Kardus Copras-capres dan Gerobak Tukang Loak
Damhuri Muhammad
Setelah beralih ke teknologi mirrorless, kamera DSLR saya banyak
menganggur, dan lama-lama mungkin tidak akan berguna lagi. Daripada tergeletak
begitu saja di lemari, akhirnya tiba juga keinginan saya untuk menjualnya. Lalu,
saya maklumatkan spesifikasi dan asesoris yang tersedia di sebuah forum
jual-beli online. Tak lupa
nominal harga yang saya tawarkan untuk barang bekas itu.
Pertanyaan mula-mula yang
diajukan oleh seorang penadah adalah, masih
ada kardusnya ndak gan? Kardus yang diinginkan penadah tentu bukan kardus
biasa, tapi kardus resmi dari perkakas elektronik yang sedang saya iklankan. Di
kardus itu akan tampak wujud kamera, merek produk, spesifikasi sensor, ukuran
lensa kits, dan berbagai info penting lainnya. Oleh karena saya termasuk
kolektor yang tidak telaten, saya tidak dapat memenuhi permintaan penadah itu.
Setelah membelinya lebih kurang 7 tahun lalu, saya lupa entah di mana saya
menyimpan kardusnya. Mungkin masih ada di gudang, atau barangkali sudah ikut
terbawa oleh gerobak Tukang Loak yang sering menadahi barang-barang bekas di
rumah saya.
Kalau
masih ada, biasanya di dalam kardus yang masih terawat itu, juga akan ada
kwitansi pembelian, kartu asuransi, manual
book, dan CD perangkat lunak. Tapi karena saya sudah bilang tak ada kardus,
maka si penadah tidak lagi melanjutkan harapannya. Akibatnya, harga akan jatuh,
dan kemungkinan terjadinya deal akan butuh waktu.
Apa pasal? Ya, kardus itu.
Bagi para makelar alias penadah barang-barang elektronik, kardus adalah syarat
wajib. Sebab, hanya dengan kardus itu martabat barang usang dapat diselamatkan.
Seolah-olah dengan kardus itu, kamera saya yang sudah jelas-jelas bekas,
setidaknya “pernah baru,” pernah ada bungkusan plastiknya, ada kwitansi
pembelian, ada kartu asuransi, dan macam-macam pernah yang lain. Dengan begitu,
barang bekas dapat terjual kembali dalam waktu cepat, tentu dengan sedikit untung
yang bisa diperoleh si makelar tadi.
Dari
secuil pengalaman itu, saya mulai menghormati dunia kardus. Mungkin
kedengarannya remeh. Bahwa kardus tak lebih dari pembungkus. Setelah isinya
dikeluarkan, kardus akan terpelanting sebagai sampah. Paling banter hanya dapat
digunakan untuk menadahi barang-barang bekas yang lain, sebelum kemudian
berakhir di bak sampah.
Tapi bagaimana kalau kardus
yang hilang dari gudang Anda adalah kardus kamera DSLR Nikon D3? Bila kemudian
Anda terpanggil untuk melepas barang berharga puluhan juta itu, tanpa kardus
bawaannya, harga jualnya akan terjun bebas, bahkan hanya separuh dari tawaran
mula-mula Anda. Betapa tidak berharganya barang bekas yang pernah menjadi
koleksi Anda, betapa terpuruknya kehormatan sebuan benda yang pernah menyumbang
banyak pada hidup Anda.
Dalam kisah kecil di atas,
kardus bekas tak dapat dipandang sebagai
objek yang rapuh dan kadaluarsa. Dalam semiotika Barthesian, ia
memiliki konotasi yang tangguh dan bernilai. Tanpa kardus yang pernah
membungkusinya, barang mahal milik Anda akan terdistorsi menjadi rongsokan
belaka. Kadang-kadang merek sebuah barang dapat ternobat sebagai nama yang tak
lekang dihantam jaman. “Tetangga baru saja membeli Sanyo baru,” begitu biasa kita bercakap, meski pompa air yang
dibeli tetangga itu adalah pompa merek Panasonic.
Merek bisa jumawa sebagai mitos. Dan, setiap merek senantiasa termaktub di
kardus kemasan.
Namun,
nasib kardus rupanya tak selalu mujur.
Pada Agustus 2011 lalu, sebagai tindak lanjut dari sebuah Operasi
Tangkap Tangan (OTT), KPK menemukan barang bukti berupa Kardus Durian Montong
berisi uang 1,5M. Saat itu, KPK mengamankan
Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan, Pembangunan Kawasan
Transmigrasi (Ditjen P2KT) bernama I Nyoman Suisnaya, Kabag Program Evaluasi di
Ditjen P2KT bernama Dadong Irbarelawan dan seorang kuasa direksi PT Alam Jaya
Papua bernama Dharnawati. Uang dalam Kardus Durian tersebut diduga sebagai commitment fee untuk Muhaimin Iskandar
alias Cak Imin, Menakertrans RI masa itu, atas pengalokasian anggaran DPIP untuk
4 daerah di Kabupaten Papua, Keerom, Manokwari, Mimika dan Teluk Wondama, yang
digarap PT Alam Jaya Papua. Disebut-sebut, uang itu berasal dari seorang kuasa
direksi PT Alam Jaya Papua bernama Dharnawati. Penerimanya bernama Nyoman
Suisnaya dan Dadong Irbarelawan.
