Suara Samar di Luar Pagar
Damhuri
Muhammad
Hanya
berjarak sepelemparan batu dari Musholla kecil tempat warga perkampungan kami
saban hari shalat berjamaah, ada satu rumah yang terbilang mewah. Setidaknya
menurut ukuran kami, yang sehari-hari hidup pas-pasan
dan ngos-ngosan. Disebut
perkampungan, karena permukiman itu bukan kompleks perumahan. Tak ada portal
yang dapat dibuka-tutup demi keamanan, tak ada petugas sekuriti, tak ada pula
aturan tamu-wajib-lapor bagi yang
singgah ke perkampungan kami. Maka, perkara keamanan lingkungan kami percayakan
pada tetangga-tetangga terdekat. Saling menjaga, saling percaya.
Di area permukiman yang terbuka itulah rumah mewah tersebut
menjadi obrolan di antara kami, jamaah Musholla kecil di pinggiran kota
metropolitan Jakarta ini. Betapa tidak? Pagarnya begitu tinggi. Lebih separuh
dari tinggi pintu utamanya, sehingga berandanya nyaris tak terlihat. Bagi kami,
rumah itu lebih tampak sebagai rumah tahanan (rutan) ketimbang ruang yang
lapang tempat bernaung. Tapi, perbincangan kami jauh dari keusilan, apalagi
kedengkian. Kami, orang-orang di luar pagar, hanya ingin memastikan apakah tuan-tuan
yang di dalam aman. Selain itu, kami juga ingin tahu bagaimana caranya membantu
tuan rumah, jika sekali waktu penghuninya berada dalam situasi genting. Dilanda
serangan jantung tengah malam, kemalingan, kebakaran, atau bahkan kematian.
Setidaknya kami mesti tahu pintu masuk, pintu keluar, atau mungkin ada
pintu-pintu rahasia yang memudahkan upaya penyelamatan.
Dalam suasana itu, berselang tiga hari kemudian, beberapa
orang sejawat sesama jamaah Musholla, mengeluhkan ajakan bergabung di sebuah
kelompok percakapan digital alias WhatsApp
Group (WAG) dengan nama #2019GantiPresiden, yang berhamburan ke nomor
ponsel mereka. Lantaran penghidupan
yang makin payah, mereka sedang berhemat paket data internet. Bila terlalu
sering terlibat dalam percakapan kelompok itu, nyawa untuk berselancar di
belantara maya bakal melayang sebelum ajalnya tiba. Namun, karena ajakan itu
tak sekali-dua, dan datang dari sejawat yang berbeda-beda, mereka sungkan untuk
keluar (left) atau melarikan diri diam-diam.
Celakanya, setelah mereka cukup rileks berada di satu grup percakapan, esoknya
datang lagi ajakan baru dari teman yang lain, padahal nama kelompok yang tertera
tetap; #2019GantiPresiden.
Rasa heran para sejawat saya tak berhenti di situ. Seiring
dengan ramainya percakapan di ponsel dengan kekuatan memori penyimpan data yang
tak seberapa, media daring tiba-tiba
riuh berkabar soal “tanda pagar” (tagar) #2019GantiPresiden itu. Sesuai dengan
namanya, tanda pagar adalah sebuah tanda yang digunakan dalam lalu lalang
percakapan di media sosial--terutama
twitter dan instagram--yang
berfungsi untuk memagari sebuah topik percakapan, agar tak berserakan ke
mana-mana, dan memudahkan kita untuk mencari topik tersebut dalam waktu cepat.
Sederhananya, dengan tanda pagar, sistem interaksi dunia digital menghimpun
setiap topik obrolan dalam sebuah pagar, hingga siapapun yang kemudian
membutuhkan informasinya, tinggal membuka pagar itu, lalu semua percakapan akan
tampil di layar ponsel.
Media sosial juga tak kalah getol membincangkan tagar itu.
Dalam pantauan Astramaya, sebuah lembaga riset media sosial berbasis Social Network Analysis (SNA), yang
bermarkas di Depok (Jawa Barat), sejak 3 Maret hingga 10 Mei 2018, jumlah
percakapan yang dihimpun oleh #2019GantiPresiden di twitter
telah mencapai angka 966.257 kali. Adapun yang menarik dari penemuan Astramaya
adalah dinamika peningkatan jumlah perbincangan dari hari ke hari, yang kemudian
dapat memperlihatkan konsistensi dari topik obrolan #2019GantiPresiden.
