Yang Menolak Jinak, Niscaya Akan Diterkam?
Damhuri Muhammad
Dalam duka dan linangan airmata, segenap
keluarga akhirnya merelakan kepergian Rizki Ahmat (19), anak muda penyuka
reptil, setelah dipatuk ular jenis King Cobra (ophiophagus hannah)
piaraan sendiri. Bermula dari atraksi yang ia pertontonkan di hari bebas
kendaraan (CFD), Bundaran Besar, Palangkaraya, Kalteng, Minggu (8/7/18).
Pertunjukan bermain dengan King Cobra itu sejatinya
berlangsung lancar dan beroleh tepuk tangan yang semarak. Tanpa rasa takut, Rizki
terus menerus memancing reaksi reptil yang memiliki bisa mematikan itu dengan
cara menginjak bagian tengah tubuhnya, hingga kepala King Cobra tegak dengan
mengembangkan semacam sayap di sisi kiri dan kanannya. Selepas itu, Rizki
mendekat perlahan-lahan, hingga jarak antara kepalanya dengan kepala ular itu
kurang dari satu jengkal. Lalu, Rizki mendaratkan sebuah ciuman tepat di kepala
King Cobra kesayangannya.
Seolah-olah ular itu sudah jinak dan
mengerti kemauan tuannya. Setelah pertunjukan usai, Rizki asyik mengobrol
dengan teman-temannya. Tak sengaja si Raja Cobra lepas dari kendalinya, lalu
mematuk lengan kanannya. Hanya dalam hitungan menit, Rizki merasa pusing dan segera
dilarikan ke RS Doris Sylvanus Palangkaraya. Menurut
keterangan dokter, awalnya korban tampak kuat,
namun setelah dilakukan perawatan beberapa jam kemudian, kondisinya memburuk. Setelah dirawat lebih kurang selama satu
hari satu malam, Rizki akhirnya mengembuskan napas terakhirnya.
Meski secara
medis telah dinyatakan meninggal dunia, pihak keluarga berkeyakinan Rizki masih hidup. Sebab, dari
kepala hingga dada Rizki masih terasa mengeluarkan hawa panas, meski dari bagian
perut ke bawah sudah dingin. Karena itu, mereka meyakini keberadaan ular itu
dapat menolong Rizki untuk bangkit dari mati suri. Ritual pun digelar. Jenazah
Rizki disatukan dengan ular yang mematuknya dalam sebuah kelambu transparan.
Menurut nujum seorang paranormal, bila King Cobra itu kembali mematuk badan
Rizki, bisa yang telah merasuk ke pembuluh darah korban akan terhisap, dan Rizki
akan hidup kembali. Namun, tiga hari ritual tak membuahkan hasil. Keluarga
akhirnya mengikhlaskan kematian itu. Jenazah Rizki dimakamkan, Kamis, 12 Juli 2018.
King Cobra yang telah merenggut
nyawa Rizki mengingatkan saya pada siasat Mayor Tua, seekor babi putih yang
secara cerdas mengumpulkan kawanan binatang di peternakan milik Tuan Manor, dalam
novel alegorik Animal Farm (1945)
karya George Orwell. Mayor Tua memaklumatkan, kemerdekaan kaum binatang akan tiba. Mereka tidak akan dieksploitasi
lagi. Sebagaimana sebelumnya, Tuan Manor mengeksploitasi tenaga, telur, susu,
bulu para binatang untuk keuntungan pribadinya. Bahkan, setelah mengabdi,
daging dan tubuh mereka akan tetap menjadi santapan manusia. Mayor Tua
mengobarkan semangat pemberontakan, meski tak lama kemudian ia mati. Dua babi
muda bernama Snowball dan Napoleon melanjutkan ajaran Mayor Tua. Mereka
mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia guna merencanakan pemberontakan. Hingga
tibalah kesempatan itu, para binatang bersatu untuk memberontak, dan mereka berhasil
mengusir Tuan Manor, si pemilik peternakan.
