Anak Perawan di Sarang Genderuwo
Damhuri Muhammad
Dua
kontestan Pilpres 2019, Capres dan Cawapres, kebetulan atau tak, adalah laki-laki
belaka. Isu-isu yang bergentayangan saban hari di jagat maya, sejak
musim kampanye, tersimak begitu cadas, keras, bahkan sesekali beringas. Tak
terdengar idiom-idiom lembut, atau katakanlah tagline-tagline lunak, yang setidaknya dapat mendinginkan suasana
gerah menjelang April 2019, dan sedikit-banyaknya dapat memberikan sapaan yang
ramah kepada pemilih pemula, terutama dari kelompok perempuan.
Sebagaimana telah disinyalir, baik dari hasil sejumlah
survei, maupun riset-riset tentang perilaku pemilih, cluster pemilih pemula yang disebut-sebut jumlahnya
belasan bahkan puluhan juta itu, adalah kelompok apatis alias tidak mau tahu
dan tidak ada urusan dengan politik. Jangankan tak disapa, yang sudah dirangkul
dengan cara-cara khusus pun, belum tentu berminat pada isu-isu politik, apalagi
menentukan pilihan politik.
Telah menjadi pemandangan yang lazim, mereka lebih
sibuk dengan tayang-tayangan unboxing
(adegan membuka kemasan) produk-produk elektronik terkini di youtube, atau
menyimak album terkini dari boyband K-Pop, aplikasi musik yang membuat mereka dapat
terlibat di dalamnya, dan tentu saja gosip-gosip selebgram terkini, yang sama
sekali tak ada kaitannya dengan kepekaan sikap politik. Pendek kata, politik
adalah urusan nomor paling belakang dari sekian banyak aktivitas mereka. Pada
level yang ekstrem, sebagian besar dari mereka sudah anti-politik, dan sikap
ini nyaris tak bisa ditawar-tawar lagi.
![]() |
image: www.juragancipir.com |
Saya tak dapat memastikan, apakah kelompok
pemilih pemula perempuan ini termasuk bagian dari kerumunan jutaan orang yang
menurut sejumlah survei terkini berada
dalam kategori undecided voters. Namun,
yang pasti mereka tidak bakal menoleh pada simbol-simbol tempe, petai, dan daftar harga
sembako, apalagi pada polemik bendera ISIS versus Kalimat Tauhid. Mereka adalah
generasi cuek-bebek, yang punya dunia sendiri. Ada Pilpres atau tak, tak akan
banyak berpengaruh pada kegembiraan mereka yang bersumber dari dunia yang amat berbeda dengan politik. Musik, gadget,
fashion, videochat, insta-story, dan
semacamnya telah menyita banyak perhatian mereka dari bangun tidur,
beraktivitas, hingga tidur kembali. Lalu di mana politik? Tak ada dalam daftar minat dan perhatian
mereka.
Sudah sampaikah sentuhan dua kontestan Pilpres
2019 pada mereka? Atau bahasa seperti apa yang disiapkan oleh kedua kontestan
untuk menyapa mereka? Apakah kisah patriotik dalam Game of Throne, tempe setipis kartu ATM, prestasi membangun
infrastruktur, pertumbuhan digital economy,
ziarah ke Makam Kyai, kunjungan ke pesantren, urgensi Dana Kelurahan, atau
blusukan pasar, telah membuat mereka berpaling untuk menimbang kontestan mana yang
layak jadi panutan? Rasanya belum. Lalu, apa artinya data tentang jumlah
engagement untuk masing-masing konten
sosialisasi pada linimasa masing-masing kontestan? Tak dapat disangkal, bahwa kelompok
cuek-bebek dan apolitik itu memang ada dalam kerumunan linimasa medsos, namun
untuk tingkatan usia pemilih pemula, atau yang biasa diidentifikasi dengan
generasi Z, ruang perjumpaan mereka tidak lagi di facebook dan twitter,
melainkan di instagram, sementara diskursus politik terbesar justru berlangsung
di twitter. Kalaupun ada upaya-upaya untuk menghadirkan kontestan Pilpres 2019
di sarang mereka, algoritma instagram tidak secara terukur membuat mereka
terkait langsung dengan konten-konten kampanye tersebut. Intinya, cluster perbincangan politik dengan cluster pemilih muda perempuan, tidak
secara otomatis terhubung, sehingga engagement
yang ditargetkan tidak tercapai.