Dalam rentang waktu 3-25 Maret 2018, jumlahnya hanya 4
percakapan setiap hari dengan respons yang tidak signifikan. Namun, pada 29
Maret 2018, jumlah percakapan melonjak tajam, hingga mencapai 3000-an kali.
Lalu, pada 5 April 2018, setelah Mardani Ali Sera--salah
satu Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS)--membagi-bagikan
gelang dengan tulisan #2019GantiPresiden di sebuah forum talkshow politik yang digelar stasiun televisi swasta di Jakarta,
jumlah percakapan menanjak 9000-an kali. Sampai di titik ini, maraknya
perbincangan netizen tentang topik
itu, tak sekadar mengudara di dunia maya, tapi sudah mendarat di dunia nyata,
dalam bentuk produksi kaos oblong dengan sablonan bertajuk; #2019GantiPresiden.
Disebut-sebut, kaos oblong itu telah tersebar secara massif di berbagai wilayah
di Indonesia, sebagaimana dibuktikan oleh netizen
dengan unggahan foto-foto di linimasa twitter.
Tak tanggung-tanggung, Presiden Joko Widodo kemudian
menanggapi riuhnya perbincangan itu. "Masa kaos bisa ganti presiden? Yang
bisa ganti presiden itu rakyat, kalau rakyat mau, ya bisa ganti. Kedua, restu
dari Allah. Masa pakai kaos itu bisa ganti presiden, enggak,” kata Jokowi di
forum relawan bertajuk Konvensi Nasional Galang Kemajuan 2018, Bogor, Jawa
Barat, 7 April 2018, sebagaimana dikabarkan oleh www.tirto.id (11/4/18). Menurut pantauan
udara Astramaya, pada 8 April 2018, jumlah percakapan netizen dalam #2019GantiPresiden melejit ke angka 40.000 kali.
Sejak itu, dalam rentang waktu 9-28 April 2018 atau selama lebih kurang 20
hari, intensitas perbincangannya konsisten dalam angka 13.000 s.d 39.000
percakapan setiap hari. Semakin ditanggapi, semangat netizen
bukan meredup, tapi malah makin gencar.
Puncak pencapaian netizen
tampak pada 29 April 2018 yang bertepatan dengan aktivitas Car Free Day (CFD) di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Para
pesertanya secara serentak menggunakan kaos bersablon #2019GantiPresiden, dalam
berbagai pilihan warna. Jumlah perbincangan pada hari itu mencapai angka
93.000, dan tampil sebagai trending topic.
Produk material turunan dari tagar tersebut bukan sekadar kaos oblong, tapi
juga diproduksi dalam bentuk merchandise
seperti stiker, mug, topi, dan payung. Banyak pedagang mengaku telah meraup
untung besar dari penjualan pernak-pernik berisi tulisan #2019GantiPresiden
itu.
Seiring dengan keramaian itu bermunculan pula tagar
penyeimbang antara lain #2019TetapJokowi, #Jokowi2Periode, dan #T3tapJokowi. Menurut
pantauan Astramaya, dalam rentang waktu yang sama, #2019TetapJokowi hanya
beroleh angka percakapan sebesar 59.446, #Jokowi2Periode sebesar 33.587, dan
#T3tapJokowi 9.362. Ada dugaan, maraknya tagar #2019GantiPresiden tak lebih
dari aktivitas akun-akun robot yang bila sudah kehabisan amunisi akan reda
dengan sendirinya. Tapi, melihat jumlah perbincangan yang terus meningkat dan
kualitas obrolan yang konsisten hingga hari ini, mustahil bila hanya
digencarkan oleh kerumunan buzzer
berbayar.
Kembali pada obrolan kecil bersama jamaah Musholla di
permukiman tempat tinggal saya, perihal rumah berpagar tinggi tadi. Tak ada
aturan yang kami langgar dalam obrolan itu. Kami tak berniat mengusir tuan
rumah dari lingkungan kami. Oleh karena rumah itu saban hari tertutup rapat
oleh pagar, kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di dalam. Sepanjang tuan yang
di dalam tak berkenan menyingkap pagarnya, mungkin kami akan terus membicarakannya.
Membuat suara samar di luar pagar.
Demikian pula netizen
yang membuat tagar #2019GantiPresiden guna menghimpun setiap rinci obrolan
mereka. Semacam suara-suara samar di luar pagar kekuasaan. Sekadar ingin tahu
apa sebenarnya yang dilakukan presiden bersama orang-orangnya di ruang lapang
istana. Sungguh bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, atau malah
sedang kekenyangan akibat keberlimpahan fasilitas negara.
Damhuri Muhammad
kolumnis
Comments