Begal Payudara (dari Merampas ke Meremas)
Damhuri Muhammad
Di
daerah tempat tinggal saya, Depok (Jawa Barat), ada seorang perempuan belia
yang giat berusaha. Atas modal sendiri, ia memproduksi makanan ringan kemasan
dengan merek Bikini, singkatan dari
Bihun Kekinian. Produk itu sempat menghebohkan pada awal Agustus 2016 lalu.
Bukan karena gurihnya rasa Bihun Kekinian itu, tapi karena kemasan plastik bergambar
Bra, warna biru dongker dengan motif bintik-bintik putih di dalam lingkar kedua
bulatannya. Di bagian bawah gambar itu tercantum sebuah kalimat pendek yang bernada
ajakan; remas aku. Seolah-olah objek
dari maklumat ajakan meremas itu adalah sepasang payudara yang tersembunyi di balik Bra biru dongker itu,
meski sebenarnya lebih tepat jika dipahami bahwa objeknya adalah bihun kering dalam
kemasan itu. Di masa kanak-kanak, saat jajan bihun kering, bukankah kita biasa
meremasnya terlebih dahulu, sebelum kemudian menyantapnya?
Kegemparan perihal Bihun Kekinian di
jagat medsos itu kemudian berbuntut panjang. Produsen Bikini dituding telah melakukan penyebarluasan content pornografi. Selain itu, produknya diklaim pula tidak punya
ijin edar, dan stempel halal di kemasan produk tersebut diduga palsu, alias
dicomot tanpa melalui sertifikasi Majlis Ulama Indonesia (MUI). Boleh jadi
pengusaha muda itu layak dipersalahkan, tapi berapa banyak content pornografi yang saban hari
bergentayangan di jalan raya, apalagi di dunia maya? Dan, seberapa banyak
sebenarnya produk-produk industri rumahan yang mengantongi ijin edar, apalagi
sertifikasi halal dari MUI? Saya tidak yakin BP-POM punya datanya!
Lagi pula, masa berjualan kripik kemasan yang dipasarkan ke warung-warung di
sekitar lingkungan mesti melapor juga pada negara? Kripik talas, kripik singkong,
kripik kulit, atau kripik jengkol rasanya tetap maknyus dan laris manis tanjung
kimpul tanpa ijin negara, tanpa stempel halal, juga. Di republik yang katanya
pro UMKM, begitu banyak soal remeh dan
sepele yang dijaga ketat atas dasar “tahyul” regulasi, sementara
perkara-perkara besar dan begitu serius malah tak terjangkau hukum. Sejak
produk-produknya disita BP-POM, dan pengusaha muda itu tentu mesti berurusan
dengan hukum, tak terdengar lagi kabar tentang Bihun Kekinian. Mungkin usaha
kecil-kecilan yang semula telah berkembang lumayan pesat itu sudah gulung
tikar. Meski begitu, saya berharap anak muda pemilik Bikini itu, tidak patah semangat, dan tetap melanjutkan usahanya.
Perkara merek kemasan yang bikin gaduh itu, tak usahlah dirisaukan. Ganti saja merek
bihunnya dengan Cikini alias Cinta Kekinian. Saya yakin negara dan
MUI akan merestuinya.
Tapi tak lama kemudian, lagi-lagi di Depok, daerah tempat
tinggal saya, muncul kembali kegemparan serupa. Kali ini tak ada kaitannya
dengan merek kemasan produk yang dikuatirkan bakal mengundang syahwat dan
memancing berahi, tapi tentang kejahatan yang lazim disebut dengan Begal. Dalam bahasa awam, aksi begal
biasa dipahami sebagai perbuatan merampas harta benda yang berlangsung di
tempat sepi yang jauh dari pengawasan orang banyak. Depok dikenal sebagai salah satu wilayah pingggiran
Jakarta yang rawan begal, utamanya begal sepeda motor. Kepolisian wilayah Depok
disebut-sebut cukup direpotkan oleh merajalelanya komplotan begal itu. Tak
tanggung-tanggung, bukan hanya motor dan harta benda yang dirampas, tapi sudah
banyak pula nyawa yang melayang.
