Dari Pasangan Vespa Cokelat ke Pasangan Jokowi-Mahfud MD
Damhuri Muhammad
Menimbang semakin tak terbendungnya rasa
penasaran pada sosok penting yang bakal dipinang Jokowi sebagai Cawapres dalam
kontestasi Pilpres 2019, di forum obrolan petang yang berlangsung di ruang
rapat kantor Copras-capres Institute, tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan yang
menggelisahkan. “Siapa yang paling menderita akibat rasa penasaran itu?”
Dilepaslandaskan oleh seorang anak muda yang konon masih belum tercatat sebagai
analis, lantaran ia masih berada dalam masa uji-coba alias magang.
Namun, karena pertanyaan itu
terbilang ganjil dan kedengarannya amat menantang, maka beberapa analisis
senior yang berada di situ berebut untuk segera menghadangnya dengan jawaban.
“Yang paling tersiksa tentu figur Cawapres dengan elektabilitas paling tinggi,”
kata seorang analis sambil menyebut sebuah nama. “Ngawur itu. Bagi saya,
yang paling menderita adalah media!” sela analis kedua, sambil mengajukan
macam-macam argumentasi. “Mohon ijin Bro, menurut gue, yang paling tersiksa
adalah Presiden Jokowi sendiri,” bantah analis ketiga, lagi-lagi dengan menyodorkan macam-macam pertimbangan.
Perihal
argumentasi teoretik dari ketiga analis senior Copras-capres Institute itu agaknya
tak perlu saya ungkapkan. Sebab, bagi saya, ketiga jawaban yang tergesa-gesa
itu salah, dan sama sekali tidak mencerminkan kehandalan analis pilih tanding. Figur-figur
Cawapres yang saban hari namanya bergentayangan di media mungkin hanya sedikit
repot atau katakanlah ge-er, tapi tidak akan sampai pada level tersiksa,
apalagi menderita akibat rasa penasaran itu. Presiden Jokowi barangkali sekadar
sibuk, atau katakanlah konsentrasinya lumayan terganggu, tapi pastilah tidak
tersiksa, apalagi menderita. Begitu juga dengan media. Mungkin hanya
kasak-kusuk, atau barangkali uring-uringan, jengkel tak berkesudahan, lantaran
terlalu lama menunggu cerita baru, tapi sekali lagi, tidak akan sampai pada maqam tersiksa, apalagi menderita!
Kalau
begitu, siapa yang paling menderita? Bagi saya, yang paling menderita adalah
para konsultan politik atau para analis seperti orang-orang yang berkhidmat di
Copras-capres Institute itu. Statistik popularitas dan elektabilitas yang
mereka ukur secara teliti dan presisi dari waktu ke waktu tak mungkin dapat
memastikan siapa Cawapres terpilih itu, sementara tenggat semakin dekat. Mereka
harus segera mendapatkan nama. Tuan Guru Bajang (TGB), Mahfud MD, Moeldoko,
Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, atau Sri Mulyani? Apa guna bersegera
memastikan nama? Karena mereka harus melakukan profiling sedetail mungkin, menyigi dan menggali dalam-dalam setiap
unsur keunggulan dari sosok terpilih itu, termasuk mencari setiap lekuk, celah,
atau bolong-bolong yang berpotensi menjadi sasaran tembak para haters, dan seterusnya dan seterusnya.
Bila
mereka berposisi sebagai Jokowi-lovers
alias kaum Cebong, maka
potensi-potensi keunggulan Cawapres mestilah segera diterjemahkan ke dalam
bahasa infografis, dimasukkan sebagai content
video pendek, dan menjadi materi utama dalam menyusun semacam strategi
komunikasi sebagai panduan bagi pasukan cyber-army
di jagat twitter, facebook, dan instagram. Sebaliknya, bila mereka
ditakdirkan sebagai Jokowi-haters
alias kaum Kampret, maka setiap angka
merah di rapor Cawapres terpilih akan segera muncul dalam daftar, dipreteli
satu persatu sesuai tingkat ketercelaannya, untuk kemudian dipilih sebagai
materi dalam memproduksi meme, video-parodi, dan tentu saja akan menjadi
amunisi bagi para haters sebelum
menabuh genderang twitwar.
