Empat Ular dari Tanah Suci

Damhuri Muhammad


Dalam sebuah obrolan santai membincangkan tabi’at kepengarangan Gus Tf Sakai, dengan nada kelakar seorang teman pernah berkomentar: “Gus itu pengarang yang gemar ‘memelihara’ hewan melata”. Lalu, saya teringat cerpennya Ulat dalam Sepatu, juga Belatung. Bukan hewan melata seperti yang dipahami dalam literatur biologi, tetapi ulat dan belatung  metaforik. Ulat menujumkan laku bobrok, belatung mewakilkan mentalitas busuk. Jadi, yang dimaksudkan sebagai hewan-hewan melata itu adalah ulat, belatung dan semacamnya itu. “Mungkin suatu saat Gus bakal menulis tentang Ular,” sambung teman itu lagi. 


foto: @damhurimuhammad

Prediksi teman yang berlagak seperti peramal itu cukup jitu, hingga saya terperangah dibuatnya. Gus benar-benar menambah koleksi peliharaan hewan melatanya; Ular. Pada tahun 2005,  ia hadir lewat novel Ular Keempat. Simbolisasi ular dalam buku itu mengingatkan saya pada kisah tragis "ketercampakan" Adam dan Hawa dari Taman Firdaus akibat bujuk-goda Iblis yang (konon) hadir dalam wujud Ular. Sejak itulah Ular menjadi semacam lambang dari kebejatan Iblis. Dibujuknya Hawa untuk mencicipi ranum buah Khuldi dengan iming-iming kenikmatan tak terkira, hingga kelak menjadi asal mula petaka kesesatan manusia.   

Semula novel itu tampak hendak menyingkap fakta sejarah perihal kisruh perjalanan haji (1970) yang dianggap melanggar prosedur. Sekaligus memberi gambaran samar tentang bermulanya penyelenggaraan ibadah haji di bawah kendali (monopoli?) sebuah departemen di republik ini. Tapi, ternyata latar cerita itu hanyalah medium bagi eksplorasi lebih dalam. Dalam kerangka kisah ini, pengarang menghadirkan Janir, tokoh paling penting dalam buku itu. Seorang pengusaha rumah makan asal Padang yang sukses dan berjaya di perantauan. Juragan yang membawahi banyak anak semang. Sosok kehajian Janir tiba-tiba berubah menjadi problematis, sebab tak tegak pada  basis keimanan yang matang, tak berdiri di atas keikhlasan yang teruji. Meski telah menunaikan rukun Islam kelima itu untuk kali yang kedua, predikat kehajian Janir tetap menyisakan banyak tanya. Kegelisahan teologis yang dialaminya seumpama belitan Ular yang sewaktu-waktu bakal "mencotok" atau menancapkan bisa di tubuhnya.

Janir bagai tak  bisa membebaskan diri  dari kenangan masa silam sewaktu  masih di kampung. Ibadah haji tak ubahnya upacara pembai’atan derajat keberagamaan sebuah keluarga, martabat dari sebuah silsilah. Peran kehajian nyaris bergeser dari kepasrahan akan ridha Tuhan menjadi sayembara meraih harkat keberibadahan yang pantas disanjung, dipuja-puji. Mereka beribadah, hanya karena ibadah itu warisan turun temurun. Menyembah bukan semata-mata karena mesti menyembah. Menyembah karena akan meraih berkah-Nya. Berserah diri karena "diam-diam" berhasrat hendak "menjarah" rejeki dari-Nya.

Dalam situasi psikis yang sedang goyah itu, Janir memperoleh semacam "ilham" dari guru Muqri yang dijumpainya di tanah suci. Tak jelas siapa sesungguhnya orang itu. Boleh jadi ia benar-benar nyata atau halusinasi Janir belaka. Diceritakan, guru Muqri pernah berjanji pada kehajian Janir yang pertama, bila ia masih terpanggil berhaji untuk kali yang kedua, guru Muqri akan memberinya tiga cerita,  atau tiga kisah. Maka, janji pun ditepati. Kisah pertama bertutur tentang perburuan para hamba mengejar syafa’at malam kemuliaan, malam yang lebih baik dari seribu bulan, lailatul qadar. Berhari-hari, berminggu-minggu, mereka berpacu. Berburu. Serupa orang kesetanan, seperti orang kesurupan. Tak pernah mereka singgah. Ada halte ada stasiun, tetapi mereka terus. Ada kehidupan dan kematian, tetapi mereka ngebut di kesendirian. Berlomba. Saling mendahului. Beribadah demi sorga mereka sendiri. Ini dia Ular Pertama; Egoisme. Gigitannya tak merusak raga, tak pula menyakitkan. Tapi kebuasannya dapat mencabik-cabik jiwa, melunturkan keikhlasan. Setan yang nyata. Mungkinkah iman dapat tumbuh di atas tabi’at egoistik yang meluap-luap?

