Suara Azan dari Kandang Ayam


Legopagai, karya Aidil Usman
acrylic on paper. A3


Bila subuh tiba, ayam jantan bernama Jilatanglayua tak berkokok serupa ayam lain, tapi mengumandangkan azan. Hayya 'ala asholaah...Hayya 'ala asholaah!...Melenting dengan tartil Pakistan. Memiuh-memiuh perasaan. Orang-orang bergegas ke Masjid, bukan karena azan payah si Bilal Afkir, tapi karena merdunya azan Jilatanglayua. “Ini tak bisa dibiarkan!” kata Imam Masjid. Ia cemas, jamaah bisa percaya pada ayam ketimbang ustadz. Sekali waktu, Jilatanglayua tak hanya azan. Saat shalat berlangsung, paruhnya komat-kamit, membaca Qunut. Allahummahdina fiman hadait. Wa ‘afina fiman ‘afait. “Nasihati ayammu, Palar! Kalau begini ia bisa didaulat jadi imam! Betapa sesatnya kita, shalat dipimpin seekor ayam!” kata Ngku Jawahir, Ketua Ta’mir Masjid. Palar tak bisa berbuat banyak. Ia hanya ingat kekalahan terakhir di arena judi sabung. Lawan Jilatanglayua ringan. Ayam kemarin sore. Tapi ia menyerahkan dirinya untuk diserang. Tanpa balas, hingga babak belur. Subuh di hari kalah itu, ia berkokok samar. Bila disimak betul-betul, membentuk lafal azan. Lama-lama azannya makin jernih, tak tertandai lagi sebagai kokok. “Datang ke Masjid atas panggilan seekor ayam, hukumnya haram!” begitu fatwa Majelis Ulama. “Tanpa Jilatanglayua, tak ada penanda subuh. Urusan ayam saja kau fatwakan,” bantah Sutandiatas. Jamaah terbelah. Sebagian patuh fatwa ulama, sebagian mendukung Sutandiatas, tapi mayoritas percaya pada tarekat si ayam jantan. Majelis Ulama dan Sutandiatas berdebat panas. Sampai ada ancaman akan mempolisikan ayam itu atas dalil pencemaran agama. Satu jamaah terpapar virus menular. Masjid dikunci. Mihrab dipagar garis polisi. Bilal Afkir takut mati. Satu-satunya penanda subuh hanya suara dari kandang ayam. Hayya 'ala asholaah...Hayya 'ala asholaah...


Damhuri Muhammad 
2020











Comments

Popular Posts