Baik sebagai Cebong maupun sebagai Kampret, mereka juga sudah harus membuat
target-target yang terukur perihal berapa kali content-content itu harus mencapai trending-topic dalam seminggu, berapa kali harus viral dalam
sebulan, berapa kali harus menang voting
dalam tiga bulan. Selain itu, mereka juga
sudah harus menyusun strategi menyerang secara brutal bila sewaktu-waktu
popularitas jagoan sedang terancam, termasuk cara-cara bertahan bila
mendapatkan serangan membabibuta dari pihak lawan.
Tapi
bagaimana mengerjakan itu semua bila sampai hari ini Cawapres terpilih belum
juga diumumkan? Jokowi dan partai-partai pendukung tampaknya bersepakat akan
mengumumkan Cawapres pada hari terakhir pendaftaran atau sekitar 7 atau 8
Agustus 2018. Mereka bisa saja melakukan profiling
semua nama yang tercantum di bursa, tapi itu tidak mungkin. Selain menyita
banyak waktu, itu juga berarti pemborosan, sementara mereka belum tentu akan
menjadi klien. Untuk apa bersusah-susah memelihara 5 ekor, sementara yang akan
mendatangkan untung besar hanya 1 ekor? Kira-kira begitulah pengandaiannya bila
menggunakan alegori politik pasar ternak.
Maka,
supaya mereka tidak terlalu menderita, saya ingin memunculkan sebuah nama. Bila
nama itu kelak tidak terpilih, setidaknya saya sudah menyuguhkan sebuah hiburan
ringan di masa payah, tanpa imbalan apa-apa, tanpa berharap dipekerjakan sebagai
analis Copras-capres Institute, juga. Nama itu adalah Mahfud MD. Kenapa Mahfud
MD? Alasannya sederhana, karena Mahfud MD telah berhasil menaklukkan hati
Megawati. Saya tidak perlu menjelaskan siapa Megawati, karena kalau para analis
senior itu masih gagap dalam memahami sosok Megawati dalam konstelasi politik
menjelang Pilpres 2019, lebih baik bubarkan saja lembaga Copras-capres
Institute itu, atau alihkan menjadi perusahaan yang menjual jasa kepengurusan
Paspor dan Surat Keterangan Berkelakuan Baik.
Lalu, bagaimana cara Mahfud
MD menaklukkan hati Megawati? Saya akan berkisah tentang romantika tak biasa
Mahfud MD dengan seorang perempuan bernama Zaziatun Nihayati yang terjadi pada
tahun 1980-an. Dalam hal kisah ini, saya akan berhutang banyak pada buku Biografi Mahfud MD, Terus Mengalir
(2013) karya Rita Triana Budiarti, wartawati senior, yang kebetulan juga
sahabat karib saya. “Saya tidak pernah merasakan berpacaran dalam arti saling
mencurahkan hati. Paling dari jauh saja melihat kalau ada orang cantik,” kata
Mahfud, sebagaimana dikutip Rita dalam bukunya.
Begitulah Mahfud MD.
Jangankan berduaan dengan perempuan yang bukan muhrimnya, membonceng adik
perempuannya saja, Mahfud sudah risih bukan main. Kalau mereka terpaksa pergi
bersepeda bersama, Mahfud akan mengayuh sepeda sambil menunduk. Ia juga meminta
adiknya Ina menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. “Nanti kamu dikira pacar
saya,” kata Ina menirukan ucapan kakaknya masa itu. Sejak kecil Mahfud
dibesarkan oleh keluarga santri, yang dalam perkara pergaulan dengan perempuan bukan
muhrim aturan sangat tegas; tidak boleh. Tapi kepolosan itulah yang kemudian
membuat perjumpaan mula-mulanya dengan Yatie (nama kecil Zaziatun Nihayati)
menjadi seksi untuk ditelusuri.
