Jejak Islam Kultural
Damhuri Muhammad
“Hanya Indonesialah yang dapat diklaim
sebagai tempat berlabuhnya agama-agama besar, dan mereka dapat hidup secara
berdampingan,” demikian sinyalemen Parig Digan (1977), sebagaimana dikutip oleh
A Bakir Ihsan (1996) dalam artikel Beragama
Secara Kultural dan Struktural. Tesis itu memaklumatkan, agama adalah
bagian dari identitas yang melekat dalam tubuh bangsa Indonesia. Sebagai agama
besar, dalam rentang abad 13 hingga awal abad 19, Islam tumbuh secara kultural
di bumi Nusantara. Inilah yang membedakan wajah Islam Indonesia dengan
gelombang radikalisme yang sedang marak di masa kini.
Bila radikalisme
bergerak dengan hasrat politik guna menggapai Negara Islam, formalisasi
syariat, hingga tegaknya khilafah islamiyah,
Islam berwajah Indonesia telah berabad-abad lamanya bernapas di medan kultural,
yang tak menghancurkan ikon-ikon kultural di Nusantara. Menurut catatan Syaiful
Arif (2010) dalam Deradikalisasi Islam, kedatangan
Islam di Nusantara bukan sebagai “yang asing”, yang hendak menjajah, tetapi
agama lentur yang hendak menyempurnakan proses kemanusiaan secara lebih
paripurna. Itu sebabnya, terminologi konversi
yang kerap digunakan dalam menimbang denyut Islamisasi Nusantara kurang tepat. Sebab,
konversi menandakan berlangsungnya
penaklukan Islam atas agama lokal, sehingga yang terjadi bukan dialog antarbudaya,
tapi ikonoklasme atau penghancuran ikon budaya lokal oleh apa saja yang datang
dari luar.
Islamisasi di
Nusantara berlangsung tanpa melukai, tanpa menghilangkan simbol-simbol agama
dan kepercayaan pra-Islam. Menurut Arif, bahasa yang pantas adalah adhesi, bahwa Islam dan agama pra-Islam
mengalami proses dialog, dan karena itu orang Indonesia menjadi muslim tanpa
kehilangan akar tradisinya. Hingga kini masih dapat disingkap wajah Islam Indonesia, yang mampu
bersekutu dengan kearifan lokal, tanpa harus mengakibatkan gesekan, apalagi
memicu berbagai kegentingan. Islam Indonesia yang tumbuh sejak berabad-abad
silam adalah wajah yang terbuka, toleran, dan sadar kemajemukan. Islam tidak memberangus wadah-wadah kebenaran dari local
wisdom. Wadah itu tetap dijaga, hanya isinya yang diluruskan, searah jalan
ketauhidan.
Praktik sesaji misalnya, tidak dilarang oleh
para Wali. Hanya saja doa-doa yang di zaman pra-Islam ditujukan kepada nenek
moyang, kemudian dialihkan kepada pencipta nenek moyang. Lalu, lahirlah kenduri, di mana berkat tidak hanya diperuntukkan bagi orang mati, tetapi juga orang
hidup. Berkat akhirnya tak bermakna
transenden, tapi juga sosial. Begitu juga dengan epos Hindu Dewa Ruci. Oleh Kiai Mutamakkin tidak
diharamkan, bahkan pada titik tertentu, ia bisa menjadi medium simbolik bagi
perjalanan spritual dalam Islam. Tatkala Bima Sakti bertemu dengan Dewa Ruci--yang tak lain adalah dirinya sendiri--Kiai Mutamakkin memaknainya sebagai
pergulatan perang hawa nafsu, sehingga seorang muslim dapat menemukan “diri
alit” yang di dalamnya terdapat hakikat ilahiyah. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, barangsiapa yang mengenali
dirinya akan mengenali Tuhannya. Satu hal yang menurut Kiai Mutamakkin senapas
dengan ajaran esoterisme Islam (Syaiful Arif, 2010)
Pidato Ketua
Umum PB NU, KH. Said Agil Siraj dalam acara puncak Harlah NU yang ke-91
(31/1/2017) mencontohkan proses akulturasi nilai-nilai Islam dengan budaya
lokal dalam masyarakat Islam di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sampai kini,
warga muslim Kudus tidak mengonsumsi daging sapi demi menghormati para
tetangganya yang beragama Hindu. Tradisi unik itu adalah warisan turun temurun
yang dilestarikan oleh Sunan Kudus. Ia sangat menghormati tradisi masyarakat
Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Dalam istilah KH.Abdurahman
Wahid, Islam Indonesia telah mengalami pribumisasi.
