Bujuk Kepulangan dan Mitos Kejayaan

Damhuri Muhammad

Foto: Damhuri Muhammad



Buku sajak bertajuk Sinama, karya penyair asal Sumatera Barat, Iyut Fitra, tiba di alamat saya, saat perhatian sejumlah warganet di linimasa Twitter sedang tercurah pada video amatir berdurasi pendek berisi tayangan tentang Walikota Padang (Sumbar) yang didamprat oleh beberapa orang Emak-emak dengan umpatan vulgar; P*ntek. Tak begitu terang sebenarnya kronologi peristiwa kecil dalam potongan video itu. Hanya tampak Walikota bersama 1-2 pendampingnya sedang bersepeda, lalu ia berhenti di pinggir jalan, lantaran melihat ada lapak-lapak pedagang yang berdiri di tempat yang tak semestinya menurut aturan tata kota. Dugaan saya, Walikota berhenti untuk sekadar bertanya baik-baik, kenapa menegakkan lapak dagangan di situ. Tapi dalam sepersekian menit kemudian, 1-3 Emak-emak yang saya duga adalah pemilik lapak itu, langsung ngegas dengan suara tinggi, bahwa yang mereka lakukan tak lebih dari usaha bertahan hidup di musim payah. Satu dua kali muncul ungkapan bahwa tak semestinya Pak Walikota menegur atau melarang warganya yang sedang "cari makan," dan perlahan-perlahan suara mereka terus meninggi, hingga keluar umpatan pamungkas yang telah saya bunyikan di atas. 

Tak ditujukan langsung pada Walikota yang masih berada di hadapan mereka, tapi lebih pada ungkapan kemarahan Emak-emak itu para pedagang lain, yang menurut mereka, alih-alih mendapat teguran, malah kerap memperoleh privilege dari Pemerintah Kota. Dan, mereka adalah para saudagar dari kaum mata sipit alias warga keturunan Tionghoa. Kepada merekalah sesungguhnya umpatan kebencian itu hendak dialamatkan, meskipun sengaja disuarakan di pangkal kuping Pak Walikota. Semacam rasisme verbal yang di masa pandemi Covid-19 ini sudah dua kali menjadi kabar viral, dan keduanya terjadi di kota Padang. Walikota seolah-olah sudah terbiasa mendengar umpatan itu, dan tak berpengaruh apa-apa terhadap posisinya sebagai pemimpin. Dengan sangat tenang, dalam situasi yang masih panas, ia meninggalkan Emak-emak yang masih terus menyemburkan sengatan demi sengatan dari mulut mereka. 

Sengatan demi sengatan dari umpatan emak-emak itu, seolah-olah mengalami auto-cleaning alias bersih otomatis, setelah saya membolak-balik halaman demi halaman dari buku sajak Sinama ini. Seperti bodi mobil yang kotor dan dekil lantaran sedang menempuh perjalanan jauh, tapi sebelum sampai di tujuan, sebelum sempat dibawa ke tempat cucian, tiba-tiba bodi kotor itu diguyur hujan deras. Maka, saat itu saya mengalami dua kenyataan dalam waktu yang hampir bersamaan. Pertama, kenyataan yang barbarik, kasar, dan brutal. Kenyataan yang bahkan ketika belum terjadi percakapan apa-apa, lawan bicara kita sudah memproklamirkan dirinya sebagai pribadi hebat, berasal dari silsilah kaum terpandang, pamannya orang berpengaruh di institusi tertentu, seolah-olah tak ada yang lebih hebat dan lebih berpengaruh dari pihaknya. Kenyataan yang gandrung meremehkan (jika tak dapat disebut "menghina") orang-orang di luar puaknya, mendistorsi pikiran-pikiran lain yang berseberangan dengan kelompok terpandangnya, seolah-olah tak ada pikiran yang lebih bernas dari yang diproduksi oleh penalarannya. Kenyataan yang senantiasa memuja kegemilangan masa silam, bahwa orang-orang dari puaknya dulu begitu berjasa dalam membangun peradaban masa kini, yang tanpa mereka barangkali orang-orang masa kini masih membungkuk-bungkuk di hadapan raja-raja, seolah-olah tak ada yang lebih berjasa dari puaknya, tak ada yang lebih bekerja keras darinya, tak ada yang lebih pahlawan dari kaumnya. Kenyataan yang niscaya menang dalam segala hal, meskipun bila sungguh-sungguh dibuktikan secara empirik, alih-alih meraih kemenangan dalam sekian banyak kontestasi politik sejak republik ini berdiri, justru yang dialami adalah kekalahan bertubi-tubi, atau kepencundangan yang berkesinambungan. Mungkin itu sebabnya, glorifikasi alias kegandrungan mengagung-agungkan kejayaan masa silam itu, mesti disertai ungkapan sarkastik dan barbarik guna menutupi derita keterpurukan, sebagaimana yang diperankan oleh dramaturgi Emak-emak versus Walikota dalam ilustrasi pembuka di atas. 