Masa itu Mahfud sedang
mengikuti pelatihan kepemimpinan tingkat lanjut, setelah ia dipercaya sebagai
Ketua Departemen Dakwah HMI Komisariat Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Tiba-tiba muncul seorang peserta yang bukan pengurus. “Lho, ini siapa?” tanya
Mahfud. Rupanya karena terbilang mahasiswi cantik, ia disuruh ikut oleh panitia
yang lain. Padahal, kalau belum ikut basic
training (batra), ia tak boleh jadi pengurus. Tapi, senior-senior bilang,
“Tidak apa-apa, nanti batranya menyusul. Mumpung ada yang mau ikut.” Itulah
gadis bernama Yatie, mahasiswi kelahiran Jember, Jawa Timur, 1959. Berasal dari
keluarga santri yang terbilang berada. Mahfud dan teman-temannya masih naik
angkutan umum, Yatie sudah punya Vespa. Dari Vespa cokelat itulah kisah cinta
ini bermula. Dalam urusan mengantarkan surat, Mahfud sering mengendarai Vespa
coklat itu dan Yatie selalu berada di jok belakangnya, hingga mereka beroleh
julukan; pasangan Vespa cokelat.
Perboncengan demi perboncengan
di Vespa cokelat membuat Mahfud baper,
dan merasa dekat dengan Yatie. Itu pula yang membuat ia berani mengunjungi
tempat kos Yatie. “Lalu, saya menjadi rindu,” kata Mahfud sambil tertawa. Tapi
anehnya, setiap kali berkunjung, Mahfud tidak mengungkapkan apa-apa. Ia hanya
duduk-diam, sambil membaca buku. “Kalau kamu senang sama saya, bilang sama
orang tua saya,” kata Yatie yang akhirnya tidak tahan dengan aksi diam Mahfud.
“Kamu senang nggak sama saya?” ulang Yatie lagi. Tapi Mahfud tetap tidak
mengungkapkan perasaannya, hingga Yatie berkesimpulan sendiri. “Dia ke rumah
terus. Wajahnya juga tulus,” kata Yatie, dan ia menerima Mahfud. Tak lama
kemudian, Mahfud dan Yatie menikah, tepatnya 2 Oktober 1982. Zaziatun Nihayati
adalah cinta pertama dan terakhir Mahfud.
“Jurus” diam inilah yang
digunakan Mahfud untuk menaklukkan hati Megawati. Tentu tidak dalam arti
sebagai pasangan Vespa cokelat dengan Yatie, tapi sebagai upaya paling
tersembunyi untuk mendapatkan restu politik. Masih ingat heboh-heboh soal gaji
jumbo Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) akhir Mei 2018
lalu? Sebagai ketua Dewan Pengarah BPIP, Megawati diserang habis-habisan
lantaran nominal gajinya lebih dari 100 juta, atau lebih tinggi dari gaji Presiden.
Oleh karena Mahfud terbilang aktif di twitter
dengan followers lebih dari 2 juta
orang, dan kebetulan pula ia salah satu anggota Dewan Pengarah BPIP, maka Mahfudlah
yang menjadi sasaran tembak. Heboh-heboh itu bukan perkara yang besar bagi
seorang Mahfud. Alih-alih bungkam, ia
malah lantang bersuara menghadapi serangan yang datang bertubi-tubi.
Mahfud MD tampil bak juru
bicara BPIP, menyampaikan bermacam-macam penjelasan perihal kenapa Megawati dan
8 anggota Dewan Pengarah BPIP lainnya tertulis akan menerima gaji setinggi itu.
Ia menjawab semua pertanyaan, ia bantah semua tudingan, bahkan Mahfud sampai
bersitegang dengan petinggi Parpol tertentu karena menurutnya tudingan petinggi
itu sudah keterlaluan. Saya tidak yakin, aksi heroik yang cukup melelahkan itu
dilakukan Mahfud setelah ia berkomunikasi terlebih dahulu dengan Megawati, tapi
patut saya duga, Mahfud sengaja “pasang badan” dalam kemelut itu sebagai bentuk
penghormatannya pada Megawati.
Tak mungkin rasanya negarawan
sekelas Megawati melakukan klarifikasi di media dalam perkara gaji jumbo. Maka,
Mahfud berinisiatif mengambil-alih peran tersebut tanpa diminta. Ia menggelar
konfrensi pers, dan terus-menerus meladeni kenyinyiran netizen hingga akhirnya kasus itu mereda dengan sendirinya.
Megawati pasti mengamati aksi Mahfud itu, dan petinggi PDI-P itu pun dapat
memahami, begitulah cara Mahfud membela dan melindungi orang yang sangat dihormatinya.