Gus Dur memastikan, Islam telah membumi dalam kultur Indonesia. Monumentasi dari
wajah Islam yang mengalami keberpaduan dengan kebudayaan itu dipancangkan oleh
Walisongo melalui pelembagaan pesantren. Menurut peneliti Islam Nusantara, Zastrouw
Al-Ngatawi (2018), pesantren adalah bukti peninggalan yang telah menjadi cagar
budaya atas keberhasilan Walisongo dalam merancang strategi kebudayaan Islam
Nusantara. Walisongo mengubah lembaga pendidikan Syiwa-Buddha yang sebelumnya
bernama asrama menjadi pesantren. Di
sana terjadi formulasi ketauhidan Syiwa-Buddha
(Adwayasashtra) dengan tauhid Islam yang dianut para guru sufi.
Pola ini
mula-mula dilakukan oleh Sunan Ampel dengan mendirikan lembaga pesantren di
Ampel Denta (Agus Sunyoto, 2011). Lalu, disusul oleh wali lain, dan hampir
semua Walisongo memiliki padepokan tempat menuntut ilmu bagi para santrinya.
Menurut Effendi Zarkasi (1977), ada tigal hal pokok yang diubah oleh Walisongo
di pesantren; (1) kebiasaan samadhi sebagai puji mengheningkan cipta menjadi
shalat wajib; (2) kebiasaan sesaji dan tetutug diubah menjadi
pemberian sedekah; (3) adat kebiasaan meniru dewa dihilangkan dengan jalan
kebijaksanaan. Transformasi itu berjalan tanpa guncangan kultural yang berarti.
Para penganut Hindu-Buddha tidak merasa terancam. Mereka justru merasa ajaran
Islam relevan degan keyakinan mereka.
Di pesantren,
terjadi proses rekonstruksi kebudayaan yang bersumber dari ajaran Islam dan
tradisi lokal Nusantara. Para wali membuka wawasan masyarakat mengenai
keislaman dan kenusantaraan sehingga terjadi integrasi antara keduanya.
Rekonstruksi itu dilakukan dengan membangun tradisi tulis menulis, tanpa
mengabaikan tradisi lisan yang sudah berkembang. Dari sanalah kemudian lahir berbagai karya sastra dalam
bentuk babad, serat, dan suluk. Dalam catatan Drewes (1968), salah satu Wali yang
tekun menulis kitab--baik dalam prosa,
tembang, atau suluk--adalah Sunan
Bonang. Beberapa suluk karya Sunan Bonang di antaranya Suluk Wujil, Suluk
Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, dan Suluk Bentur. Sementara karya monumental Sunan Bonang adalah Serat Bonang, yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Belanda oleh B.J.O. Schrieke menjadi Het book van Bonang.
Karya-karya
para Wali itu mencerminkan terjadinya reinterpretasi dan reaktualisasi tradisi
Nusantara dan ajaran Islam, sehingga ajaran Islam bisa diterima dengan mudah
oleh masyarakat Nusantara. Untuk merekonstruksikan kisah-kisah pewayangan dari Mahabarata dan Ramayana yang sarat dengan ajaran Hindu-Buddha, diperlukan sebuah korpus
yang bisa memaktubkan nilai-nilai Islam dalam alur ceritanya. Lalu, lahirlah
sejumlah lakon dalam dunia pewayangan seperti Dewa Ruci dengan kandungan ajaran tasawuf, Jimat Kalimasodo tentang penanaman tauhid, di mana tokoh-tokoh
punakawan tampil dalam karakter yang egaliter (Ahmad Baso, 2013). Narasi baru
dalam lakon pewayangan itu bertujuan untuk membangun kesadaran teologis Islami
dan mewujudkan tradisi kerakyatan dalam dunia pewayangan yang sebelumnya
bercorak elitis. Para Wali yang berperan dalam rekonstruksi dunia pewayangan
itu adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus.
Jejak Islam
kultural yang mengejawantah dalam tradisi kesusastraan Nusantara, pelembagaan Islam
kultural di pesantren, hingga arsitektur masjid yang masih berdiri di berbagai
belahan Indonesia, tak menyisakan puing-puing bekas pertempuran, nihil aroma
kebencian, jauh dari hasrat permusuhan. Islam kultural ibarat tanah yang lapang
tempat bernaungnya setiap perbedaan di bawah panji-panji persaudaraan.
Comments