Kedua, kelisanan yang memukau, puitik dan eksotik. Seperti lagu kanak-kanak dengan tekanan suara yang perlahan. Dari lecah lunau pematang. Hingga gurau di surau-surau. Mereka bersiap tanpa gagap. Menjahit sebuah buntalan. Bahkan saat bersiap-siap meninggalkan tanah kelahiran pun, mereka menjalaninya dengan suka cita dan penuh kerelaan. Di tanah ibu, selalu kepergian berkumandang. Sebab, tiada kan harum kampung ini bila para lelaki tak segera pergi (halaman 19). Entah kenapa, saya ingin mencurigai kalimat "tak segera pergi" itu sebagai skenario pengusiran paling santun, ketimbang petuah moral atau motivasi untuk meraih cita-cita. Betapa tidak? Tengoklah kini kampung yang sudah lama ditinggalkan itu dalam ungkapan Iyut pada sajak bertajuk Banjir Taram. Berkisah tentang Sinama, sungai yang telah melegenda, yang ia jadikan sebagai alas dari semua sajak di buku ini. Tujuh sungai bermuara di tujuh jorong. Membawa cerita-cerita gagal panen. Air bah menyapa rumah. Di lengang orang ke lapau. Di pintu rumah mereka bercerita. Sinama selalu singgah setiap tahun. Memeluk dusun-dusun. Tapi jarang sekali terdengar bisik. Cerita hutan dirusak. Tebing-tebing dikeruk. Kerakusan timba-menimba. Bait itu sengaja saya cuplik guna memperkuat kecurigaan bahwa nasihat-nasihat tentang merantau guna mengharumkan kampung, yang terus diulang-ulang itu, tak lebih dari modus terselubung untuk meleluasakan kerja kerakusan. Saya kebetulan lahir di Taram yang diabadikan Iyut Fitra dalam sajak itu. Bahkan jauh sebelum saya terbang hambur dari kampung, Batang Sinama sudah dikeruk tiada ampun. Sudah tak terhitung berapa ton pasir yang keluar dari dasar sungai itu. Entah berapa generasi pemilik sampan penambang pasir telah berganti, dan entah sudah berapa kali banjir besar hampir menenggelamkan kampung kelahiran saya itu. Jadi, meskipun ungkapan Kuyut (nama kecil Iyut Fitra) begitu etis dalam mengeksplorasi etos merantau, khususnya di Payakumbuh, di mata batin saya tetap saja terbaca sebagai kenyataan yang busuk. Pergilah kau merantau jauh-jauh, raihlah kejayaan, supaya harum nama kampungmu! Tapi di saat anak-anak rantau berjibaku hendak menggapai keharuman bagi tanah kelahiran mereka, kerakusan begitu leluasa bekerja. Para perantau bekerja keras demi harum nama kampung halaman, sementara para pemandu sorak etos merantau itu sendiri tak sudah-sudah "memperkosa" tanah kelahiran, bahkan hingga tak ada lagi kehormatan yang patut dibanggakan. 

