Menggali Makam untuk Bangkai Puisi
Damhuri Muhammad
Saya
agak terlambat membaca Kuburan Imperium
(2019) buku puisi terkini Binhad Nurrohmat. Khusus pada Binhad, perlu saya tegaskan
bahwa keterlambatan itu saya sengaja. Karena hingga saat ini, saya masih sukar menerima
kegemaran baru dalam jelajah tematik puisinya; Kuburan. Saya mengenal
Binhad bukan sebentar belaka. Kekariban kami
sebagai sesama pengarang yang mengadu peruntungan di Jakarta, telah berlangsung sejak 13 tahun silam. Rentang
2005-2011 adalah masa paling intens saya berinteraksi dengan Binhad. Obrolan
tak sudah-sudah perihal sastra, yang tentu kami lakukan dalam ikhtiar mengasah
keterampilan menulis esai, menggarap sekian banyak peristiwa diskusi, workshop
penulisan, hingga survei pembaca sastra, di Komunitas Bale Sastra Kecapi. Termasuk
di sela-selanya, membincang gosip-gosip di seputar politik sastra, dan tak ketinggalan
tentang pengalaman-pengalaman Binhad bersama seorang biduanita, selepas ia
berkunjung ke sebuah Bar Dangdut, di bilangan Jakarta barat.
Sebagai pendatang baru di Jakarta, saya
kerap berkhidmat sebagai teknisi komputer dadakan yang siap sedia bila
sewaktu-waktu Personal Computer (PC)
jadul milik Binhad bermasalah. Kadang-kadang dari situlah obrolan kami bermula.
Lantaran saat mengutak-otik file system komputer Binhad, saya menemukan
banyak draft puisi, esai telaah, termasuk paper
yang pernah dipaparkan dalam banyak peristiwa bedah buku. Lantaran tak terlalu berdisiplin
dengan data back-up, saya berkali-kali
mendengar Binhad berdoa, agar PC-nya sembuh seperti sediakala--tentu
setelah disentuh oleh tangan dingin saya--lalu semua tulisannya terselamatkan. Dalam banyak obrolan kami di masa itu,
kadang-kadang bergabung pula penyair Chavchay Saifullah, cerpenis produktif Teguh
Winarsho AS, dan esais Imam Muhtarom. Tapi dari semua teman pengarang yang
rata-rata seusia itu, kawan yang paling riang gembira hidupnya, adalah Binhad.
Masa itu Binhad sibuk menguliti imaji ketubuhan dalam puisi-puisinya, hingga
lahirlah kumpulan Kuda Ranjang (2004)
yang sempat menggemparkan itu, dan disusul
oleh Bau Betina (2007).
Saya tahu betul bagaimana proses kreatif
Binhad berlangsung. Betapa gandrungnya ia menggunakan tubuh sebagai perkakas
puitik. Tubuh yang jorok, tubuh yang
berlendir, tubuh yang mengundang hasrat, hingga tubuh yang melawan dengan cara
bertelanjang, yang digarap Binhad, bagi saya adalah sebuah pertanda dari sidik
jari kepenyairan yang hedon alias bermewah-mewah dengan realitas keduniawian. Sikap
kefilsafatan Binhad waktu itu adalah imanensi,
dan dalam menggarap puisi ia sama sekali tak menyentuh ihwal transendensi. Tapi kemudian Binhad
menghilang dari Jakarta, bertahun-tahun kemudian suaranya terdengar dari kejauhan. Ia pindah ke
Jombang--kabarnya berkhidmat sebagai pengasuh pondok pesantren--dan menegaskan sebuah kegemaran baru: Bermain di kuburan.
Saya sulit menerima kenyataan itu, karena
saya membaca sebuah isyarat bahwa Binhad mungkin akan menjadi penyair yang berusia
pendek, seperti Chairil Anwar. Saya ingat, sebelum Chairil meninggal, ia telah
meramalkan kematiannya dengan puisi bertajuk Yang Terampas dan Yang Putus (1949),
di mana terselip sebuah kalimat ringkas berbunyi; Di Karet,
Karet, Daerahku yang Akan Datang. Sampai juga deru angin. Semua orang tahu,
“Karet” adalah nama taman pemakaman yang beberapa waktu kemudian menjadi pusara
Chairil Anwar. Saya ingin Binhad berumur panjang!
Maka, saya membaca Kuburan Imperium, bukan sebagai ikhtiar
Binhad menggali kuburan bagi jenazahnya sendiri, tapi bermaksud hendak
memakamkan bangkai-bangkai puisi. Seolah-olah, makhluk bernama puisi itu akan
lebih baik mati saja, dipancangkan sebagai
situs, lalu kelak para pembaca akan rutin menziarahinya. Itulah sebabnya, buku Kuburan Imperium itu tersusun dari
sub-sub bab yang dinamai dengan situs.
Tak tanggung-tanggung, Binhad menggenapi bukunya dengan 5 Situs, yang mengingatkan saya pada 5 Sila Pancasila--semoga belum
menjadi bangkai--dengan corak puisi yang berbeda-beda.