Bukan begal motor itu yang sedang
jadi perhatian saya, tapi kejahatan baru yang kini sedang melanda wilayah
Depok; Begal Payudara. Sekilas
istilah itu mungkin terdengar ganjil. Kalau makna umum kata “begal” seperti
yang telah saya ungkapkan di atas, maka dalam
kasus Begal Payudara, tentu dapat diajukan pertanyaan; Apanya yang dibegal? Apanya yang dirampas? "Motifnya
hanya iseng. Yang bersangkutan melihat korban berjalan seorang diri dalam
situasi yang sepi. Pengakuannya dilakukan secara spontan," kata Kepala
Satreskrim Polres Kota Depok, Kompol Putu Kholis Aryana, sebagaimana dikutip www.viva.co.id (16/1/18). Keterangan itu
disiarkan setelah polisi berhasil membekuk pria pelaku Begal Payudara yang
beraksi di Gang Kuningan,
Margonda, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat. Pelaku berinisial ISL,
berusia 29 tahun, ditangkap Senin malam, 16 Januari 2018, di kediamannya di
Mekarsari, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
Peristiwa Begal
Payudara terulang kembali pada Minggu (15/7/18). Kali ini aksi meremas payudara
menimpa seorang mahasiswi Universitas Gunadarma berinisial ATN (20 ). Perempuan
berhijab itu mengaku, payudaranya diremas oleh seorang pengendara motor di Gang
Swadaya Dua, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, sebagaimana dilaporkan www.republika.co.id (17/7/18). Selain
kuliah, ATN bekerja sambilan dengan berjualan kue donat. Pagi itu, saat ia
berjalan di gang yang sempit, tiba-tiba ada seorang pengendara motor melintas
dari arah berlawanan. "Saya yang sedang membawa box berisi kue
donat mengalah dan berhenti untuk membiarkan pemotor itu lewat. Tiba-tiba
tangan kiri pemotor itu meremas payudara saya," tutur ATN di Mapolres
Depok.
ATN mengaku, ia
sempat melawan dan ingin lari. Tapi jalan sempit, dan ia tak bisa berbuat apa
apa selain membiarkan aksi peremasan itu berlangsung tanpa halangan yang
berarti. “Waktu mau kabur, dia memukul kepala saya, sambil mengancam, saya
bunuh kamu," papar ATN. Untunglah kemudian ada seorang ibu rumah tangga
keluar rumah hingga akhirnya pria tak dikenal tersebut kabur. Kejadian serupa
ternyata sudah berulang kali terjadi di TKP itu. Belakangan, Begal Payudara dilaporkan tidak
hanya terjadi di Depok, tapi juga marak di beberapa wilayah di Jakarta. Mengingat
makin maraknya aksi Begal Payudara,” pada Senin (30/7/18) Polresta Depok telah
menyebarluaskan sketsa wajah pelaku yang diolah dari kejadian terkini yang
kembali terulang di Kelapa Dua, Depok.
Dalam istilah
“Begal Payudara,” tak ada unsur perampasan uang, perhiasan, dan harta benda
lainnya. Sebagaimana pengakuan korban, aktivitasnya hanya “meremas,” dan bukan “merampas.”
Istilah itu kemudian mengingatkan saya pada istilah yang lazim dihubungkan
dengan aktivitas prostitusi, misalnya
“berjualan barang basah,” yang kira-kira bermakna “dagangan laku, tapi barang
tak berkurang.” Itu sama pengandaiannya dengan “Begal Payudara,” di mana perampasan
terjadi, tapi tak ada barang yang hilang, bahkan payudara itu sendiri tetap
utuh di tempatnya. Tanpa mengurangi empati pada korban, dalam aksi-aksi bejat
yang amat memalukan itu, saya lebih nyaman menggunakan istilah “Remas Payudara”
saja ketimbang “Begal Payudara.” Lebih empirik dan tidak terlalu menakutkan. Ngomong-ngomong soal remas, saya jadi ingat lagi plastik
kemasan Bihun Kekinian yang mencantumkan frasa Remas Aku! di bawah gambar yang dituding saru itu. Bila dalam kasus
Bihun Kekinian, yang diremas hanya bihun, maka dalam peristiwa-peristiwa “Begal
Payudara,” yang diremas betul-betul daging mentah itu.
Warga Depok dan
sekitar, atau sejawat-sejawat yang barangkan hendak singgah di kota pinggiran
Jakarta tempat tinggal saya itu, boleh jadi sudah aman dari kemasan Bihun
Kekinian, tiada perlu cemas lagi dengan keberingasan aksi Begal Motor, tapi
tetap mesti berhati-hati dari aksi Remas Payudara. Hindarilah keluar rumah
terlalu dini, dan gandenglah pacar atau teman laki-laki yang baik hati, bila
Anda hendak melintas di gang-gang senggol yang sedang sepi…
Damhuri Muhammad
Kolumnis
-->
Comments