Masa Istirahat Pikiran?



Damhuri Muhammad




(versi lengkap dari artikel yang sebelumnya telah tersiar di harian Kompas, Sabtu 20/10/18) 


Akibat ketergesaan di hari-hari yang sibuk, kita kerap abai pada hal-hal remeh seperti mengunci pintu atau mencabut colokan listrik di dapur. Namun, kealpaan-kealpaan kecil yang bisa berakibat besar itu, kini bukan perkara yang mencemaskan. Dalam perjalanan, kita hanya perlu menyentuh sebuah tombol digital di telpon pintar, yang terkoneksi dengan sistem lock dan unlock di gagang pintu. Satu sentuhan saja, pintu akan terkunci otomatis. Begitu juga dengan piranti lunak pengontrol arus listrik di rumah, dengan sekali sentuhan pada gawai yang terhubung dengan rupa-rupa perkakas elektronik, sistem akan beralih dari on menjadi off. Sepanjang jaringan internet menyala, semuanya akan terkendali secara niscaya.
            Bila persediaan telur, daging, atau bumbu dapur di kulkas menipis, kulkas itu tak perlu menunggu diperiksa terlebih dahulu, karena piranti lunak yang terpasang di dalamnya akan mengirim notifikasi ke gawai Anda, lengkap dengan data jumlah persediaan bahan makanan, dan karena itu Anda harus segera berbelanja. Atau bila software di kulkas itu terintegrasi dengan piranti lunak e-commerce yang menjual sembako, ia akan langsung mengirim notifikasi ke minimarket digital itu, untuk segera mengirimkan penawaran. Tanpa memeriksa kulkas, tanpa rencana berbelanja, akibat komunikasi machine to machine (M2M) di sekitar Anda, di balik pagar sudah berdiri seorang kurir, dengan kantong penuh persediaan makanan, yang akan kembali mengisi laci-laci kosong di kulkas Anda.

