Toa dan Antena di Abad Linimasa
Damhuri Muhammad
Baiklah. Ini hanya cerita kecil tentang Antena.
Sekadar merawat patahan ingatan di masa ketika orang-orang desa masih asing
dengan internet, apalagi signal
selular. Saat digasak letih setelah seharian bekerja di sawah, satu-satunya
hiburan yang membahagiakan adalah menyimak siaran pertandingan sepakbola yang
mengudara secara langsung via pesawat radio. Tak ada visual, hanya audio yang
merekam sorak-sorai di stadion, lengking bunyi peluit wasit, dan tentu saja suara komentator yang memandu
imajinasi pendengar perihal arah bola, siapa yang tumbang kena tackling atawa sliding, atau siapa yang berhasil membobol gawang lawan. Tekanan
suaranya naik-turun, tempo dan intonasi juga disesuaikan dengan situasi
dramatik yang tengah berlangsung di lapangan hijau.
Bila suara yang keluar tidak
jernih, putus-putus, atau sesekali diselingi bunyi krasak-krusuk saat on air, itu berarti ada problem dengan antena. “Radionya besar, tapi antenanya pendek!”
begitu biasanya cemooh mengemuka. Tak ada guna ukuran besar, speaker kiri-kanan,
bila antena tak berdaya menangkap gelombang. Lama-lama kalimat itu berubah
menjadi kiasan, terutama bagi orang yang berbadan besar dan bertelinga lebar,
tapi daya tangkap lingkar otaknya begitu mini. Orang yang suka berkoar-koar
tentang suatu kabar, padahal pengetahuannya terhadap kabar itu amat dangkal,
karena sekali lagi; antenanya tak sampai. Lazimnya,
dalam perkara-perkara yang rumit dan memerlukan pengetahuan serius, si telinga
lebar tak akan beroleh kepercayaan. “Urusan ini hanya mungkin diberikan
pada orang yang antenanya tinggi!” kira-kira begitu ungkapannya.
Kini, obrolan soal antena
tentu sudah tak penting. Antena penangkap signal
selular tak menjulang tinggi, cukup dengan ukuran dalam satuan milimeter,
itupun dibenamkan dalam bodi telpon pintar, tapi hasil tangkapannya jernih menakjubkan.
Sudah jarang kita mendengar keluh-kesah perihal antena yang payah atawa antena
bekas sambaran petir yang membuat tangkapan audionya berisik alias noisy tak karuan.
Tapi ada soal genting yang
kemudian muncul. Di saat antena Wifi sudah amat cerdas, dan antena telpon
pintar yang sudah lebih dari sekadar pintar, justru para netizen abai memakai “antena.” Tengoklah, lalu lalang perbincangan
di linimasa; apa saja dibicarakan, apa saja diteriakkan, apa saja
diperdebatkan, sementara pengetahuan tentang perkara-perkara itu luar biasa
dangkalnya. Sedangkal antena masa lalu menangkap gelombang siaran drama Saur Sepuh di radio AM. Alih-alih menyukai antena, netizen malah sangat menggemari toa. Dengan
toa, mereka dapat mengeraskan suara, memaklumatkan kehebatan, mewartakan setiap
pencapaian, menyebarluaskan kekecewaan dan penyesalan, hingga mengembuskan
aroma permusuhan. Toa jaman kontemporer adalah linimasa atawa dinding-dinding
perbincangan media sosial.
Bila diukur dengan statistik,
berapa kali netizen berbicara dalam
sehari, berapa jam ia mengakses linimasa, berapa kali update status, berapa kali ganti picture-profile, berapa kali berkomentar, berapa kali membalas atau
menangkis serangan dalam sebuah twitwar,
saya pastikan statistiknya berkali-kali lebih tinggi angkanya dari aktivitas membaca
cermat setiap kabar, berapa kali mengonfirmasi kebenaran sebuah fakta, dan
berapa kali memeriksa ulang setiap kali ada content
baru yang sedang viral. Kalau ada semacam skala perbandingan antara berbicara
dengan mendengar, saya ingin menuliskan skalanya dalam 5 (bicara); 0,5
(mendengar). Atau bila menggunakan pengamsalan organ tubuh manusia, dapat dikatakan
bahwa saban hari kita hidup dengan satu mulut, dua mata, tapi dengan nol telinga.
Di jagat maya, hampir semua
orang ingin didengar, dilihat, dikomentari, bahkan sedapat-dapatnya diperbincangkan.
Hanya sebagian kecil yang dapat bertahan lama dalam aktivitas membaca, memeriksa,
menyelami sebuah peristiwa, lalu diam tanpa melibatkan diri dalam perbincangan. Sekali lagi, kalau boleh dituliskan dalam sebuah skala perbandingan,
maka saya berani mengatakan rasionya 10 (ingin dibaca, ingin didengar, ingin dikomentari);
2 (mendengar, membaca, memeriksa).
Oleh karena manusia mutakhir
tak gemar mendengar, maka sedikit saja ada suara tinggi, ia bagai tersiksa,
seperti dikepung teror, hingga seolah-olah tak bakal selamat bila suara
yang bising itu segera reda dan berlalu. Seandainya ada suara yang mereka
sukai, biasanya itu tidak bisa didengar bersama-sama, tapi akan ia nikmati
sendiri dengan alat semacam hands free
atau headphone yang terkoneksi pada gadged-nya.
Ribut-ribut soal toa, bagi
saya tak lepas dari runtuhnya kegemaran mendengar, yang seiring dengan semakin pesatnya kecanduan berkomentar. Seolah-olah ada semacam dalil yang ditaati bersama
bahwa “di linimasa, banyak mendengar adalah tidak milenial.” Perihal toa yang
sedang menjadi sorotan--lantaran ada seorang ibu yang
diduga merasa terganggu oleh tingginya volume suara adzan dari sebuah masjid--barangkali adalah sebuah i’tibar bahwa kita sudah terlalu lama meringkuk dalam ruang mabuk bicara
dan gila komentar, hingga kegiatan mendengar kemudian bergeser
menjadi tabu yang memalukan. Kalau saja mulut kita yang berdekatan dengan sebuah tampuk microphone, jangankan menghindar, besar
kemungkinan mulut itu justru akan meronta-ronta ingin segera melepaskan suara.
Tanpa peduli, berapa pun tinggi volumenya..
Damhuri Muhammad
kolumnis
Comments