi dan memaafkan, atas nama kesalahan
bersama atau bahkan kegagalan bersama.
Dalam keseharian masyarakat komunal,
pemakluman-pemakluman semacam itu juga kerap terjadi. Bagi para pengemudi di
Jakarta misalnya, tidak apa-apa menerobos lampu merah, tak soal menerabas
trotoar dalam macet berat, toh orang lain dan banyak orang juga melakukannya.
Atau dalam berbagai aksi penghakiman massa di jalanan misalnya, seolah-olah
tindakan menganiaya, bisa berkurang kadar aniayanya jika dilakukan bersama-sama.
Omong-omong soal “Korupsi Beregu,” seolah-olah
kejahatan korupsi akan berkurang kadar kebejatannya kalau dilakukan berjamaah.
Tidak apa-apa menerima suap, sepanjang orang lain juga menerimanya. Toh, bila
ada yang menghujat atau ada sanksi hukum, semua orang juga akan menanggung sanksinya.
No worries. Maka, kabar tentang
terciduknya para tersangka korupsi yang bagai menggantang anak ayam, barangkali karena para pelakunya berpegang pada
etos komunalisme semacam ini.
Kita boleh berteriak-teriak dengan
toa, dalam berbagai aksi anti-korupsi, tapi bila sewaktu-waktu keluarga kita
sendiri yang terduga sebagai pelakunya, biasanya kita tutup mulut, bersembunyi, dan sedapat-dapatnya
melindungi pelaku, atas nama kecemerlangan sebuah keluarga, atas dasar nama
baik sebuah lembaga, atau atas dasar kehormatan sebuah klan. Bila desakannya tak
tertanggungkan, biasanya kita menunggu atau mencari momentum ketika 1-2 anggota
keluarga besar terhormat yang lain, 1-2 oknum di lembaga yang lain, putra-putri
terbaik dari klan atau suku yang lain, melakukan hal serupa. Dengan begitu,
kita sudah satu jamaah atau satu regu dengan mereka. Tak ada lagi soal! Korupsi
berjamaah atau beregu, yang penting masuk Pak Eko…
Comments