Anna Kiesenhofer dan Keniscayaan Matematika

Damhuri Muhammad



Saat menyelesaikan disertasi doktoral bidang Matematika terapan di Universitat Politècnica de Catalunya, Barcelona, Spanyol pada tahun 2016, Anna Kiesenhofer meraih piala pada kompetisi bersepeda Spanish Cycling Cup bersama tim Frigoríficos Costa Brava-Naturalium yang berbasis di Girona. Kegemaran bersepeda kemudian membawanya melintasi Spanyol naik turun, menghabiskan waktu berminggu-minggu bersama tim Catalan di Cerdanya, mengetahui setiap sudut wilayah yang ia cintai karena pemandangan yang  indah. "Orang berpikir tentang puncak Austria, tapi saya berasal  dari daerah datar dekat Wina. Dan saya suka laut di sini," kata Kiesenhofer sebagaimana dikutip situs  www.en.ara.cat  (25/7/21). "Dia bersepeda dengan tim nasional Catalan selama waktu itu di beberapa kompetisi," kenang  atlet sepeda Spanyol, Marta Vilajosana. Di Indonesia, sukar membayangkan seorang akademisi kandidat doktor yang menekuni dunia lain, apalagi kemudian berhasil menenteng piala ke kampusnya. Alih-alih merengkuh prestasi pada kompetisi tertentu, yang berpeluang membuat bangga para mahasiswanya, banyak dosen di universitas kita lebih sibuk berkompetisi mengejar indeks scopus guna meneguhkan pencapaian akademik, persyaratan administratif kenaikan pangkat kepegawaian, memburu posisi guru besar, dan semacamnya, tanpa pusing-pusing memikirkan kontribusi keilmuannya terhadap masyarakat banyak.


Foto: IG @falta_tactica

Rekor kemenangan demi kemenangan yang direngkuh Kiesenhofer pada masa itu, kemudian membuat ia berpeluang  untuk bersaing sebagai pesepeda profesional di  tim Lotto Soudal. Namun, rupanya karier profesional itu tak bisa bertahan lama,  karena menurut pengakuan pemegang gelar master Matematika dari Technical University of Vienna dan University of Cambridge itu, terlalu banyak berpengaruh terhadap kesehatannya. Di fase itu, Kiesenhofer memiliki sebuah blog tempat ia mencurahkan mimpi-mimpinya  sebagai  atlet  sepeda sembari terus bekerja keras  menyelesaikan disertasi. Namun, tak lama berselang, ia beralih topik dengan menceritakan  masalah kesehatan dan tekanan yang ia alami. Kiesenhofer mengaku, ia menderita amenorrhea, semacam keluhan tidak haid (menstruasi) dalam 3 siklus berturut-turut,  termasuk juga masalah tulang yang menimpanya. Keluhan terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan cedera akibat lari semasa ia menekuni olahraga  triathlon dan duathlon, dan kemudian berpindah ke olahraga sepeda. 

Di masa karier profesionalnya bersama tim Lotto Soudal,  Kiesenhofer sempat mengikuti 2.2 Tour Cycliste Féminin International de l'Ardèche, dan berhasil mencapai posisi puncak  bersama tim  yang berisi pembalap Polandia Anna Plichta, yang kelak menjadi pendampingnya pada Woman Cycling Road Race berjarak tempuh 136 km di Olimpiade Tokyo. Tak lama kemudian, tepatnya di usia yang masih 26 tahun, Kiesenhofer melepaskan kontrak profesionalnya dengan tidak lagi memperpanjang kebersamaannya dalam tim Lotto Soudal. Kiesenhofer kembali ke kampus University of Lausanne, Swiss, tempat ia mengajar (kini juga tercatat sedang melakukan penelitian post-doctoral) sambil terus pula mengikuti kejuaraan bersepeda, khususnya di cabang Individual Time Trial (ITT), bentuk  perlombaan bersepeda di mana cyclist  tidak berpacu dengan orang, melainkan dengan waktu. "Dalam bersepeda berkali-kali, obsesi untuk menang membuat Anda lupa betapa indahnya hidup ini," kata wanita yang terus-menerus kembali ke Catalonia itu dalam sebuah wawancara. Rupa-rupa kejuaraan bergengsi yang dicapai oleh  Kiesenhofer dalam status bebas kontrak profesional itulah yang kemudian membuat ia terpilih untuk membela bangsanya di Olimpiade Tokyo 2021.  

