Tanak-nasi yang Dibuburkan dan Kuasa Ratu Ubur-ubur
Damhuri Muhammad
Tersebutlah
sebuah kisah haru dari negeri Sakura, sebagaimana dinukil-ulangkan oleh Endis
Karayya (2013) di weblognya www.mencatatjepang.blogspot.com. Tentang petaka yang melanda Raja Naga.
Masih dalam hitungan bulan usia pernikahannya dengan Ratu Naga, tiba-tiba Sang
Ratu yang cantik jelita ditumbangkan
oleh penyakit ganas. Konon, penyakit itu tiadalah dapat disembuhkan oleh tabib
handal dari mana pun, hingga Sang Raja Naga hampir saja berputus asa.
Namun, suatu ketika, dalam sakit
yang tiada tertanggungkan itu, Ratu Naga berkata kepada suaminya. “Carilah hati
dari seekor Kera. Ingat! Hati dari seekor Kera yang masih hidup! Hati itu
adalah satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan penyakitku!” Sontak Raja Naga
terperanjat mendengar permintaan permaisurinya. Betapa tidak? Pasangan yang
semula bahagia dan sentosa itu hidup di
dasar laut, sementar Kera tentulah hewan darat, yang tiadalah mungkin bakal
terjangkau. “Apakah kau lupa, Sayang? Kita makhluk laut, kita hidup di dasar
samudera, sementara hati Kera yang kau dambakan itu hidup di daratan lepas,”
demikian Raja Naga membangkitkan keinsyafan permaisurinya.
“Apakah kau lupa, Kekasihku? Bukankah kau seorang Raja? Kalau kau
sungguh-sungguh mencintaiku, tentulah semuanya dapat kau upayakan!” balas Ratu
Naga. “Atau kau memang menginginkan istrimu ini lekas mati, supaya kau bisa
menikah lagi?” tambah Ratu Naga lagi. Lantas mulailah Raja Naga berpikir keras.
Sekeras keinginannya untuk menyembuhkan istri yang dicintainya.
Tibalah saatnya Raja Naga bertitah
kepada pelayannya. Pelayan yang setia, namun pandir alang-kepalang; Ubur-ubur.
“Tugas ini sangat berat, tapi aku harus memerintahkan dirimu untuk pergi ke daratan. Setiba di sana, carilah seekor
Kera. Lalu, kabarkan kepada Kera itu bahwa ada sebuah negeri yang sangat indah,
nun di bawah laut. Sebut saja namanya Negeri Naga. Tempat tinggal yang jauh
lebih membahagiakan daripada tempat tinggal si Kera itu,” kata Raja Naga kepada
Ubur-ubur. “Pokoknya kau bujuklah Kera itu dengan bermacam-macam cara, agar ia
bisa terbawa olehmu ke istana kita ini,” tegas Raja Naga lagi.
Perlu diketahui, pada masa itu wujud
Ubur-ubur masih seperti ikan pada umumya. Ia punya sirip dan ekor. Juga punya
kaki-kaki mungil untuk bisa berjalan di daratan. Singkat cerita, sampailah
Ubur-ubur di daratan. Tak lama kemudian, Ubur-ubur itu melihat seekor Kera yang
sedang meloncat-loncat dari satu dahan pohon ke dahan lainnya.
“Wahai Tuan Kera! Berhentilah
sejenak. Aku ingin menyampaikan sebuah kabar gembira kepadamu,” begitu
Ubur-ubur menyapa dengan bahasa yang terdengar hangat dan bersahabat.
“Oh, ada apa rupanya, Ubur-ubur?”
“Tuan Kera yang baik, di bawah laut
sana, ada sebuah negeri indah dan permai. Namanya Negeri Naga. Cuacanya sejuk
sepanjang tahun. Pohon-pohonnya tinggi dan rindang. Buah-buahan melimpah ruah.
Dan, satu lagi yang perlu Tuan tahu, di Negeri Naga tak ada makhluk jahat
bernama manusia!”
Kera pun terperangah mendengar kabar
dari Ubur-ubur. Diam-diam ia membayangkan
betapa menyenangkan dam membahagiakan hidup di Negeri Naga. Betapa
riang-gembiranya hidup bergelimang buah-buahan yang ranum dan mengenyangkan.
“Ayolah! Apa lagi yang Tuan pikirkan?
Mari ikut denganku ke Negeri Naga!” bujuk Ubur-ubur.
