Yang Bermukim dalam Topeng
“Keluarlah dari tubuhku.
Aku tak sanggup lagi menampungmu!” mohon Topeng pada Tuannya. Ghahar Kadmuflazar
ngotot. “Wahai Topeng yang budiman! Aku, Tuanmu ini, salah satu keturunan Nabi.
Martabatmu mulia karena dihuni anak-cucu orang suci,” begitu selalu, Tuan
Ghahar merayu, agar si Topeng berkenan memperpanjang sewa tubuhnya. Topeng tak
pernah lepas dari muka Tuan Ghahar. Saat berbelanja ke pasar, berjalan di
keramaian, atau saat berpidato di atas mimbar, ia selalu bertopeng. Sebab, ia
sadar mukanya buruk sekali. Hidungnya panjang dengan dua lubang besar. Lebih
besar dari akumulasi tiga butir kelereng. Kupingnya lebar. Setengah dari lebar
Niru penampi beras. Dengan topeng, Tuan Ghahar adalah manusia sejati. Wajah
bersih berseri. Memancarkan aura arif dan bijak. Dermawan dan penyabar. Kini,
si Topeng punya cermin tembus pandang. Seseorang menaruhnya di ruang tamu Tuan
Ghahar. Saat Tuan Ghahar tak sengaja menoleh ke cermin ajaib itu, ia menggigil
hebat, hampir semaput. Topengnya tak berfungsi. Cermin memantulkan sosok manusia
berkepala Babi. “Enyahlah, bangsat! Kau bukan keturunan Nabi, tapi titisan para
Babi…”
Damhuri Muhammad
2020
Comments