Foto: IG @sugurutakemoto

Dalam masa persiapan menjelang Olimpiade Tokyo, di laman akun medsos pribadi, Kiesenhofer mengunggah sebuah grafik yang menunjukkan proses aklimatisasi panasnya suhu di Tokyo. Ia menyebut eksperimen yang dikutip dari beberapa studi ilmiah itu dengan  "protokol aklimatisasi panas isotermik". Konten yang memperlihatkan perhitungan seorang doktor matematika sebelum turun ke gelanggang perlombaan berjarak tempuh 136 km dan akan finish di Fuji International Speedway, Tokyo. “Saya memang memiliki pelatih di masa lalu dan saya belajar banyak dari mereka, tetapi sekarang saya mengelola semuanya sendiri, juga seperti nutrisi dan peralatan. Saya membuat semua pilihan sendiri," katanya dalam sebuah wawancara sebagaimana dikutip oleh www.roleur.cc (26/7/21). "Saya sendiri yang membuat race plan: berapa karbohidrat yang saya butuhkan, berapa kebutuhan air, dan lain-lain. Jadi, sebenarnya saya  bukan tipe pesepeda yang hanya menginjak pedal, tapi saya juga semacam dalang di balik penampilan saya.” lanjutnya lagi. 

Demikianlah, sebelum Woman Cycling Road Race Olimpiade Tokyo  berlangsung pada Minggu 25 Juli 2021, tak ada yang membicarakan nama Anna Kiesenhofer. Ia dianggap amatir dan pemula, terutama di hadapan pemegang rekor dunia seperti Anna van der Breggen (Belanda) Elisa Longo Borghini (Italia) Lizzie Deignan (Inggris), Lisa Brennauer (Jerman) dan mantan juara dunia Annemiek van Vleuten (Belanda). Tapi siang itu, Kiesenhofer bersama Anna Plitcha (Polandia) dan Omer Saphira (Israel) berhasil mendahului peleton tempat para pemegang rekor  dunia itu berada. Tak lama kemudian peleton dapat mengejar  Anna Plitcha dan Omer Saphira, sementara Anna Kiesenhofer terus melaju, terus memacu dan melakukan solo breakaway sepanjang 40 Km, termasuk menaklukkan tanjakan Moushi Road sepanjang 4 km. Kiesenhofer yang merupakan seorang time trialist itu menahan kejaran  solo breakaway  dari Annemiek van Vleuten (Belanda) yang berakselerasi pada 51 km menuju finish. Tetapi Annemiek tak mampu mengejar keunggulan Kiesenhofer. Pembalap Belanda itu terhuyung-huyung pada  25 km yang tersisa. 

Janggalnya, setelah  mencapai finish di Fuji International Speedway, van Vleuten tampak melakukan selebrasi dengan mengangkat dua tangannya ke udara, seolah-olah ia telah memenangkan medali emas, padahal Anna Kiesenhofer sudah finish lebih dulu dengan keunggulan waktu 75 second. Total waktu tempuh Anna Kiesenhofer untuk jarak tempuh 136 km adalah 3 jam 52 menit 45 detik. "Saya tidak mengenalnya. Saya pikir, tidak mengenali seseorang bukan sebuah kesalahan. Saya kira saya finish di urutan pertama setelah mengejar pembalap Polandia dan Israel. Dan saya salah!" ungkap van Vleuten setelah  Anna Kiesenhofer dipastikan sebagai pemenang medali emas. Vleuten mengaku tidak tahu masih ada 1 pembalap lagi di depannya, hingga saat mencapai finish, ia merasa sudah menang. Poin pentingnya bukan pengakuan kebodohan sang juara dunia itu, tapi kejujuran bahwa ia sama sekali tidak mengenal finisher urutan pertama dari Austria bernama Anna Kiesenhofer. Sebagai penikmat olah raga sepeda, saya mendengar arogansi tersirat dari pengakuan yang ia sampaikan pada media setelah finish. Betapa tidak? Jangankan menganggap dosen matematika itu berpeluang menang sebagaimana pembalap-pembalap lain yang sedang membela bangsa mereka, mengenal siapa Anna Kiesenhofer pun sang juara dunia tersimak seolah-olah enggan atawa gengsi.  Sebab,  Anna Kiesenhofer memang bukan siapa-siapa, tak pernah dikutip media sebelumnya, dan apalagi difavoritkan untuk juara, seperti  van Vleuten dan nama-nama besar tim Belanda lainnya.