Sinama dikeroyok ramai-ramai, hutan ditelanjangi setiap hari, aktivitas galian C di Batang Mungo selama puluhan tahun, telah memandulkan ratusan hektar lahan-lahan sawah produktif, adalah bukti tak terbantahkan dari "kerakusan yang timba-menimba" itu. Bila sekali waktu kerakusan itu ditegur atau sekadar diingatkan, maka kenekatan itu akan menghadapi dua kenyataan. Pertama, golongan pekerja yang berkacak pinggang dengan pangkal lengan besar yang seolah-olah dapat membereskan semua persoalan dengan gertak sambalnya. Kedua, kaum cerdik-pandai yang berselindung di balik tebing moralitas. Bahwa tidak baik mencari perkara dengan saudara sendiri, dan lagi pula hanya dengan mengeruk pasir di Sinama atau menebas tebing-tebing berisi batu kerikil, mereka bisa bertahan hidup. Nasib mereka tak semujur kalian para perantau. Atas dalih moral dan ketakmujuran, para cerdik-pandai itu membujuk, agar kerakusan itu senantiasa timba-menimba? Siapa sebenarnya mereka? Jangan-jangan yang gandrung bermuka jernih dengan topeng kaidah kesopanan, yang tak henti-henti menyampaikan petuah tentang kemuliaan merantau guna mengharumkan nama kampung itu, adalah bagian dari kerakusan, yang telah mendedahkan dekadensi tak terselamatkan di kampung halaman. Bila itu yang terjadi, maka ijinkan saya meminjam ungkapam vulgar Emak-emak di hadapan Walikota Padang. P*ntek! 

Sajak-sajak Kuyut yang terbukukan sebagai bagian ketiga dari trilogi sajak berpayung tematik merantau ini, seperti mengimbau-imbau perantau untuk pulang. Tapi bagaimana mau pulang, bila yang tersedia hanya luka yang mengalir dari hilir hingga hulu Sinama. Bagaimana mau pulang, kalau kepulangan itu telah ditolak diam-diam sejak langkah mula-mula keberangkatan? Bagaimana mungkin ada agenda kepulangan bagi orang-orang yang sejak pamit pada ibu, telah memastikan ajaran moral tentang merantau itu sebagai pengusiran yang lumayan beradab? Bagaimana mau pulang, kalau pintu gerbang kepulangan telah dipagari dengan ancaman dan kabar menakutkan, lalu dijaga oleh barisan serdadu yang digembleng secara khusus dengan ideology of hatred (ideologi kebencian). Hulu terbelenggu tunggu. Pergi terpanggil-panggil rindu. Kelak, ke tepian kita saling mencari. Gagap membaca peta dusun sendiri. Berapa kepergian terbayar sudah oleh tujuan. Kita pulang. Pada Kanak-kanak. Pada kisah dilantunkan ibu malam-malam. Begitu menggoda imbauan itu, Kuyut! Begitu lembut bunyinya. Begitu halus bisikannya. Seperti kisah-kisah ibu menjelang tidur. Seperti kecipak air di permukaan Sinama saat benang pancing disentakkan. Menyejukkan. Melenakan. Sukar dilupakan. Tapi semakin tekun Kuyut mengembangkan layar puitik tentang kampung halaman, secepat itu pula yang puitik dan eksotik itu mengalami distorsi menuju kedekilan, lantaran barbarianisme bahasa jalanan sebagaimana yang diperankan oleh Emak-emak seusia ibu saya, ketika seorang pemimpin bahkan hanya menyapanya dengan bahasa santun. Bagaimana saya mau menikmati ketakjuban pada uslub puitik yang lahir dari keadiluhungan rahim kultural Minangkabau, ketika yang direkam oleh semesta Big Data sejak 5 tahun terakhir, hanya umpatan kasar, sinisme keji, kemarahan tak jelas sasaran, akibat hipokrasi bertopeng undang-undang kesantunan, dan primordialisme tengik berbasis glorifikasi atas kejayaan lapuk di jaman entah. 

Bukankah Kuyut sudah memastikan bahwa ada tambo ditulis. Tiada kan ada nama kita di sana. Selain dongeng-dongeng semakin usang. Kampung tak bertemu. Istana entah di mana. Bila tahun-tahun kemudian. Ada mitos diagungkan (halaman 57-58). Maka, kisah-kisah agung tentang kegemilangan puak kita di masa entah, kehebatan demi kehebatan tak terkalahkan itu, moralitas level dewa dan keterpandangan yang konon bahkan tak lekang dihantam kepandiran itu, lalu perantauan demi perantauan demi harum nama tanah kelahiran kita itu, hanya mitos dan takhayul yang layak dikaramkan ke lubuk paling dalam di hulu Sinama. Maafkan saya, Kuyut... 


Damhuri Muhammad 
Esais. Kolumnis




DATA BUKU
Judul: SINAMA: Buku Puisi Ketiga dari Trilogi Merantau. Penulis: Iyut Fitra. Tebal 62 Hal. Penerbit: Kabarita, Padang. Juli 2020.






Comments

Popular Posts