DRAMATURGI ORANG-ORANG BERLARI
Damhuri Muhammad
Selepas melesatkan 2 gol ke gawang Portugal,
Edinson Cavani melangkah terengah-engah sambil menahan ngilu di kaki kirinya. Cristiano
Ronaldo yang berdiri tak jauh darinya, lekas merangkul dan memapah Cavani ke
pinggir lapangan. Peristiwa itu terjadi dalam laga Uruguay vs Portugal, babak 16
besar Piala Dunia 2018, Fisht Stadium, Sochi, Minggu (1/7/2018), menit 70 saat Uruguay
sudah unggul 2-1. Tak ada gol tercipta setelah itu, hingga Portugal harus angkat
koper lebih awal.
“Ronaldo
sedang mempertontonkan etos olahragawan sejati,” puji akun twitter resmi Sporting News.
Tapi dalam lalu lalang decak-kagum itu, muncul pula sinisme yang menimbang aksi
CR7 tak lebih dari upaya melipat waktu bagi prosesi keperihan Cavani, karena
Portugal sedang tergesa hendak menyamakan kedudukan. Aksi itu tak patut
dipandang sebagai moralitas seorang megabintang, sebab yang dilakukan CR7
adalah mempercepat Cavani ke luar lapangan, lalu laga lekas dilanjutkan. Begitu
komentar sebuah akun twitter dalam
tagar #URUPOR.
Demikianlah
wajah sepak bola. Dalam keindahan yang memabukkan, tumbuh pula sakwasangka yang
kerap mengundang cela. Gegap-gempita kemenangan yang dirayakan para pendukung
Prancis di sebuah Pos Kamling pinggiran Jakarta, berkelindan dengan duka para
pendukung Argentina setelah tim Tango takluk di bawah kuasa talenta muda asuhan
Didier Deschamps, Sabtu (30/6/18). Saat itu dunia bagai terbelah. Satu kepingan
penuh sesak oleh puja-puji bagi remaja 19 tahun, Kylian Mbappe, yang mampu menggetarkan
gawang Franco Armani, dua kali. Sementara kepingan yang lain, sarat oleh
umpatan kasar bagi Lionel Messi, yang sekali lagi masih gagal mengantarkan
bangsanya ke podium juara dunia.
Batas
antara terang dan kelam barangkali hanya setipis kulit bawang. Dalam 2 x 45
menit, bila beruntung, seorang pemain akan mendulang riuh tepuk tangan, lalu
media akan menobatkan sejumlah rekor. Bila sial, katakanlah tak sengaja
melakukan gol bunuh diri seperti dialami Andres Escobar, punggawa Timnas Kolombia
di Piala Dunia 1994, AS. Momen itu terjadi pada menit 34. Andres bermaksud
memotong umpan silang yang dilesatkan lawan. Alih-alih mematahkan serangan, kakinya malah mendorong bola masuk
ke gawang sendiri. Itulah keunggulan pertama bagi AS yang kemudian berakhir
dengan skor 2-1. Dalam hitungan hari selepas Timnas Kolombia pulang dini,
Andres sedikit rileks guna melupakan kekalahan pahit itu dengan mengunjungi
sebuah klub malam bersama beberapa temannya. Ia terlibat keributan kecil dengan
sekelompok orang yang mengolok-olok penampilan buruknya. Saat melangkah menuju
mobil, enam peluru bersarang di tubuh Andres. Di lapangan ia melakukan gol
bunuh diri, di dunia nyata nyawanya disudahi.
Mengenang tragedi berdarah di negara
yang hitam-putih dan maju-mundur sepak bolanya ditentukan oleh mafia semacam Pablo
Escobar, maka kegagalan eksekusi penalti Mateus
Uribe dan Carlos Bacca ke gawang Inggris 4 Juli 2018, membersitkan doa, agar
keduanya tak bernasib naas seperti Andres. Tapi, ancaman tiada terelakkan. “Matilah
Carlos Bacca. Kami tidak memerlukan kamu. Jangan kembali ke sini!” begitu
sebuah ancaman dimaklumatkan oleh pendukung Kolombia bernama David Castanedavia
via akun twitter-nya, sebagaimana
dikutip Aditya Gilang di www.eyesoccer.id
(5/7/18). Fanatikus Kolombia yang lain menulis; “Carlos Bacca, lebih
baik Anda bunuh diri. Jadi, Anda tidak perlu hidup dalam derita."