Meskipun
setelah berkuasa Snowball dan Napoleon pecah kongsi hingga kebebasan yang
didambakan kaum binatang itu tak kunjung terwujud, saya menggarisbawahi terma “eksploitasi”
yang erat kaitannya dengan sejarah hubungan manusia dan hewan. “Sepanjang
sejarah, hubungan manusia dan binatang adalah hubungan penaklukan, atau tepatnya
penjinakan dan domestikasi,” kata kolumnis Zen Hae (2018) dalam Sihir Binatang dan Hikayat Penaklukan, yang
tersiar di www.beritagar.id
(4/3/18). Binatang dijinakkan atau didomestikasi agar ia berguna bagi
manusia sebagai hewan penjaga, sumber makanan, sumber ekonomi atau sekadar objek
kesenangan.
Tapi,
sesayang-sayangnya manusia pada hewan piaraan, domestikasi tetap saja berpotensi
aniaya bagi hewan. Tengoklah misalnya, seorang kolektor ikan di Mojokerto, Jawa
Timur, yang secara sengaja melepaskan tak kurang dari 18 ekor ikan Arapaima di
Sungai Brantas, akhir Juni 2018. "Ikannya diangkut menggunakan
pikap, diberi terpal supaya bisa diberi air. Juga diberi tabung oksigen,"
kata Baihaqi, saksi mata pelepasan ikan itu sebagaimana dilaporkan detikcom,
Selasa (26/6/2018). Tak lama berselang, warga sekitar memburu ikan yang habitat
aslinya di Sungai Amazon, Amerika Selatan itu. Media riuh oleh protes dari
kalangan pencinta habitat sungai, karena disebut-sebut ikan yang berbobot 100 kg
dan panjang 3 meter itu bisa melahap 5-10 kg ikan-ikan kecil di sekitarnya.
Dengan begitu, pelepasan ikan monster tersebut sama saja dengan pemusnahan
besar-besaran terhadap ikan-ikan lokal di Sungai Brantas. Diduga kuat, kolektor
Arapaima tak sanggup lagi menghidupi piaraannya, hingga nekat melepasnya ke
habitat bebas.
Bila King Cobra di Palangkaraya
membunuh tuannya sendiri, Arapaima di Mojokerto memangsai ikan-ikan lokal di
Sungai Brantas. Dua riwayat penaklukan manusia terhadap hewan itu sama-sama
berakibat pada kematian. Saya hendak menimbang dua peristiwa itu sebagai alegori
dari hubungan antara penguasa dan objek yang dikuasai dalam realitas politik
masa kini. Sebut saja hubungan Presiden terpilih dengan para konstituennya
dalam Pilpres 2014. Mohon maaf, saya ingin membaca hubungan antara seorang
kandidat dengan jutaan konstituen yang telah mengantarkannya ke gerbang
kekuasaan, dengan pengamsalan hubungan seorang Tuan dengan hewan-hewan liar
yang berhasil dijinakkan, diberi asupan makanan yang memadai, dalam sebuah
sangkar yang nyaman. Sebagaimana lelaku seorang penyayang binatang, mula-mula
sang Tuan memberi perhatian penuh dengan sederet janji manis tentang kesejahteraan
penghuni sangkar di masa datang. Namun, seiring berjalannya waktu dan keasyikan
Tuan menikmati kekuasaan, perhatian itu perlahan-lahan berkurang, janji-janji
tentang kemakmuran dan kebahagiaan warga sangkar terabaikan.
Layanan yang diberikan Tuan semakin
jauh dari nilai-nilai perikebinatangan. Asupan makanan tidak lagi memadai
hingga sesama hewan piaraan tak jarang saling terkam untuk sekadar bertahan
hidup. Sangkar yang semula berlimpah makanan, kini dilanda paceklik hebat,
kumuh, tak terawat. Sejak itulah, kerumunan hewan mulai resah, dan meragukan
komitmen sang Tuan pada janji-janjinya, bahkan sudah banyak yang hilang
kepercayaan pada Tuan yang semula ramah dan dermawan. Bisik-bisik mulai
terdengar, musyawarah rahasia digelar, intrik-intrik direncanakan, yang
semuanya berujung pada ikhtiar guna membebaskan segenap warga sangkar dari
cengkraman kuasa Tuan. Mereka sepakat
untuk merebut kembali marwah keliaran yang dulu direnggut Tuan secara santun
dan lemah lembut. Bila perlu, keliaran itu kelak mereka gunakan untuk
meluluhlantakkan kuasa sang Tuan.