Sejauh ini, hanya kontestan petahana, Jokowi,
yang berupaya menggunakan simbol-simbol semacam motor modifikasi, sepatu
sneaker, jaket kasual, hingga aksesoris-aksesoris yang dekat dengan anak muda. Tapi,
simbol-simbol itu, tampak masih terlalu laki-laki, dan belum menyentuh wilayah
pergaulan generasi Z dari kelompok perempuan. Sementara kontestan Cawapres
Sandiaga Uno lebih banyak bersentuhan dengan wilayah peminatan Emak-emak, yang
sama sekali belum memperlihatkan kaitan signifikan dengan generasi Z.
Lebih mengherankan lagi, idiom yang mengemuka 1 bulan belakangan, tersimak sangat maskulin, katakanlah istilah
Sontoloyo, dan yang terkini Genderuwo. Idiom pertama, semacam reaksi dari
Jokowi, sebagai kontestan petahana, yang menyindir kelompok tertentu lantaran
tidak bisa bersikap objektif dalam melihat pencapaian yang telah dibuktikan
oleh pemerintah, sementara pada sisi yang lain, terlalu nyinyir mempercakapkan
berbagai kekurangan. Idiom kedua, adalah semacam kontinuitas dari Sontoloyo, karena
petahana melihat ada kecenderungan kontestan kompetitor terus-menerus
menggunakan politics of fear, mendramatisir
seolah-olah kondisi ekonomi sedang memburuk, dan republik ini akan ambruk pada
waktunya, padahal kenyataannya, tidak ada yang perlu dicemaskan; inflasi sangat
terkendali, devisa aman, rupiah tangguh menghadapi gejolak eksternal,
pengelolaan utang prudent. Maka, alih-alih
ketakutan, yang seharusnya diembuskan adalah politics of hope, politik yang menyebarluaskan pengharapan bahwa
kegemilangan Indonesia masa datang bukanlah isapan jempol belaka.
Itu sebabnya, sebagai kontestan Pilpres 2019,
sekaligus figur yang masih berstatus sebagai Kepala Negara, bersama pendampingnya
KH Ma’ruf Amin, menyerukan himbauan untuk berhijrah dari ujaran-ujaran kasar
yang mengandung kebencian ke ujaran-ujaran yang menyatukan
seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tapi, apakah nasihat dan himbauan
hijrah itu sudah menyentuh generasi Z dari kelompok yang sedang saya bincangkan
ini? Rasanya belum! Sebab, kesantunan itu mesti didefinisikan dan diungkapkan
dengan bahasa mereka, dan mesti ada teladan dalam lingkar pergaulan mereka.
Bila tidak, sekali lagi, politik tidak akan membuat mereka berpaling dari sikap
abai yang parah itu. Sebagaimana Jokowi gemar blusukan pasar, mereka juga perlu
didatangi, disapa dengan bahasa mereka, diajak bercakap-cakap tentang hal-ihwal
yang mereka gemari. Mengharapkan anak-anak perawan itu terperangkap di sarang
Genderuwo, sebagaimana kisah Anak Perawan di Sarang Penyamun, (katakanlah
dengan berbagai modus dan strategi komunikasi khusus untuk pemilih milenial),
adalah ambisi politis yang berlebihan. Tak ada yang lebih menakutkan bagi
mereka selain mati lampu, dan tayangan streaming
yang terputus tiba-tiba. Selebihnya adalah kegembiraan…
Comments