Saat wukuf di Arafah, Janir beroleh "wahyu" selanjutnya. Dua kisah lagi, sesuai janji si guru Muqri. Kisah ini menyindir potret peribadatan orang-orang kampung Janir, yang tak lebih karena keturunan mereka melakukannya. Itupun hanya untuk menggapai kehajian yang akan dibanggakan. Pembeda antara yang sudah bersorban, berkopiah putih dengan yang masih berpeci hitam, tanpa sorban. Janir pun lagi-lagi teringat masa kecil di kampung dulu. Ada debar pengajian, getar tadarus, beningnya suara azan buya Daruwih. Seolah-olah kenangan itu yang mendorongnya berhaji. Ya Allah, betulkah kenyataan ini: aku berhaji karena kenangan? Dalam kenangan itu terselip kebanggaan? Ini dia Ular Kedua; Kebanggaan. Riya’. Sum’ah. Takabbur. Gigitannya tak menghancurkan daging, tapi membinasakan keberpasrahan. Setan besar. Lebih besar dari Jumratul Aqabah, Wustha dan Ula.

Kisah terakhir yang diperoleh Janir berisi ramalan futuristik tentang silang-sengketa, pertikaian antarkelompok dalam memperebutkan kekuasaan. Ini mencengangkan. Guru Muqri terlihat amat paham khazanah Tambo. Seakan-akan riwayat itu bukan dari guru Muqri, tapi dari perenungan Janir sendiri. Dalam salah satu versi Kaba (sastra lisan Minangkabau) ditemukan cerita mengenai seluk-beluk permainan layang-layang. Anehnya, cerita layang-layang ini tak termaktub pada bab tentang permainan rakyat, tapi ditempatkan pada bab kepemimpinan. Apa hubungan layang-layang dengan masalah kepemimpinan? Negara diamsalkan serupa layang-layang putus tali, lalu orang-orang berhamburan mengejarnya dengan kayu galah di genggaman masing-masing. Sebelum layang-layang itu jatuh menyentuh tanah, kayu-kayu galah lantas menghadang. Menusuk, merenggut, seolah setiap orang berhak atas layang-layang itu. Mereka tak beroleh apa-apa selain bangkai si layang-layang. Patah-patah, remuk, hancur, cerai-berai. Begitulah negara. Semua orang merasa berhak memiliki. Bila satu kelompok gagal, kelompok lain juga tak boleh memiliki. Ini dia Ular Ketiga: Rakus. Tamak. Lalim. 

Bila para hamba Tuhan yang lain beroleh kemabruran dari tanah suci, Janir justru beroleh cenderamata; Binatang Melata. Tiga ekor ular dari guru Muqri. Sesampai di tanah air, ia beroleh seekor ular lagi; Ular Keempat. Janir pun berniat akan berhaji lagi tahun depan. Berlayar ke tanah suci lagi. Tak peduli anak-anak semang, tetangga-tetangga melarat, para fakir dan dhuafa. Janir bagai "ketagihan" digigit Ular. Dan, hendak menjemput gigitan Ular Kelima, Keenam, Ketujuh… 

            

Damhuri Muhammad
Cerpenis, Kolumnis

DATA BUKU

Judul :  Ular Keempat (novel)
Penulis :  Gus Tf Sakai
Penerbit:  Buku Kompas, Jakarta
Cetakan :  Pertama, Oktober 2005
Tebal :  196 halaman


*versi cetak dari artikel ini berupa resensi buku yang tersiar di harian Kompas, Januari 2006 dengan judul: Binatang Melata dalam Teks Sastra, dan telah menjadi bagian dari buku Darah-daging Sastra Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2010)   

     



Comments

Popular Posts