Pancasila Untuk Semua
Damhuri
Muhammad
(versi cetak artikel ini berjudul Pancasila dan Generasi Digital.
Tersiar di harian Kompas, 16 September 2017)
Lantaran tak
patuh pada rambu-rambu, Mustajab--pengendara sepeda motor asal Madura--disemprit seorang Polantas. “Tolong
SIM-nya Pak!” kata petugas itu. Dengan logat Madura yang kental, Mustajab menjawab;
“Maaf Pak, saya belum punya SIM, tapi saya warga negara yang baik. Saya hapal
Pancasila, Pak!” Alih-alih berpikir hendak
menilang Mustajab, Polantas malah mengikuti kepolosan Mustajab. “Kalau Bapak
memang hapal Pancasila, coba bunyikan sila ketiga,” katanya. Hampir tanpa jeda,
dengan lantang Mustajab bilang, “Indonesia kompak, Pak!” Polantas itu terbahak-bahak,
hingga tubuhnya berguncang-guncang.
Kisah ringkas
di atas menyebar dari mulut ke mulut di zaman Orde Baru--ketika Pancasila disakralkan sedemikian rupa--dan terus berkembang dalam banyak versi
hingga kini. Sepintas mungkin tersimak sebagai lelucon belaka, tapi jika
diselami lebih dalam, personalitas Mustajab dalam peristiwa itu, alih-alih memperlihatkan kesadaran yang
matang terhadap laku Pancasilais, justru yang mengemuka adalah ketakutan yang
luar biasa pada wajah otoritarianisme, yang secara terencana melakukan
indoktrinasi, agar segenap rakyat menjadi manusia Pancasilais. Bila membangkang,
tentu akibatnya fatal. Situasi keterancaman itu yang menimbulkan kegamangan,
sehingga Mustajab secara tak sengaja mengalihbahasakan Persatuan Indonesia dengan Indonesia Kompak.
Kini lelucon
itu mungkin telah mendapatkan momentum baru. Rejim telah berganti, indoktrinasi
bertopeng penataran P4 sudah lama berlalu, dan yang tersisa hanya sense of humor yang mungkin akan terus
lestari. Saya membayangkan kisah pendek itu digarap secara komikal dengan
konsep grafis yang maksimal, tentulah akan menjadi perhatian kaum digital native yang jumlahnya sangat
banyak itu, apalagi jika divisualilasikan dengan teknologi animasi, lalu diunggah
di situs berbagi video.
Indonesia Kompak adalah redaksi yang keliru bagi sila
“Persatuan Indonesia,” tapi istilah khas anak muda itu justru dapat membawa
generasi baru Indonesia pada kesadaran tentang etos persatuan dalam kehidupan
yang beragam, terutama ketika gelombang intoleransi berbasis SARA nyaris
merapuhkan sendi-sendi kebhinekaan belakangan ini. Tokoh-tokoh imajiner yang saya
bayangkan akan bermunculan di dunia komik, animasi dan semacamnya, akan memancangkan
memorable line di benak pemirsa, dan sukar
dilupakan dalam rentang waktu yang panjang.
![]() |
ilustrasi; harian Kompas |
Laku Pancasila
dalam kehidupan keseharian ini juga menjadi
pilihan yang diambil oleh Yudi Latif (2014) dalam buku terkininya Mata Air Keteladanan (Pancasila dalam
Perbuatan). Teladan perihal sila Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, diuraikan Yudi
dengan menampilkan kisah pertemanan sejati dua politisi kawakan pada akhir
dekade 1950-an, Prawoto Mangkusasmito (1910-1970) dan
IJ Kasimo (1900-1986). Prawoto adalah tokoh Partai Masyumi, yang menjabat
sebagai Wakil Perdana Menteri (1952-1953) dan Wakil Ketua I Konstituante (1956-1959). Karena Prawoto
adalah pribadi yang bersahaja, hingga akhir tahun 1950, ia belum juga punya
rumah. Di zaman ketika banyak pejabat negara bergelimang harta dengan karnaval
kemewahan yang saban hari dipamerkan di jalan-jalan protokol, mungkin sulit
membayangkan pejabat penting yang masih tinggal di rumah sewa. Tapi demikianlah
faktanya, Prawoto sudah lama menyewa sebuah rumah di Jalan Kertosono, Jakarta.