Mahfud MD dan Megawati saling diam, tapi perasaan keduanya tetap bekerja. Bila
saling diam antara Mahfud dan Yatie kemudian membuahkan pasangan Vespa cokelat,
maka saling diam antara Mahfud dan Megawati, besar kemungkinan akan membuahkan
pasangan Jokowi-Mahfud MD di Pilpres 2019
Lagi pula, hubungan baik
antara Mahfud dan Megawati bukanlah kedekatan yang berlangsung kemarin sore.
Setelah dilantik sebagai Menteri Pertahanan RI pada 23 Agustus 2000, Mahfud dilanda
keresahan lantaran ketidakhadiran Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri saat
Presiden Gus Dur mengumumkan reshuffle
kabinet itu. Beredar kabar bahwa Gus Dur bersikap emosional ketika Mega
mempertanyakan nama Prijadi Prapto Suhardjo yang akan dilantik sebagai Menteri
Keuangan, dan Mahfud MD sebagai Menteri
Pertahanan. Selain itu, kritik pedas pun berdatangan. Tak tanggung-tanggung,
Amien Rais secara terang-terangan menegaskan bahwa pilihan Gus Dur atas Mahfud
MD sebagai Menhan adalah sebuah degradasi. Sebab, menteri yang digantikan
Mahfud MD adalah Prof. Juwono Sudarsono, guru besar Hubungan Internasional,
sementara Mahfud MD adalah guru besar ilmu hukum yang tak memiliki rekam jejak politik. “Mahfud sedang menggali kuburnya
sendiri,” kata Afan Gaffar, guru dan sahabat Mahfud sendiri.
Adapun yang paling mengganjal
di pikiran Mahfud waktu itu adalah soal hubungannya yang tidak terlalu baik
dengan Wapres Megawati. Oleh karena itu, ia ingin segera hubungan tersebut
menjadi cair hingga ia dapat bekerja dengan leluasa. “Ya sudahlah Dik, nanti
ketemulah dengan Mbak Mega,” kata Taufiq Kiemas (alm) suami Megawati yang ia
jumpai dengan perantaraan seorang sahabat. Pertemuan yang hangat itu membuat
Mahfud berbesar hati. Sambutan Taufiq Kiemas sangat bersahabat. Setelah
pertemuan itu Taufiq Kiemas bahkan menghubungi
Mahfud via telepon. “Dik, saya mau kirim tukang jahit ya. Mau nggak ya?” kata
Taufiq. Mahfud tak menolak. “Kasihanlah. Masak Menteri Pertahanan jasnya tidak
bagus begitu,” kata Taufiq lagi.
Lalu, tibalah saatnya
perjumpaan dengan Megawati. Berlangsung di Istana Wapres karena waktu itu
Mahfud hendak melaporkan kesiapannya untuk menerima kedatangan Menhan AS Wiliam
Cohen. Rupanya Megawati juga memanfaatkan kesempatan itu untuk menjelaskan
sikapnya tentang pengangkatan Mahfud sebagai Menhan. “Pak Mahfud, saya tidak
pernah menolak Anda sebagai Menhan dan Prijadi sebagai Menteri Keuangan. Waktu
itu saya hanya bertanya kepada Mas Dur, Mahfud
dan Prijadi ini siapa? Saya tidak kenal, nanti Mas Dur angkat diganti lagi.
Begitu saja. Kan Mas Dur sukanya ganti-ganti begitu,” kata Megawati.
“Saya sudah kenal dua orang
ini sejak 16 tahun lalu. Orang ini baik,” kata Mega menirukan jawaban Gus Dur.
“Kalau Mas Dur sudah kenal baik ya sudah, saya setuju,” jelas Mega lagi kepada
Mahfud. Dengan begitu, maka tidak ada lagi persoalan antara Mahfud dengan Mega.
Hingga masa pemerintahan Gus Dur berakhir, hubungan Mahfud dan Megawati mulus-mulus
saja, dan hingga kini Mahfud sangat menghormati Presiden RI ke-5 itu.
