Mata Tua Penjahit Renta

-->



Anarkisme Batu-batu, karya Aidil Usman 
Acrylic on Paper.A3.2020


Siapapun laki-laki beranjak baligh, dan sudah malu pakai celana pendek, pasti berurusan dengannya. Ia akan mengukur lingkar pinggang, sela pisak, lingkar betis. Lalu mencatat angka-angka di buku mini di atas mesin jahit. "Ini tak akan lama. Kau akan butuh celana lebih panjang, lebih panjang lagi," katanya pada bocah kerempeng, Jun. "Aku ngeri menjadi dewasa. Aku ingin bertahan sebagai anak-anak!" jawab Jun, gugup. "Kau tak bisa menolak, Jun. Pergilah jauh-jauh. Lebih jauh, lebih panjang dari semua celana panjangmu nanti!" Anak-anak datang dan pergi. Yang lama terbang-hambur dari kampung itu, yang baru tiba lagi. Terus begitu, hingga mata penjahit menua, pinggangnya rapuh digasak batu ginjal. Tapi kakinya tak kunjung berhenti menginjak pedal mesin jahit. Meski sekadar celana belacu atau taplak meja dari kain sisa-sisa. Sekali waktu, dalam derit lambat mesin jahit tua, sekilas ia melihat sosok lelaki di layar TV. Agak ragu dengan raut muka lelaki matang itu, tapi ia ingat betul pola jahit kantong samping celananya. Persis seperti bikinannya. "Jun. Itu Jun!" gumamnya. Bocah yang dulu takut dewasa itu, kini sedang berdiri di podium, menjelaskan duduk perkara alat pemecah batu ginjal mutakhir, temuannya. Bagi orang sepenting Jun, manalah mungkin ada ruang guna mengingat penjahit renta itu. Tapi corak kantong celana itu, pola jahitan penutup ritsleting itu..Merujuk pada bikinannya dulu. Sepi hari senjanya (karena tak seorang anak pun terpacak dari rahimnya) dan sakit menahun lantaran batu ginjal, kini terisi oleh decak kagum saat profesor Jun bicara di layar kaca. Masih ngeri kau jadi orang dewasa, Jun?

Damhuri Muhammad
2020

Comments

Popular Posts