Poin
saya bukan pada kasus yang menurut sejumlah pihak sudah game over itu, tapi pada kardusnya. Dalam peristiwa itu, kardus
tidak lagi dimartabatkan oleh apa yang dibungkusnya, tapi malah menghinakan, termasuk menghinakan pengirim dan penerimanya.
Konotasi kardus berbalik 180 derajat dari kewibawaan kardus barang elektronik
bekas di pasar jual-beli online.
Alih-alih merawat mitos tentang Durian Montong yang pernah dibungkusinya, kardus
keparat itu malah mendedahkan mitos yang lain. Buktinya, setiap kali saya
melihat foto-foto jumbo Cak Imin di hampir ¼ jalan raya di Pulau Jawa, saya
tidak bisa menghindar dari ingatan tentang Kardus Durian penemuan KPK itu.
Belakangan ada pula yang
menyebutnya Durian Gate. Sedemikian merajalelanya baliho dan spanduk
sosialisasi Cak Imin sebagai Cawapres dalam 10 bulan terakhir, sampai muncul
sebuah kelakar yang konon berasal dari
seorang wisatawan asing; Who is Muhaimin?
Lalu sopir taksi yang membawa bule penasaran itu menjawab dengan santai; Muhaimin is Kandar. Oleh karena Kardus
Durian telah menjadi mitos di kepala saya, maka jawaban yang sejatinya bagi saya
adalah; Muhaimin is a part of Durian Gate.
Omong-omong
soal kardus, 2 hari menjelang ditutupnya pendaftaran Capres-Cawapres 2019,
tepatnya 8 Agustus 2018, menjelang dini hari, umat medsos dilanda “gempa politik”
setelah elit Partai Demokrat melepaskan cuitan tentang Prabowo Subianto sebagai
Jenderal Kardus. Tudingan itu bermula dari perubahan sikap politik petinggi
Partai Gerindra itu dalam waktu kurang dari 24 jam. Elit Partai Demokrat menuding
kemesraan yang manis di antara dua mantan Jenderal (SBY & Prabowo)
diporakporandakan oleh suguhan kardus
berisi 500M untuk meng-entertaint 2
partai mitra koalisi. Mahar mahabesar itu yang menurut elit Partai Demokrat adalah
tiket Sandiaga Uno sebagai Cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto
dalam Pilpres 2019.
Lagi-lagi
poin saya bukan pada tudingan elit Partai Demokrat dan tiket Cawapres Sandiaga
Uno, tapi pada frasa “Jenderal Kardus” yang dilepaslandaskan oleh elit Partai
Demokrat itu. Idiom “Kardus” menyuguhkan setidaknya dua kemungkinan. Pertama, merujuk pada kisah kecil
tentang kardus kamera DSLR jadul saya di atas, sebagai “bekas” Jenderal yang
telah mengukir banyak prestasi di masa silam, sejatinya memang amat membutuhkan
kardus atau kemasan yang membuktikan bahwa ia “pernah baru,” dan karena itu
kardusnya akan melaporkan macam-macam pencapaian, kegemilangan semasa menjadi
Pangkostrad, keberanian di garis pertahanan, komitmen kebangsaan, dan
lain-lain.
Mengamati kasak-kasuk yang
berlangsung selama menjahit koalisi ruwet menjelang masa pendaftaran, pendukung
Prabowo yang saya ibaratkan seperti kolektor kamera DSLR Canon 1D Mark III,
tampaknya tidak lagi menyimpan “kardus” yang dapat mempertahankan purna-jual
barang bekasnya. Kardus itu barangkali
telah lama hilang atau dibuang bersamaan dengan timbunan barang-barang loak.
Maka, posisi tawarnya lemah, dan transaksi cash
on delivery (COD) tak akan secepat barang bekas yang masih disertai kardus.
Seandainya pendukung masih dapat menemukan kardus bagi barang bekas yang sedang
diiklankan itu, tentu ceritanya akan sangat berbeda.
Kedua, kardus juga dapat berkonotasi sebagai
pembungkus aroma akal-bulus di mana pada akhirnya uang jua yang memutuskan
segala perkara. Sudah repot-repot menjahit koalisi dengan macam-macam cara dan
bahasa politik, manakala kardus berisi uang ratusan milyar sudah berbicara,
segalanya buyar, semuanya bisa batal. Sekutu dua jenderal bisa terancam pecah-kongsi, mulut manis
yang semula saling memuji bisa beralihrupa menjadi umpatan yang saling
menyakiti, koalisi bisa berantakan akibat gempa politik yang tiba menjelang
dini hari.
Sampai
di sini, kardus tidak lagi memartabatkan, tak sekadar mendistorsi
kehormatan pemberi dan penerimanya, tapi juga akan mengepung
semua subjek yang terlibat, di sebuah ruang yang tak lebih
lapang dari ruang dalam sebuah kardus. Sesak dan hampir tanpa ruang gerak. Tergeletak sebagai barang-barang bekas,
yang sewaktu-waktu bakal diangkut oleh gerobak si Tukang Loak…
Damhuri Muhammad
kolumnis
Comments