Tanpa berpikir
panjang lagi, Kera segera melompat ke atas punggung Ubur-ubur. Mereka
mengarungi samudera, bergegas menuju Negeri Naga.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Kera
dihadang ragu dan bimbang. Perihal kenapa si Ubur-ubur, tak ada angin tak ada
hujan, tiba-tiba muncul, lalu mengajaknya pergi ke Negeri Naga. “Kenapa kau
mengajakku untuk hidup di Negeri Naga?” begitu Kera bertanya pada Ubur-ubur
yang sudah membayangkan betapa senangnya hati Raja Naga melihat kedatangan
mereka nanti.
“Jadi, begini Tuan Kera. Majikanku,
Raja Naga akan mengambil hati dari tubuhmu. Ia membutuhkan hati itu untuk
menyembuhkan penyakit istrinya, Ratu Naga,” jawab Ubur-ubur, sejujur-jujurnya.
Sepolos-polosnya. Sedungu-dungunya.
“Oh, jadi semua bujukanmu hanyalah
tipu daya?” kata Kera dalam hati. Ia sama sekali tidak memperlihatkan raut muka
kecewa, apalagi marah pada Ubur-ubur.
“Tuan Ubur-ubur. Saat ini tak ada
yang lebih menyenangkan hatiku selain melayani Paduka Raja yang Mulia. Tapi
sayang sekali, aku meninggalkan hatiku di pohon tempat aku meloncat-loncat di
daratan tadi. Daging hatiku itu berat sekali, sehingga aku lebih suka
melepaskannya sebelum bermain. Oleh karena itu, kita harus kembali ke daratan,
mengambil hati yang tertinggal itu,” kata Kera kepada Ubur-ubur.
Tanpa berpikir panjang pula,
Ubur-ubur setuju-setuju saja pada rencana Kera. Namanya juga hewan pandir.
Ubur-ubur sama sekali tidak menyadari bahwa rencana Kera adalah balasan dari
tipu daya yang telah membuat ia tergoda untuk datang ke istana Raja Naga. Begitu
Ubur-ubur dan Kera kembali tiba di daratan, Kera segera melompat dari punggung
Ubur-ubur, lalu melompat lagi ke sebuah dahan pohon tempat ia bermain tadi.
“Tuan Ubur-ubur. Hatiku sudah tidak ada di pohon ini. Mungkin
seseorang sudah mencurinya!”
“Tapi Tuan tak perlu kuatir. Saya berjanji akan mencari dan
menemukannya kembali.”
Ubur-ubur
terdiam sejenak. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi lama-lama akhirnya ia bisa
juga mempercayai janji si Kera yang baik hati itu.
“Begini saja Tuan Ubur-ubur. Untuk
sementara, lebih baik Tuan kembali dahulu ke Negeri Naga. Kabarkanlah apa yang
terjadi di daratan ini kepada Baginda Raja Naga,” begitu Kera membujuk si
Ubur-ubur yang tampak makin pandir itu. Tanpa bertanya-tanya lagi, Ubur-ubur
pun segera meluncur ke laut lepas.
Baginda Raja Naga berang tiada
ampun. Atas kepandiran Ubur-ubur itu ia memerintahkan pelayan-pelayan lain
untuk memberi hukuman yang setimpal atas kebodohan pelayan setia yang memalukan
itu. “Pukulilah Ubur-ubur dungu itu sampai sekujur tubuhnya berubah menjadi
lunak. Jangan sisakan sekeping tulang pun di tubuhnya,” titah Raja Naga dalam
amarah yang memuncak. Maka terjadilah peristiwa penghukuman yang trengginas
itu, hingga riwayat ketangguhan tubuh Ubur-ubur beralihrupa menjadi makhluk
yang lembek, lunak, tanpa sekeping tulang pun yang tersisa. Itulah sebabnya
hingga kini kita melihat Ubur-ubur sebagai hewan yang tubuhnya tak lebih dari gumpalan
bubur, transparan, dengan tentakel-tentakel yang melayang-layang di dasar laut.
Tapi jangan lupa, kelak di kemudian
masa, meski mungil-lunak dan tanpa tulang, Ubur-ubur dianugerahi sebuah racun
yang mematikan. Orang yang tersengat Ubur-ubur, bisa mengalami kram,
berhalusinasi, bahkan tak jarang yang meninggal. Bila dalam fabel dari Jepang
itu Ubur-ubur dikisahkan sebagai hewan pandir, di era milineal ini, khususnya
di Indonesia, hewan dungu itu ternyata telah menguasai tahta tertinggi di
istana kerajaan. Adalah Aisyah Tusulamah Baiduri Intan dan Rudi Chairul Anwar, warga Sayabulu Tower,
Kelurahan Serang, Kota Serang, Banten, yang tertunjuk sebagai
pasutri, pasangan Ratu-Raja, penguasa Istana Ubur-ubur. Aisyah juga ternobat
sebagai utusan langsung Ratu Kidul.
