Jokowi App dan Politik Harapan
Damhuri
Muhammad
“Kurang 1 Minggu, Jokowi App Diunduh
10.000 Netizen.” Demikian kabar yang
tersiar hanya 4 hari selepas peluncuran aplikasi Jokowi App. Angka yang
terbilang fantastis untuk ukuran aplikasi android non-entertainment itu kiranya dapat membuktikan antusiasme warganet
dalam mencari kanal guna mengukur, memeriksa, dan mengonfirmasi rupa-rupa kabar
perihal Jokowi-Ma’ruf Amin, kontestan nomor 1, Pilpres 2019. Saya termasuk netizen yang sudah mengunduh aplikasi
berlogo pasangan JKW-MA dalam format ilustrasi-siluet itu, lantaran penasaran
dengan konten-konten yang katanya dirancang guna menangkal kabar dusta perihal
Jokowi dan Ma’ruf Amin, yang belakangan makin gencar.
Setelah memeriksa beberapa artikel news, termasuk ilustrasi foto, gaya penulisan,
tata letak dan corak artistik kemasannya, belum terasa benar bedanya dengan
aplikasi-aplikasi sejenis. Pun, secara
tematik tidak terasa menyuguhkan sajian yang berbeda dari artikel-artikel news yang saban hari bermunculan di
media-media daring, meskipun dari segi volume memang lebih ringkas dan tak
butuh waktu lama untuk membacanya. Yang tampak istimewa adalah kemasan
ilustrasi pada rubrikasi yang terdiri dari Lebih
Dekat Jokowi, Kerja Jokowi, Lebih Dekat KH Ma’ruf Amin, Indonesia Maju, Sudut
Pandang, dan Suaraku. Tujuh
rubrik itu disimbolisasikan dengan foto-profil dalam ekspresi dan konsep
fotografi yang berbeda-beda.
Rubrik Lebih Dekat Jokowi,
misalnya, dirancang dengan foto-profil Jokowi dalam ekspresi senyum bersahaja
dengan latar belakang warna-warna futuristik yang mengingatkan saya pada
semarak warna dalam hingar-bingar Asian Games 2018. Konten-konten dalam rubrik
itu mengandung personal branding
Jokowi sebagai family-man, intimasi dengan
rakyat kecil, dan kegemaran Jokowi menggunakan simbol-simbol anak muda seperti;
jaket kasual, sepeda motor modifikasi, musik metal, dan sepatu sneaker. Rubrik pertama ini semacam pintu masuk untuk
mengenal personalitas Jokowi, atau lebih tepatnya memperkenalkan kembali figur
Jokowi pada pemilih pemula.
Oleh karena Jokowi tak mungkin lagi
semata-mata mengandalkan personal
branding lantaran sudah berstatus petahana, maka rubrik kedua disajikan
dengan tajuk Kerja Jokowi. Berbeda
dengan rubrik pertama, foto-profil Jokowi berubah menjadi sosok pekerja dengan
helm proyek warna putih dalam ekspresi yang gigih dan bersemangat. Semacam
upaya untuk menampilkan Jokowi sebagai Presiden RI yang berani membuat
keputusan-keputusan besar--dengan risiko yang tentu juga besar--dalam
pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia. Namun, konten-konten dalam
rubrik ini memunculkan kesan inkonsistensi antara nama rubrik dan isinya. Aktivitas
Blusukan Pasar, Jokowi Berlutut Memeluk Bulan, Hijrah menjadi Indonesia yang
lebih baik, justru menjadi bagian dari rubrik Kerja Jokowi. Hingga saat kolom ini disiarkan, belum satu pun
artikel tentang jejak pembangunan proyek-proyek mercusuar yang diunggah, tidak
juga untuk pencapaian bidang ekonomi, seperti kestabilan inflasi, penurunan
angka kemiskinan, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan semacamnya. Pendeknya,
tidak ditemukan wacana substantif yang berkaitan dengan makna dari “Kerja Jokowi” yang dipasang
sebagai tajuk rubrik.