Apapun yang terjadi di tim Belanda, apapun respons mereka terhadap peristiwa yang terasa janggal hari Minggu itu, Anna Kiesenhofer telah tercatat sebagai "amatiran" yang berhasil mempersembahkan medali emas untuk bangsanya. Kiesenhofer adalah orang Austria pertama yang memenangkan medali emas bersepeda sejak kemenangan Adool Schmal pada Olimpiade Athena 1896, yang artinya juga adalah medali emas pertama untuk cabang bersepeda  bagi Austria sejak 125 tahun yang lalu, sekaligus  juga  medali emas pertama Austria dalam olahraga apa pun sejak 2004.

"Saya tidak perlu perhitungan matematika yang berat untuk bersiap memenangkan turnamen  ini. Namun dalam hitungan saya, hasil paling mungkin yang dapat saya peroleh hanya  berada di urutan ke-25," kata Kiesenhofer dalam sesi wawancaranya setelah finish. “Saya mengorbankan segalanya untuk posisi ke-25 itu." Tapi, apa yang terjadi pada hari yang telah membuat kakinya tak terasa sebagai kaki, dan peluh berkucuran tak henti-henti hingga membuat ia terkapar di atas aspal sambil menengadah ke langit Tokyo, rupanya telah melampaui perhitungan paling niscaya dari seorang doktor matematika. Siang  itu, matematika tubuhnya lebih pasti dari matematika akalnya. 

Congratulations to Dr Anna Kiesenhofer (M.A.St for Part III Maths in 2021) on her Olympic Gold Medal in the Women's Individual Road Race.  Well done Anna!

Demikian bunyi kalimat yang tertera dengan font ukuran besar di halaman utama situs resmi University of Cambridge sejak Minggu 25 Juli 2021. "Saya ingin terus menjalani kehidupan yang saya jalani," ungkap Kiesenhofer, yang tampak sudah tak sabar ingin lekas berkumpul kembali dengan  keluarganya di Austria, begitu juga dengan para mahasiswanya di University of Lausanne. "Akan sangat menyenangkan melihat mereka. Mereka tidak peduli apa yang menggantung di leher saya. Hanya saya yang mereka sukai. Saya, dan bukan peraih medali emas Olimpiade." Sekali lagi, pemenang medali emas Woman Cycling Road Race Olimpiade Tokyo 2021 itu merendah-rendah dari puncak tinggi menjulang yang baru saja ditapakinya. Sebagaimana disiplin matematika yang dikuasainya, tiada perlu banyak narasi, tapi kalkulasinya pasti, aksiomatik, tak terbantahkan. Kepastian yang didedahkan matematika, sejak zaman Plato dan Aristoteles hanya termaktub dalam angka-angka, tanpa harus diteriak-teriakkan dengan suara tinggi di pangkal toa. Kecerdasan matematik juga  jitu dan ampuh dengan sendirinya, tak perlu dikatrol oleh kefasihan berbahasa, sebagaimana kefasihan berbahasa para dosen pemburu indeks scopus di republik ini... 

Selamat datang, doktor Anna! Selamat datang sang juara...   


Damhuri Muhammad
Kolumnis

Comments

Popular Posts