Sembari membayangkan alegori yang mengerikan
itu, jagat maya kembali diguncang oleh kabar tentang pembantaian 292 ekor buaya
yang terjadi pada Sabtu, 14 Juli 2018 lalu, di Sorong, Papua Barat, sebagaimana
dilansir detikcom (16/7/18). Massa membantai ratusan buaya setelah
seorang warga bernama Sugito tewas dicabik-cabik seekor buaya saat sedang
mencari rumput di sekitar area penangkaran. Dari 292 ekor buaya, dua ekor di
antaranya milik pemerintah dan 290 ekor lainnya adalah aset pemegang izin, PT
Mitra Lestari Abadi. Kebiadaban itu beroleh sorotan dunia. Media-media asing
ikut menyiarkan peristiwa itu. Majalah TIME menulis berita dengan judul Hundreds of Crocodiles Slaughtered in
Retaliation for Attack on a Villager in Indonesia, dan menggarisbawahi
bahwa polisi dan pejabat setempat tak berdaya menghentikan pembantaian buaya
tersebut. Al-Jazeera menampilkan foto pembantaian buaya yang dirilis dari
kantor berita Antara. Media itu menulis dengan judul Indonesia mob kills nearly 300 crocodiles in revenge attack. Para netizen, dalam dan luar negeri, tak
henti-henti menghujat aksi balas dendam manusia terhadap kebuasan kaum hewan
itu.
Kisah tragik yang ketiga ini juga
hendak saya perhatikan sebagai alegori dari kebuasan bangsa manusia terhadap
hewan piaraan yang semula dijinakkan demi kesenangan dan keuntungan. Tapi bila
kebuasan itu menjadi senjata makan tuan, manusia akan beralirupa menjadi
mahkluk yang jauh lebih buas. Alegori perihal kebuasan ini pernah muncul dalam
sebuah cerita pendek Eka Kurniawan berjudul Caronang
(2005). Berkisah tentang anak anjing dari negeri entah, yang konon bisa
berjalan dengan dua kaki. Dibawa pulang oleh pasangan keluarga muda dan
diinginkan sebagai teman bermain bagi anak semata wayang bernama Baby. Caronang
yang jinak diajari macam-macam aktivitas, mulai dari mengambil koran di
belakang pintu, mengambil sepatu di pagi hari, hingga cara mengokang senapan
berburu. Dari waktu ke waktu Caronang dewasa semakin matang, semakin handal
mengerjakan banyak hal di rumah keluarga Baby, bahkan mulai mahir berkelahi
dengan gadis kecil itu. Dalam sebuah perkelahian yang tak terhindarkan dengan
Baby, Caronang berhasil melepaskan tiga tembakan dari senapan berburu hingga
merenggut nyawa Baby. Tak ada yang bisa dilakukan oleh pasangan muda itu selain
menghabisi nyawa Caronang sebagai balas dendam atas pembunuhan keji terhadap putri
semata wayangnya.
Alegori Caronang kian mencemaskan saya.
Meski hewan-hewan piaraan berhasil merebut kembali martabat kebuasan mereka,
kuasa Tuan ternyata jauh lebih ganas. Bila ada warga sangkar yang meragukan
kemurahan hati Tuan, dan coba-coba melakukan perlawanan, Tuan tak akan segan
menghabisinya, sebagaimana kerumunan manusia menyembelih ratusan buaya
penangkaran di Sorong, Papua Barat. Atau seperti ayah-bunda gadis kecil Baby
yang secara keji menyudahi hidup Caronang, anjing piaraan mereka.
Sampai di sini, saya mulai membayangkan kontestasi politik Pilpres
2019, akan saling terkam, saling baku-hantam, saling menikam. Meski tak dapat saya
pastikan, apakah kerumunan hewan pembangkang akan berhasil mencabik-cabik kuasa
sang Tuan sebagaimana kawanan ikan monster menghabisi habitat ikan-ikan lokal di
Sungai Brantas, atau seperti bisa King Kobra merenggut nyawa tuannya sendiri. Kenyataan
sebaliknya juga mungkin terjadi. Sang Tuan, dengan kuasa di genggamannya, membinasakan
kebuasan yang menolak jinak. Jangan-jangan, kini Tuan telah menandai
pembangkang mana yang akan dimusnahkan lebih awal. Ah, mungkin saya hanya
sedang ngelantur, karena terlalu sering membaca berita-berita ngawur…
Damhuri Muhammad
Kolumnis
Comments