Di saat iklim politik di
tanah air sedang memanas lantaran tuntutan mundur pada Gus Dur, Mahfud minta
ijin kepada Presiden atas rencana keberangkatannya ke India guna
menindaklanjuti MoU dengan Menhan India. Gus Dur telah memberikan lampu hijau,
tapi karena cuaca politik sedang tidak normal, lagi-lagi atas dasar
penghormatan, Mahfud juga menghadap Wapres. Megawati meminta keberangkatan ke
India ditunda hingga situasi reda. “Saya
sendiri akan ke India. Nanti Pak Mahfud ikut rombongan saya saja,” kata
Megawati. Mahfud mengikuti saran Wapres, dan sekali lagi baginya, sikap Mega
itu mengonfirmasi bahwa Megawati tidak punya persoalan pribadi dengannya. Mega
minta keberangkatannya ditunda bukan karena ia tak suka Mahfud, tapi karena ia
menjanjikan untuk ikut dengan rombongan Wapres.
Persentuhan terakhir Megawati
dan Mahfud MD dalam relasi bawahan-atasan, terjadi setelah pemerintah Gus Dur
jatuh pada 23 Juli 2001 dan kabinet dinyatakan demisioner. Waktu itu terjadi
peristiwa perkelahian dan kebakaran di LP Cipinang, dan Mahfud baru saja
dilantik sebagai Menteri Kehakiman dan HAM. Dalam insiden tersebut, seorang
saksi kunci kasus Tommy Soeharto meninggal dunia di dalam Lapas. “Saya ini
sekarang menteri demisioner, tapi saya kan tidak boleh diam melihat seperti
ini. Apa yang terjadi di sana?” tanya Mahfud pada Sekjen Depkeh. Lalu diperoleh
informasi bahwa ternyata Kalapas Cipinang itu sudah 2 tahun sakit karena
serangan stroke. Ia tidak bisa bekerja efektif hingga Lapas Cipinang tak ada
yang mengendalikan.
Mahfud memberanikan diri
membuat kebijakan darurat, mengganti Kalapas Cipinang, meski ia berstatus sebagai
menteri demisioner. Lagi-lagi atas
dasar penghormatannya pada Presiden Megawati, Mahfud MD menulis surat yang
menyatakan bahwa ia menyadari posisinya sebagai menteri demisioner, yang tidak
boleh melakukan langkah-langkah strategis, termasuk mengganti pejabat. Tetapi
LP Cipinang membutuhkan tindakan cepat, karena itu ia mengganti Kalapas. Mahfud
meminta maaf kepada Presiden, dan tampaknya Megawati tidak mempermasalahkan
tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh Mahfud.
Uraian serba singkat ini
hanya secuil dari sekian banyak cerita tentang Mahfud MD. Sedalam apa
penguasaannya dalam disiplin politik hukum dan hukum tata negara?
Gagasan-gagasan substantif apa yang telah ia dedahkan sebagai guru besar hukum
tata negara? Bagaimana aksi-aksi beraninya selama menjabat sebagai Menhan?
Setinggi apa loyalitasnya kepada Gus Dur, terutama setelah Gus Dur jatuh? Upaya-upaya
hukum apa yang ditempuhnya untuk merebut kembali Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) dari kubu Matori Abdul Jalil? Setangguh apa ia dapat bertahan dari godaan
uang, apartemen mewah, dan tanah ribuan
hektar selama menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 2008-2013? Sedramatik
apa polemiknya dengan Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan Mensesneg Sudi Silalahi
di era SBY? Seakrab apa hubungannya
dengan Luhut B Pandjaitan? Bagaimana ia membantah tudingan soal deal-deal
politik dengan Aburizal Bakrie menjelang Pilpres 2014? Kepada sejawat-sejawat analis
di Copras-capres Institute, saya sarankan untuk menggalinya dari buku Biografi Mahfud MD; Terus Mengalir,
karya Rita Triana Budiarti.
Bila Anda ditakdirkan sebagai
Kampreters, jangan kuatir, tumpukan cerita menarik tentang Mahfud MD yang
termaktub dalam buku setebal 614 halaman itu tak hanya menyuguhkan informasi
tentang ketokohan dan intelektualitas Mahfud MD, tapi juga menampilkan sosok
ayah tiga anak itu sebagai manusia biasa,
yang tentu tak lepas dari berbagai kekurangan. Selamat berkelana kawan-kawan Cebongers dan Kampreters. Membacalah, dan menderitalah…
Damhuri Muhammad
kolumnis
Comments