image: www.expresvpn.com 

            Dalam situasi darurat, jika seseorang mengalami kecelakaan di jalan raya. Dalam sekejap mata, kamera CCTV yang merekam peristiwa itu terhubung dengan sistem pemantau yang terkoneksi dengan gawai petugas jaga, untuk segera bertindak menormalisir lalu lintas yang terganggu. Sementara arloji pintar yang merekam detak jantung korban, akan terkoneksi dengan piranti lunak layanan gawat darurat sebuah rumah sakit, untuk segera mengirimkan ambulan. Tanpa berteriak minta tolong, tanpa tergesa menelpon polisi, mikroprosesor di masing-masing perangkat elektronik di sekitar kejadian, lebih duluan berkomunikasi dengan perangkat lunak di luar area kecelakaan, hingga dalam hitungan menit, korban telah sampai di rumah sakit, dan lalu lintas kembali normal seperti sediakala.
         Mesin-mesin itu saling terhubung, saling berbagi data, berkat jaringan internet. Sepanjang ketersediaan jaringan internet terpastikan, benda-benda itu akan terus berinteraksi, berkarib-kerabat guna melayani kebutuhan para penggunanya. Inilah yang disebut dengan Internet of Things (IoT) atau dalam bahasa awamnya, internet untuk segalanya. Dalam pemahaman sederhana, IoT adalah teknologi yang memungkinkan benda-benda di sekitar kita terhubung dengan internet, sehingga dapat menjalankan fungsi-fungsi otomatisnya. Teknologi informatika yang berkembang sedemikian rupa, telah menciptakan keterhubungan antara produk-produk berkomponen mekanik dengan produk-produk berkomponen elektronik. Berkat revolusi digital, keterhubungan itu membentuk sistem yang kompleks, dengan penggabungan hardware, software, sensor, penyimpanan data, dan konektivitas.
            Dalam catatan Michael Porter, sebagaimana dikutip Makers Institute (2017), IoT adalah fase ketiga (1990-sekarang) dari revolusi IT, ketika teknologi informasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari produk. Sensor, prosesor, software dan konektivitas bersekutu dalam produk. Setiap produk terhubung dengan cloud. Data-data yang ditangkap oleh sensor dikumpulkan dan dianalisa, lalu ditambah dengan piranti lunak yang dapat meningkatkan kemampuan dan kinerja produk tersebut. Di fase sebelumnya, atau yang disebut gelombang kedua (1980-1990), teknologi informasi hanya berkontribusi pada cara perusahaan terhubung dengan customer, channel, supplier dan terintegrasi tanpa kendala oleh kondisi geografis. Ia dapat meningkatkan produktivitas, tapi belum berpengaruh banyak terhadap “kepintaran” produk itu sendiri.     
            Smart dan connectivity adalah dua kata kunci untuk memahami IoT. Kecerdasan didukung oleh sensor, penyimpanan data, sistem operasi, dan user interface, misalnya engine control unit, anti-lock braking system, atau sistem wiper otomatis dengan sensor hujan. Sementara konektivitas didukung oleh protokol sistem koneksi nirkabel, yang menghubungan satu produk dengan produk lain (one to one) atau satu produk dengan pabrik. Lebih jauh, konektivitas juga dapat menghubungkan satu produk dengan banyak produk (one to many), seperti mobil Tesla yang terhubung dengan sistem pabrikan, yang dapat memantau kinerja mobil dan menyediakan layanan remote service.
            Kecerdasan yang dimaksud bukan kecerdasan manusia yang bersumber dari akal, tapi kecerdasan buatan atau yang lazim disebut Artificial Intelligence (AI). “Dapatkah komputer berpikir?” begitu tanya mula-mula Alan Turing (1912-1954), matematikawan dan ahli komputer, dalam paper Computing Machineri and Intelligence (1950), saat mendiskusikan persyaratan cerdas bagi sebuah mesin.  Bagi Alan, bila komputer dapat berperilaku seperti manusia, kita dapat menganggapnya cerdas. Di pengujung 1955, Newel dan Simon mengembangkan The Logic Theorist yang kelak dikenal sebagai program AI pertama di dunia. Program itu memetakan masalah dengan alegori pohon, lalu pemecahannya dilakukan dengan memilih cabang-cabang pohon yang akan menghasilkan kesimpulan paling benar. Setahun kemudian, ilmuan komputer dari MIT, John McCarthy (1927-2011), menggelar The Dartmouth Summer Reasearch Project on Artificial Intelligent, sebuah konferensi yang mempertemukan para ahli AI. Di forum itu John McCarthy mengusulkan definisi AI sebagai cabang ilmu komputer yang fokus pada  pengembangan komputer untuk  memiliki kemampuan dan berperilaku seperti manusia.
           Untuk menjadi “manusia,” komputer mesti dibekali pengetahuan dan dilatih bernalar. Proses belajar yang ditempuh komputer guna meraih kecerdasan itu disebut machine learning (pembelajaran mesin). Dalam proses belajar yang tak henti-henti itu, dengan bakat komputasi tingkat tinggi dan basis algoritma dalam pemrosesan data yang kian cepat, komputer akhirnya memiliki kemampuan memetakan pola, kategorisasi, persepsi, mengalihkan bahasa lisan ke bahasa teks, bahkan kemampuan pengambilan keputusan yang nyaris akurat. Sepanjang ia diberi asupan data, algoritma di tubuhnya tak akan letih membaca trend, memetakannya secara periodik, merekam gejala-gejala baru, membandingkannya dengan gejala-gejala lama, lalu membuat keputusan. Algoritma Facebook yang mengolah dan memilah jutaaan foto warganet setiap hari mampu merekomendasikan siapa yang layak di-tag pada saat kita mengunggah sebuah foto di linimasa, dan celakanya, hasilnya akurat.  
            Sistem yang bekerja untuk mobil kendali otomatis (driverless car) terbukti mampu mengenali rambu-rambu lalu lintas, memetakan situasi lalu lalang kendaraan, membaca peta cuaca, hingga macam-macam rintangan sepanjang perjalanan, berkat data yang direkam sensor. Lambat laun benda-benda tak bernyawa seperti GPS, sistem pengukur detak jantung pada arloji pintar, pemantau kadar kolesterol dan tekanan darah, sistem keamanan di rumah, dan rupa-rupa aplikasi pemesanan tiket, hotel dan kredit perbankan, yang bekerja 24 jam di perangkat iOs atau Android, makin cerdas akibat data yang tak henti-henti kita input ke dalam sistemnya.
“Secangih-canggihnya mesin, tak akan melampaui kecerdasan manusia.” Begitu dulu kita meragukan kemampuan setiap benda canggih. Rupanya mesin-mesin itu terus belajar. Sepanjang kita masih menyuapinya dengan data, pengetahuannya terus bertambah. Konektivitasnya dengan mesin-mesin lain yang berkaitan dengan data kita, makin tak berjarak, hingga kecerdasannya berpotensi melampaui kecerdasan manusia. Dalam ilustrasi Yuval Noah Harari (2018), bila ratusan tahun silam Homo Sapiens--dengan algoritma biokimianya--mampu menguasai hewan dan menaklukkan alam liar, demikian pula data dan algoritma cerdasnya mengendalikan manusia  abad 21.
Kapan harus berbelanja kebutuhan dapur, kenapa harus membeli mobil baru, bila waktunya mengganti sempak, di mana destinasi wisata paling top guna merayakan tahun baru, kapan waktunya mengajak kekasih ke bioskop, hingga siapa kandidat Presiden yang mesti didukung, adalah pilihan-pilihan yang keputusannya tidak lagi ditentukan oleh kita sebagai manusia, karena hampir semua keputusan dalam hidup manusia mutakhir, telah berada dalam kuasa mesin dengan algoritma cerdasnya. Lalu, apakah sudah waktunya kita mengucapkan selamat istirahat pada pikiran, kesadaran, dan kebudayaan manusia? Kita tunggu saja jawaban Google… 





*artikel ini telah menjadi bagian dari buku berjudul Takhayul Milenial (2020). Pembaca yang ingin memiliki buku tersebut dapat melakukan pemesanan di link berikut:







           

Comments

Popular Posts