Kejanggalan juga terasa pada rubrik Indonesia Maju yang disimbolisasikan
dengan foto-profil pasangan Jokowi-MA dalam ekspresi yang visioner (memandang
jauh ke depan), karena konten-konten yang semestinya mengandung politik
pengharapan dan optimisme dalam membangun kegemilangan Indonesia, malah berisi laporan-laporan
peristiwa tentang kehadiran Presiden RI di berbagai forum seremonial. Satu-dua
memang berisi cuplikan pernyataan Jokowi tentang ekonomi kreatif dan digital-economy, namun bingkainya masih
peristiwa momentual kepresidenan. Tim konten Jokowi App rupanya masih
bermasalah dengan kategorisasi tematik, dan sangat mungkin defisit konten,
terutama yang relevan dengan ketersediaan
rubrikasi.
Rubrik yang potensial adalah Suaraku, tersedia sebagai wadah untuk menampung
catatan testimonial netizen yang
diharapkan dalam bentuk cerita. Setiap orang dapat mengunggah cerita, berikut
dengan ilustrasi, yang tentu tidak akan langsung tayang seperti kita mengunggah
konten di aplikasi berbasis komunitas pada umumnya, tapi harus melewati
mekanisme kuratorial yang akan ketat. Tapi inilah satu-satunya kanal yang dapat
membangun interaksi netizen dengan
Jokowi App.
Di luar dari kejanggalan itu, Jokowi App adalah
kreativitas dan inovasi tentang cara berkomunikasi yang diperlihatkan oleh Tim
Kampanye Nasional (TKN) Jokowi di bawah pimpinan Erick Thohir. Semula saya meragukan
figur muda yang sedang naik daun itu, karena setelah beberapa lama terpilih
sebagai team leader kampanye, belum tampak
hasil kerjanya. Saya tidak mengharapkan Erick banyak bicara, karena ia memang bukan tipikal pekerja yang
mengandalkan retorika, apalagi akrobat kata-kata, melainkan tokoh belakang
layar yang jago membuat sesuatu yang mengejutkan. Keraguan saya berangsur
hilang setelah Erick Cs meluncurkan Jokowi App, 17 November 2018 lalu.
Saya membayangkan, bersama timnya Erick sedang
berpikir keras, bagaimana caranya Jokowi
App tak sekadar bercorak informatif, tapi juga interaktif, sehingga dengan
aplikasi itu Jokowi dapat menggapai intimasi dengan kaum digital-native yang selama ini digeneralisir secara serampangan
dengan istilah generasi milenial.
Interaksi atau keterlibatan yang intens adalah syarat utama dari sebuah
aplikasi digital untuk meningkatkan tarafnya menjadi platform. Disinyalir oleh para ahli, sejauh ini di Indonesia,
aplikasi digital yang sudah mengarah pada platform
baru Go-jek (dengan fasilitas Go-Pay),
Kaskus (dengan fasilitas forum-forum diskusinya) dan Bukalapak (dengan
fasilitas Bukadompet). Pengukuran
biasanya dilakukan pada tingkat ketergantungan user pada setiap aplikasi digital.
Ketika netizen semakin intens berinteraksi, baik dengan tim Jokowi, maupun
dengan sesama pengguna aplikasi, maka pada level tertentu platform
akan meningkat menjadi digital-ecosystem, di mana Jokowi App
tidak lagi sekadar dirancang demi marjin elektoral sebagaimana itikad awalnya,
tetapi sudah menjadi wadah interaksi permanen yang tak bisa dibubarkan begitu
saja pasca Pilpres. Saya tidak berharap banyak pada taraf ini, karena rasanya terlalu
ambisius untuk pekerjaan yang dibatasi tenggat waktu 6 bulan, tapi level platform belum mustahil digapai. Saya
membayangkan tim kreatif sedang memikirkan sayembara-sayembara seperti lomba
disain logo merchadise JKW-MA, lomba video yel-yel dukungan JKW-MA, lomba foto
Instagram, termasuk lomba motion-graphics
simulasi pencoblosan surat suara dan semacamnya, yang semua prosedur kepesertaannya
terkait secara langsung dengan Jokowi App. Intinya menyediakan ruang bagi digital-native dengan memperlakukan
mereka sebagai subyek, bukan semata-mata obyek dari konten-konten yang tersaji.
Dengan begitu, Jokowi App yang dirancang
dengan kreativitas, inovasi, dan etos kolaborasi, dapat menjadi jawaban
dari ajakan pasangan JKW-MA untuk
berhijrah dari psikologi ketakutan ke politics
of hope dengan keberanian dan optimisme, dari ujaran kebencian yang memecah
belah menuju ujaran yang menyatukan, dari kebuntuan akibat kebencian menuju iklim
kekaryaan yang membiakkan macam-macam
keteladanan…
Comments