Dalam suasana
perbedaan pandangan politik yang kian meruncing di forum Konstituante, kabar
tentang Prawoto dengan rumah sewaan itu sampai di telinga IJ Kasimo, Ketua
Partai Katolik. Tanpa diminta, Kasimo langsung membantu. Pemilik rumah sewa itu
seorang suster Katolik keturunan Tionghoa yang tinggal di Belanda. Kasimo
berupaya menghubungi pemilik itu, melakukan persuasi agar ia berkenan menjual
rumahnya pada Prawoto. Tak lama berselang, rumah itu berpindah hak milik pada Prawoto.
Sumber lain menyebutkan, bahkan Kasimo, ikut andil dalam mengumpulkan uang,
agar Prawoto segera memiliki rumah itu.
Persahabatan
Prawoto-Kasimo yang berbeda pandangan politik, juga berbeda agama, menurut Yudi
adalah cerminan dari semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan. Pada sila pertama
Pancasila, yang ditegaskan bukan siapa “Tuhannya,” melainkan “ketuhanannya.”
Ketuhanan yang dimaksud adalah laku “menuhan.” Artinya meniru sifat kasih
Tuhan. Apapun agama dan Tuhannya, jika kita bisa meniru dan menjiwai sifat
kasih Tuhan sesuai tuntunan agama masing-masing, kita akan sampai pada titik
“keesaan,” yakni persatuan dalam kebajikan. Maka, sila pertama menghendaki
bangsa Indonesia berketuhanan dengan menjiwai sifat kasih-sayang-Nya, dan
menjadikannya sebagai sumber moralitas dalam kehidupan dan kemasyarakatan.
Kesungguhan mencintai Tuhan akan memancarkan kasih sayang pada sesama makhluk,
dengan sikap keagamaaan yang lapang dan toleran. Persahabatan Prawoto-Kasimo
adalah juga kisah yang tiada bakal lapuk, akan selalu bersarang dalam ingatan
banyak orang, tentang laku Pancasila--yang tak perlu repot-repot dipidatokan dengan penataran P4
selama berhari-hari.
Selain Abdul Mustajab Disemprit Polantas, ada
versi lain dari humor tentang sila Pancasila. Diceritakan tentang seorang siswi Madrasah Tsanawiyah
bernama Hindun, yang diomeli oleh guru mata pelajaran Pendidikan Moral
Pancasila (PMP). Ketika Ibu Guru
bertanya berapa jumlah sila Pancasila, dengan tegas Hindun menjawab; “Enam!”
Tak tanggung-tanggung, Hindun diusir ke luar kelas. Sepulang sekolah, ia
mengadu pada bapaknya. Jangankan dibela, Hindun semakin disalahkan. “Kamu salah.
Sila Pancasila itu jumlahnya 5, bukan 6!” kata bapak Hindun. “Dijawab 6 saja
sudah kena marah, apalagi dijawab 5? Bisa tidak naik kelas aku, Pak! ” balas
Hindun sambil manyun.
Sebagaimana
Mustajab, Hindun juga karakter imajiner yang dapat dikemas sesuai selera
anak-anak muda zaman ini. Ia bisa muncul sebagai tokoh komikal, film kartun,
dan rupa-rupa konsep visual yang saban hari dapat disaksikan oleh netizen. Menghadirkan Pancasila dalam
iklim kreatif generasi digital-native
rupanya memang bagian dari konsep
Pengajaran Pancasila Gaya Baru, yang pernah dirancang secara intens oleh Unit
Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), dan sedang ditunggu oleh
banyak orang. Namun, yang perlu mengamalkan Pancasila tentu bukan rakyat
belaka, UKP-PIP, yang kini telah berubah nama menjadi BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) diharapkan pula membidik pemerintah sebagai sasarannya, hingga
Pancasila menjadi milik semua orang di republik Pancasilais ini.
Setelah Polantas
terpingkal-pingkal lantaran jawaban Indonesia
Kompak dari Mustajab, lelucon di atas sejatinya belum selesai. Mustajab lanjut
membacakan bunyi Sila Keempat, lancar tanpa keliru. Anehnya, setelah itu ia
diam. “Kurang satu sila lagi, Pak! kata Polantas mengingatkan. Mustajab cuek
saja. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” begitu Polantas
mendiktekannya. “Maaf Pak, apakah itu sudah ada dalam Pancasila kita?” tanya Mustajab,
lalu memacu sepeda motornya dengan kecepatan penuh…
Comments