Disebut-sebut, Istana Kerajaan Ubur-ubur juga sudah punya semacam
lembaga negara non-struktural dengan pejabat-pejabat teras seperti Ketua Penerima Tamu Kerajaan, Ketua
Keluarga Kerajaan, Ketua Pengembangan Program Kerajaan Urusan Ritual, Ketua
Urusan Ide Kreatif untuk Raja, serta Ketua Urusan Pertamanan. Lembaga-lembaga
ini mungkin semacam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Kantor Staf Presiden
(KSP), jika dibandingkan dengan Istana Merdeka, tempat Presiden Joko Widodo
bekerja dan bekerja saban hari. Saya tidak ingin membahas ajaran-ajaran sesat
yang sejak awal Agustus 2018 lalu telah ditudingkan banyak pihak pada Sang Ratu
Ubur-ubur, karena yang jauh lebih menarik bagi saya adalah, kenapa Sang Ratu
menamai singgasana kekuasaannya dengan
Kerajaan Ubur-ubur?
“Ubur-ubur
binatang laut bertubuh kecil, tapi kalau mereka bersatu bisa menenggelamkan sebuah
kapal besar,” begitu bunyi nujum Ratu Aisyah sebagaimana dikutip oleh banyak
media hari-hari ini. Menurut hemat saya, ada benarnya sabda utusan Ratu Kidul
itu. Sebab, jangan-jangan si Ubur-ubur pandir yang telah dikutuk menjadi
makhluk berdaging selunak bubur itu telah menguasai istana Raja Naga. Bukankah
dalam fabel Jepang di atas tak pernah dikisahkan Ratu Naga sudah sembuh, dan
Raja Naga telah berbahagia. Tidak! Kisah itu seperti digantung begitu saja, dan saya ingin
membayangkan kuasa Raja Naga sudah dilengserkan oleh kudeta pasukan Ubur-ubur.
Dengan begitu, tahta istana Negeri Naga kini telah beralih ke tangan Raja dan
Ratu Ubur-ubur, yang di jaman mutakhir ini, ternyata nongol di Serang, Banten,
alias tak terlalu jauh dari Istana Negara.
Begitu
mengerikan kedengarannya kekuatan yang kini dimiliki oleh Ratu Ubur-ubur.
Betapa tidak? Raja dan Ratu Ubur-ubur mengaku telah mendapat nubuat gaib dari
kuncen (juru kunci) kekayaan dunia yang tersimpan di dua bank Internasional,
yaitu Bank Swiss dan Bank Griffin 1999, Birmingham. Bila tak ada aral yang
melintang, uang yang berlimpah itu pasti dapat menutupi Defisit APBN dan
membereskan utang-utang negara yang bakal jatuh tempo pada 2019. Kepada
Presiden Jokowi, Ratu Ubur-ubur juga bersabda: Jadilah engkau satria piningit yang sesungguhnya. Janganlah engkau
menjadi seseorang seperti pemerintah di masa lalu, yang hanya mementingkan
kekuasaan, yang menyengsarakan rakyat
dan mengorbankan yang lain!
Entah kenapa,
saya ingin sedikit menambahkan titah Ratu Ubur-ubur itu, terutama dalam
kaitannya dengan alegori Ubur-ubur, hewan lemah yang dalam sejarah kemaritiman
Nusantara barangkali hanya sebagai mentimun bungkuk (masuk karung, tapi tak
masuk hitungan). Orang-orang lemah, orang-orang
yang terpaksa membuburkan tanak-nasi lantaran persediaan beras yang terbatas, bilamana
bersekutu, lalu menyatukan racun-sengat yang mematikan, niscaya akan melibas
kuasa cecunguk-cecunguk istana dengan cara yang tak diduga-duga. Sebagaimana
sebuah syair Arab klasik pernah dinukilkan; la
tahqarrana shoghiran fi mukhashamatin. Inna al-ba’udha tudma muqlatil asadi.
Dalam sebuah pertarungan, jangan sekali-kali Tuan remehkan musuh yang bertubuh
kecil, karena bahkan nyamuk pun mampu mendarahi seekor singa…
Damhuri
Muhammad
Kolumnis
Comments