Harga Jengkol di Republik Congor
Damhuri Muhammad
Satu hari menjelang dibukanya pendaftaran
Capres-cawapres 2019, di Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, harga Jengkol dilaporkan menembus angka Rp.100.000/kg.
Sebagaimana dikabarkan detik.com (3/8/2018), harga Jengkol yang melejit itu
hampir mendekati harga daging sapi. Berdasarkan data Infopangan Jakarta,
harga rata-rata daging sapi murni (semur) Rp 117.024/kg, sedangkan rata-rata
harga daging sapi has (paha) Rp 123.500/kg. Bukan hanya di Jakarta, Jengkol
juga langka di sebagian besar wilayah Jawa Barat. Di Bogor, harga Jengkol dibandrol
60.000/kg, sementara harga sebelumnya hanya Rp 20.000/kg.
"Sudah 2 bulan ini harganya
terpatok di angka Rp 70.000/kg. Harga normalnya mah biasanya cuma Rp
40.000/kg," kata Alex, pedagang Jengkol
di Pasar Baru Bekasi, Bekasi Timur, Kota Bekasi (Jawa Barat),
sebagaimana dikutip kompas.com (18/7/2018). Alex mengaku, omsetnya menurun
drastis. Ia menjelaskan, jika harga normal peminat Jengkol sangat banyak, tapi saat
harga melonjak seperti ini, ia sepi pembeli. “Yang berani beli, barangkali hanya
orang-orang yang gila Jengkol,” kata Alex berkelakar. Kabar perihal kelangkaan
Jengkol bukan hanya datang dari Jakarta, Jawa Barat, tapi Jengkol juga menjadi
perbincangan di beberapa pasar di Jawa Tengah dan sekitarnya.
Siapa yang tidak doyan Jengkol?
Semur Jengkol, Gulai Jengkol, Jengkol Balado, atau Kripik Jengkol adalah
hidangan yang hampir menjadi legenda. Rasanya begitu ajaib. Buah yang mentahnya
begitu keras, jika dimasak dengan tingkat kepiawaian tertentu, dapat berubah menjadi
semacam rasa daging, dan menurut para penggilanya, lebih lezat dari daging
ayam. Rasanya khas, meski hanya diracik dengan bumbu-bumbu ala kampung. Bila
dengan menu-menu biasa, kita hanya menghabiskan sepiring nasi, dengan
Jengkol Balado khas Padang, atau Semur Jengkol khas Betawi, kita akan menyesal bila tidak menambah
sepiring nasi lagi. Selepas melahap 2 piring ukuran jumbo dengan menu Jengkol,
sekujur tubuh akan basah peluh. Kita butuh waktu untuk menyandarkan
punggung sambil berselonjor kaki sejenak, untuk meredakan kekenyangan.
Bagi orang-orang tertentu, Jengkol
boleh jadi bukan menu yang rutin dikonsumsi, tapi paling tidak, seminggu sekali
Jengkol pasti terhidang di meja makan. Biasanya diperlakukan sebagai pemicu
selera. “Peduli setan dengan aroma kamar mandi setelah itu,” kata seorang
sahabat penggemar Jengkol. Jangan kuatir, kini sudah banyak cara memasak
Jengkol yang dapat meniadakan aroma ganjil setelah melahapnya, baik aroma yang
menyeruak dari mulut, maupun aroma yang bersenyawa dengan air seni. Tapi Jengkol tetaplah Jengkol. Kodratnya memang begitu. Rasanya maknyus dan bikin ketagihan, tapi limbah aromanya tak jarang membuat kita disumpahi orang sekantor. Bila tak percaya, setelah makan Jengkol di hari Minggu, coba lepaskan urine di toilet kantor Anda pada hari Senin. Betapapun Anda mengguyur closed berkali-kali, aroma itu bagai abadi, bagai bisa melekat di dinding dan rongga closed. Kita hanya bisa berpura-pura tidak tahu, manakala orang-orang bergunjing tentang siapa keparat yang telah menumpahkan racun di toilet kantor.
Tobatkah kita makan Jengkol? Kalau
ada yang mengaku telah bertobat, saya pastikan itu hanya Tobat Sambalada, dan bukan Tobat
Nasuha. Tobat yang pertama adalah tobat tidak akan makan sambal lagi di
saat uring-uringan dan kelimpasingan kepedasan. Tapi begitu pedas yang menyiksa
itu lewat dan reda, sambal disantap lagi. Mengumpat-umpat tak karuan lantaran
kepedasan, lalu bersumpah lagi, tapi esoknya makan sambal lagi. Begitu
seterusnya. Sementara Tobat Nasuha
adalah yang sebenar-benarnya tobat. Menyesali sebuah perbuatan, dan bertekad
kuat, bahwa perbuatan itu adalah yang terakhir, dan tak akan diulang kembali.
Bila sekali waktu Anda menjadi
target makian setelah Anda berbicara dengan rongga mulut yang mangap maksimal
dalam sebuah majlis yang berdekatan dengan hidung banyak orang--sementara kemarin malam Anda menggelar pesta Jengkol--apakah
Anda akan bertobat tidak akan makan Jengkol lagi? Aroma Jengkol tentu tak sedap, tapi tanpa
Jengkol pun, hari-hari ini rasanya tak ada mulut yang tak memuntahkan aroma busuk.
Di era kelisanan yang kian merajalela ini, apalagi menjelang Pilpres 2019,
mulut lebih digdaya ketimbang telinga, apalagi akal. Mulut politisi, mulut pengamat, mulut haters, mulut lovers, mulut cebongers,
mulut kampreters, bagai sedang berada
dalam sebuah karnaval congor. Apapun persoalan yang potensial
untuk membesarkan nama kandidat yang dijagokan, akan dibicarakan. Apapun perkara
yang dapat menjatuhkan lawan akan dilepaslandaskan di linimasa. Itu semua,
tidak bisa dilakukan tanpa congor.
Intrik-intrik politik, modus-modus
penggiringan opini, komentar-komentar untuk memassalkan sebuah isu, kebencian yang
terus diembuskan, dalil-dalil moral yang diboncengi pesan politik, adalah
bentuk-bentuk aroma busuk dari congor-congor yang bergentayangan di linimasa.
Sudah begitu banyak undang-undang dikerahkan untuk menghadang aroma busuk itu,
sudah banyak nasihat dikampanyekan, banyak pula hukuman telah
dijatuhkan, apakah kita bertobat?
Sebagaimana tobat makan Jengkol, pertobatan dari karnaval congor di tahun
politik ini, barangkali juga sekadar Tobat
Sambalada, bukan Tobat Nasuha.
Melonjaknya harga Jengkol, yang
diperkirakan baru akan normal pada November 2018 mendatang, barangkali sebuah
teguran, atawa semacam “pesan kenabian,” yang mengingatkan untuk mengurangi
aroma tak sedap yang membersit dari banyak mulut selepas pesta Jengkol. Bagi
para penggembira karnaval congor dalam hingar-bingar menjelang Pilpres
2019, melangitnya harga Jengkol mungkin sebuah sasmita Tuhan bahwa
congor-congor yang gandrung menganga, perlu mingkem
sejenak, hingga aroma tak sedap yang cetar-membahana, tak mengakibatkan timbunan
limbah yang berbahaya di kemudian hari…
Comments