Sisi
kelam sepak bola digambarkan oleh Edinson Cavani dalam sebuah kolom reflektif
bertajuk Letter to My Younger Self,
yang tersiar di www.theplayerstribune.com
(29/6/18), satu hari sebelum ia memancangkan kemenangan Uruguay atas Portugal. Semacam
monumentasi ingatan masa kecil Cavani yang ia panggil dengan nama Pelado. Digilas
oleh kepayahan hidup keluarganya, berpindah-pindah rumah kontrakan, yang juga berarti kepindahan poster-poster pemain idola di
dinding kamarnya, jauh sebelum ia terlahir sebagai bintang. “Manakala kau telah
menjadi profesional, kau akan memiliki semua
yang dulu kau impikan. Untuk itu kau harus berterima kasih. Tapi aku harus
jujur padamu, Pelado. Hanya ada satu tempat di mana kau masih bisa punya kebebasan
penuh. Itu berlangsung sekitar 90 menit, jika kau beruntung!”
Cavani menukilkan
betapa ringkasnya waktu untuk menghirup kebebasan bagi seorang bintang. Di luar
90 menit, hidup Cavani sangat mekanik dan beku. Hotel, bus, tempat latihan. Dari
tempat latihan, naik bus, lalu terbang ke arena bertanding. Dari pesawat ke bus
lain, lalu sampai di stadion. Sekadar ke luar untuk menikmati sinar matahari,
bukan perkara gampang. “Dalam banyak hal, kau hidup dalam mimpi. Kau adalah
tawanan dari mimpi itu. Kau tak dapat melepas sepatu dan bermain di tanah.
Banyak hal akan membuat hidupmu sangat rumit, dan itu tak bisa dihindari.”
Barangkali itu
sebabnya, selepas bertanding, Garrincha (1933-1983), pemain legendaris Brasil
yang bersinar di Piala Dunia 1958 dan 1962, pergi menemui teman-temannya untuk
mabuk sampai pagi. Dalam buku Simulakra
Sepak Bola, kolumnis Zen RS (2016) mencatat, ketika Garrincha meninggal
dunia dalam kemiskinan, jenazahnya diarak
dan diratapi puluhan ribu orang di Rio de Janeiro. Mereka merasa telah
bergabung dalam tindakan sewenang-wenang membiarkan sang pahlawan mati dengan
cara amat menyedihkan.
Brasil adalah
mata air yang tak pernah kering. Bermain sepak bola bagi orang Brasil seperti
kebiasaan berkumur-kumur saban pagi. Telah meraih 5 kali juara Piala Dunia dan
melahirkan dewa-dewa sepak bola sejak Pele, Zico, Ronaldo, Ronaldinho, hingga
Neymar dan Coutinho, tapi hanya di Brasil pula kerap terjadi aksi bunuh diri
rakyatnya saat timnya tersingkir dari Piala Dunia. Sepak bola Brasil kian
berjaya, tapi Konfederasi Sepak
Bola Brasil (CBF) tak kunjung lepas dari cengkraman para cartolas (aristokrat bermental korup). Bintang-bintang Brasil memilih
hengkang dan merumput di klub-klub Eropa. "Saya tidak akan kembali ke
Brasil dengan tawaran berapa pun!" kata Ronaldo pada seorang reporter (1998),
sebagaimana dikutip Franklin Foer (2006) dalam buku Memahami Dunia Lewat Sepak Bola (diedisi-Indonesiakan oleh Marjin
Kiri dari How Soccer Explains the Wolrd;
The Unlikely Theory of Globalization, 2004).
Luca Modric,
Ivan Rakitic, dan Mario Mandzukic yang berhasil membawa Kroasia ke final Piala Dunia 2018,
tentulah belum lupa suasana di stadion tatkala Red Star Beograd (Serbia) berhadapan dengan Dinamo Zagreb (Kroasia). Fanatikus kedua kesebelasan itu berani
mati dan berani membunuh demi tim mereka. Sepak bola mengobarkan api kebencian
antaretnis. Holiganisme dibiarkan tumbuh, bahkan dibekali latihan militer, agar
para supporter piawai menghajar dan
membunuh. Fairplay yang
digembar-gemborkan tak mengeringkan lapangan dari busa hasil “main sabun"
antara tuan pemilik klub besar dengan oknum-oknum dalam asosiasi wasit. “Banyak
wasit Italia mengendarai Fiat,” kata Domenico Gramazio, politisi Italia, dalam sidang
parlemen pada 1998. Ia mengecam kemenangan Juventus atas Inter Milan yang
dianggap tak lazim karena petinggi Juve telah menyuap wasit.
Sepak bola
adalah sejenis dramaturgi dari orang-orang yang berlari selama 90 menit.
Baik-buruk, puji-cela, tak bersarang dalam bagan hierarkis dari atas ke bawah,
seperti etika dan agama. Sportifitas dijunjung tinggi, tapi rupa-rupa keculasan
guna merebut kemenangan tak mungkin diakhiri. Teknologi Video Asistant Referee (VAR) mungkin dapat menyingkapkan hal-hal
yang tak terjangkau mata wasit, tapi dramaturgi mustahil berhenti. Yel-yel kemenangan akan senantiasa
sahut-menyahut dengan ratap pilu kekalahan…
Damhuri Muhammad
kolumnis
Comments