Binhad membangun semacam amsal yang tak
lazim tentang masa depan puisi dengan waktu kematian yang selama ini dianggap sebagai titik henti
pusaran tarikh manusia. Bila bagi banyak orang, mati adalah waktu yang khatam,
bagi Binhad, kematian jutru masa depan. Dengan begitu, sebuah tarikh baru saja
bermula. Masa silam tak hanya berhenti di
belakang/masa depan menyimpan yang
belum terjadi, demikian kutipan puisi berjudul “Masa Depan Semua Orang.” Dalam frasa “masa
depan” itu saya merasa “kematian” atau
katakanlah fase berpindahnya jasad dari alam lapang ke alam kubur, terkandung
di dalamnya. Manusia selalu menunggu/dan
lupa di sepanjang usia/yang berguguran dan pucat/di sebujur mayat. Demikian
pula kiranya puisi, begitu ia terkapar sebagai bangkai, atau setidaknya
diperlakukan sebagai bangkai yang selekasnya harus dikuburkan, itu bukan titik
akhir dari riwayatnya, melainkan titik awal dari kedatangannya di masa datang.
Itu sebabnya puisi perlu dianiaya, disiksa sedemkian rupa, terbujur mati, dikuburkan, menjadi situs, kemudian
hidup dalam upacara-upacara ziarah.
Para almarhum boleh tak diziarahi,
atau kuburannya ditimpa kuburan baru, hingga tak dapat dikenali lagi di titik
mana jenazahnya dikebumikan, tapi tidak begitu dengan puisi. Semakin
dikuburkan, semakin mungkin dikenang,
semakin mungkin di-situs-kan. Banyak orang mungkin lupa dengan ciri-ciri fisik
kekasih yang mati muda, tapi bahasa cinta yang pernah diungkapkannya akan
menjadi situs di kepala orang yang pernah mendengarnya. Ia tidak bisa musnah,
meskipun sudah berkali-kali dikhianati atau didustai. Dengan begitu, kuburan puisi
sejatinya bukanlah di liang lahat, sebagaimana kuburan para penyair yang melahirkannya, melainkan di dalam liang kesadaran para penikmatnya.Lalu, di manakah situs yang paling
mungkin untuk bahasa? Apakah di dalam kamus atau dalam lorong-lorong gelap tata
bahasa? Ketika bahasa mengalami keletihan yang sempurna lantaran saban hari menghela beban makna di era imperium simulakra ini, dapatkah riwayat
bahasa dikhatamkan oleh “polisi ejaan” yang begitu jumawa kekuasaannya? Bahasa akan membusuk dalam pikiran yang mati,
kata Binhad dalam puisi “Kuburan Bahasa.”
Sepanjang bahasa bermukim dalam pikiran yang hidup, ia tak bisa mati! Pikiran
yang hidup itu, salah satunya dapat ditemukan di ruang kepenyairan.
Buku yang terhimpun dalam 5 Situs
ini mengandung obsesi penyair yang hendak menguburkan karya-karyanya, hingga
kelak beralih-rupa menjadi situs-situs yang diziarahi. Tentang sikap kepenyairan
seperti ini, saya ingat kisah pendek dalam khazanah sastra klasik Tiongkok. Adalah
Yu Gong, atau yang kerap dijuluki “Si Kakek Dungu,” yang bertekad hendak memindahkan dua gunung
di hadapan tempat tinggalnya, lantaran kedua gunung itu menghalangi keluarganya
dan juga penduduk kampungnya untuk bepergian ke kota. Saban hari, ia bersama
anak-cucunya, dan orang-orang kampungnya, menggali tanah di sekitar gunung itu, dan berharap kelak kedua
gunung itu bisa diangkat bersama-sama, dipindahkan ke tempat lain. Tak
terhitung banyaknya orang yang melecehkan kedunguan Yu Gong, tapi kegigihan Yu Gong dalam menggali, dan kepiawaiannya meyakinkan orang-orang kampungnya untuk terus menggali
dan menggali, akhirnya membuat para dewa terharu. Dua dewa turun ke bumi, lalu
memindahkan dua gunung itu dalam sekejap mata.
Demikian
pula kiranya kesulitan menggali pusara guna memakamkan puisi. Umat pembaca buku puisi yang makin lama makin berkurang jumlahnya di republik ini, tentu kepayahan menggali liat
lahat bagi timbunan bangkai-bangkai puisi, tapi berkat kegigihan penyair, dan
upaya kerasnya dalam merawat pembaca buku-buku puisi, mungkin juga akan
membuat dewa-dewi di kahyangan akan terharu. Kelak, akan diturunkan pula dua
dewi dari langit ketujuh. Binhad tentu akan sangat berbahagia. Saya
membayangkan, dua dewi yang kecantikannya sedemikian menakjubkan itu, adalah
reinkarnasi dari dua biduanita, spesialis goyang ngebor, di Bar Dangdut idola masa
lalu kami. Mari bergoyang, sambil menggali makam bagi puisi…
Comments
Semoga kelak sy bs menulis kritis, dan detail seperti ini.
Aamiin