Takhayul di Era Milenial


Oleh Abdillah Marzuki

(Versi cetak resensi ini tersiar di harian Media Indonesia, 6 Juni 2020)



Foto: Dokumentasi Penerbit Cikini Art Stage



TIDAK ada yang meragukan kuasa big data di era kontemporer. Generasi milenial menjadi penggerak. Begitu pun daya internet membuka selubung peradaban yang boleh dikata dikuasai sekotak mesin bernama gawai. Tetap saja warga +62 masih berkutat dengan magi, tak peduli seberapa tinggi pendidikan telah ditempuh. "Zaman boleh maju, sains modern boleh pula tegak sebagai tonggak peradaban mutakhir, tapi mitos dan takhayul belum musnah dari rahim kultural kita." Secuplik kalimat di halaman 15 itu serasa menjadi roh dari buku berjudul "Takhayul Milenial" karya Damhuri Muhammad. 

Berkutat di bidang filsafat dan budaya, apa yang ditulis sang pengarang di buku ini tak perlu lagi diragukan ketajaman dan kedalamannya. Paparan buku ini teramat sayang untuk dilewatkan. Tak hanya melarut dalam tata cerita apik dari kejadian sehari-hari, setiap bagiannya pun punya isu tersendiri, mampu membuat pembaca terkaget. Sebut saja pada bagian "Takhayul dan Nalar yang Lumpuh," Damhuri menyajikan cerita tentang sahabatnya yang bergelar master filsafat dari universitas terkemuka luar negeri. Nyatanya dalil rasional dan gagasan kefilsafatan dalam dirinya lumpuh begitu saja kala berhadapan dengan kecemasan. Kala itu, ia kesulitan mendapatkan buah manggis mengkal. Padahal buah itu tengah diidamkan istrinya yang tengah hamil. Ia khawatir nantinya sang jabang bayi bakal lahir sebagai anak "ngences" (air liur yang menetes). 

Menariknya, mungkin hanya di Indonesia, teori August Comte (1798-1857) terbantahkan. Fase positivistik manusia modern di Indonesia ternyata masih bercampur dengan fase teologis dan metafisis. Paparan itu begitu mengena ketika dikaitkan dengan kehebohan kemunculan Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang dibela sepenuh hati oleh seorang doktor lulusan univesitas di Amerika yang telah terlucuti nalarnya. Seperti hal tersebut, hampir seluruh bagian dalam buku ini juga berkenaan dengan peristiwa tertentu. 

Damhuri dengan cerdas menyibak kejadian ataupun fenomena dalam ranah sosial. Ia menyajikan analisis kebudayaan yang bisa jadi justru jarang terpikirkan oleh para pelaku budaya.  Seperti ketika demam batu akik mewabah. Alih-alih mengesamping kan kenyataan, Damhuri jusru masuk lebih dalam, lalu keluar dengan cakrawala baru. Kupasan tipis-tipis tentang idola baru, dari histeria batu akik hingga pernikahan Raffi Ahmad. Ia menutup tulisan bab akik ini dengan sebuah satire atas moralitas kekuasaan, yang menurutnya, sedang berada di ambang zaman batu dengan segala keculasan, kecadasan, dan ketelengasan. 


“Mungkin hanya penggenggam batu yang bakal sangup membereskannya,” (hlm 22). Hasrat mengidola juga jadi sorotan. Damhuri memotret obsesi untuk seolah merasa diri seperti idola. Keluar dari batas keinginan manusiawi, masuk ke fase yang sulit dibayangkan. Rela melakukan apa pun agar menjadi karakter boneka Barbie, bahkan mengorbankan kewarasan. Itulah yang disebut Damhuri sebagai "Usaha Meraih Kepandiran" (hlm 35). Ia juga menyajikan teropong atas dunia digital, media sosial, beserta eksesnya. Tentu menarik saat menelaah serangkaian analisis dari seorang yang lahir dan besar di dunia analog. Itu yang menjadikan buku ini layak dibaca para milenial ataupun generasi Z. 


Menyoal Hoaks 

Perkara hoaks menjadi problem tersendiri dalam derasnya era informasi. Media sosial seolah menjadi penantang dari semua sumber informasi konvensional. Menurut Damhuri, sepanjang kabar bohong masih berada di level kekacauan informasi dan belum melewat batas pagar ruang digital, hoaks tidak membahayakan. Hoaks akan jadi blunder dan menakutkan kala mengalami bias evaluasi. Utamanya ketika direspons figur publik dan tokoh panutan. Tafsir spontan dan opini tergesa pada materi hoaks kerap menyulut emosi banyak orang. Meski demikian, Damhuri tidak hendak menjadikan hoaks sebagai kambing hitam atas kekacauan yang diakibatkannya. Apalagi kemudian dikekang dengan sensor dan pemblokiran. ‘Hoaks tak perlu dibendung dan memang mustahil dibendung. Membatasi kebebasan berekspresi di era digital sama dengan berjalan mundur ke zaman batu’ (hlm 114). Ia justru menyarankan agar segelintir figur publik tidak tergesa membuat evaluasi bias atas materi hoaks. Para tokoh terkemuka juga sebaiknya tidak langsung merespons materi tersebut. Tujuannya agar setiap potensi bahaya tak menjalar ke mana-mana. 

Separuh lebih dari buku Takhayul Milenial berbincang tentang peristiwa, kejadian, dan fenomena yang terjadi belakangan ini. Di sekitar sepertiga bagian akhir, Damhuri menyajikan persoalan yang lebih lokal dari sekadar perkala global internet. Ia mengajak pembacanya untuk berefleksi atas keindonesiaan dan kepancasilaan dewasa ini. Tiga tulisan mencolok ia letakkan di bagian akhir; Mencari Indonesia, Pancasila untuk Semua Orang, dan Yudi Latif dan Kuliah Umum tentang Keadilan. Buku ini semacam refleksi atas kebudayaan sebagai kenyataan saat nalar manusia menapak pada landasan kecerdasan buatan, big data, dan algoritma. Begitulah Damhuri menghadirkan kebimbangan jamak yang mewabah di era pasca fakta. Membaca buku ini akan membuat pembaca bakal tersenyum sinis, bahkan merasa miris. (Zuq/M-4)


Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/318576-takhayul-di-era-milenial

Comments

Popular Posts