MENCARI INDONESIA

 

DAMHURI MUHAMMAD


(versi cetak artikel ini tersiar di harian Kompas, 14 Agustus 2018)


https://www.instagram.com/p/CD-TmWpgqFe/
IG: @casuals.crew




“Apa arti Indonesia bagi Ong?” tanya Andi Achdian pada sejarawan Onghokham (1933-2007) dalan sebuah obrolan ringan, sebagaimana dinukilkan dalam Sang Guru dan Secangkir Kopi (2011). “Bila tidak ada Indonesia, kau akan berjalan membungkuk-bungkuk di hadapan raja-raja Jawa,” balas Ong dengan intonasi datar. 

Bagi doktor jebolan Yale University AS (1975) itu, Indonesia adalah sebuah konstruksi kenyataan yang memungkinkan persamaan di antara warga negara, dan membebaskan orang dari ikatan primordial dari Sabang sampai Merauke. Indonesia adalah pencapaian paling ajaib sebuah negara-bangsa dengan wilayah geografis yang sebanding dengan perjalanan dari London menuju Istambul, dari ujung barat sampai timur. Gerakan separatisme di Aceh dan Papua tidak mengakibatkan balkanisasi, tidak pula terbelah sebagaimana India menjadi Pakistan dan Bangladesh (1947). 

Suatu ketika, siswa-siswa Sekolah Menengah Belanda (HBS) ditawari pilihan menjadi warga negara Belanda atau tetap menjadi orang Indonesia. Dari puluhan siswa di kelas itu hanya satu yang memilih Indonesia. Orang itu bernama Onghokham, sejarawan nyentrik yang di era 1980-1990-an produktif menyiarkan tulisannya di Kompas, Tempo, dan Prisma. Ia berbeda haluan dengan Sartono Kartodirjo dan Nugroho Notosusanto, dua sejarawan yang hampir menjadi penentu hitam-putihnya historiografi Indonesia. Alih-alih predikat guru besar, kepangkatan pegawai pun tak ia urus, bahkan sampai pensiun. 

Andai saja Ong bangkit dari kubur, tentu ia akan turut berkomentar perihal kontroversi akibat insiden bendera saat sprinter Indonesia, Lalu Muhammad Zohri, meraih kemenangan di Kejuaraan Dunia Atletik U20 kategori lari 100 m di Finlandia (11/7/18). Media menyebarluaskan foto-foto Zohri yang menyelimuti tubuhnya dengan bendera merah putih, yang ternyata bukan bendera dari ofisial, tapi bendera Polandia dalam posisi terbalik. Disebut-sebut, seorang penonton berempati pada sang juara dengan meminjamkan bendera negaranya, lantaran ofisial Zohri terlambat memberikan bendera merah putih yang asli. 

Kontroversi serupa juga mengemuka pada 15 Agustus 2016. Berselang dua hari sebelum gegap gempita karnaval ulang tahun kemerdekaan RI 71, seorang menteri secara terhormat diberhentikan dari jabatannya. Pencopotan diselenggarakan lantaran status kewarganegaraan asing yang melekat pada menteri bersangkutan. Bila dihitung dari waktu pelantikan hingga waktu pemberhentian, maka umur jabatan menteri itu tiada lebih dari 20 hari. Kelak, sejarah akan mencatat masa jabatan menteri paling pendek, disertai catatan kaki tentang seleksi anggota kabinet paling ceroboh yang pernah ada. 

Perihal menipisnya sidik jari keindonesiaan atau mengentalnya mentalitas inferior “menjadi-indonesia”, hingga makin banyak anak-anak bangsa dalam berbagai profesi di luar negeri, yang tak segan-segan melepas baju keindonesiaan dengan rupa-rupa dalih dan pertimbangan, saya teringat upaya gigih seorang putra Indonesia yang terbuang bertahun-tahun di negeri orang, guna mendapatkan kembali Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesianya. Saya sebut saja namanya Sobron Aidit (1934-2007). Sejak 1964, Sobron bekerja sebagai pengajar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing, selain berkhidmat sebagai wartawan Peking Review. Tak berselang lama sejak ia berdomisili di Beijing, tersiar kabar tentang tewasnya Bang Amat─begitu Sobron memanggil kakaknya, DN.Aidit─setelah dibunuh tentara di Boyolali, Jawa Tengah. Karena sedang berada di Beijing, Sobron dan keluarga, serta ratusan orang Indonesia lainnya, selamat dari penumpasan rejim Orba. Mereka terpaksa bermukim di Tiongkok sambil terus berharap bisa pulang ke tanah air suatu saat kelak. Namun, harapan itu tak pernah kesampaian, pemerintahan Orde Baru rapat-rapat menutup pintu bagi mereka. Akhirnya, Sobron Aidit menggelandang di negeri orang. 18 tahun di Tiongkok, 21 tahun di Paris, Prancis. 

Pada 1982, Sobron bersama Umar Said, JJ.Kusni, Ibbaruri (putri D.N Aidit) dan kawan-kawan sesama eksil lainnya mendirikan sebuah restoran Indonesia di Rue de Vaugirard, jantung kota Paris. Apa yang sebenarnya hendak dicari Sobron? Selain untuk bertahan hidup, restoran itu menjadi saksi bahwa kaum eksil tak sungguh-sungguh merasa terasing dari tanah air mereka, Indonesia. Di restoran itu mereka sajikan aneka masakan khas Indonesia, dari Nasi Rawon, Gudeg Jogja, hingga Rendang Padang, seolah-olah mereka tak sedang berada di negeri orang.Banyak aral melintang yang menghadang Sobron selepas mendirikan restoran itu. KBRI Perancis mengeluarkan maklumat larangan berkunjung ke restoran milik orang-orang kiri itu, meski tak banyak yang mematuhinya. ”Masa’ makan di restoran saja dilarang?” tanya Sobron dalam buku Melawan dengan Restoran (2007) yang ia tulis bersama Budi Kurniawan. 

Pertentangan ideologis masa lalu telah membuat hidup Sobron Aidit selalu berada di bawah tekanan dan ancaman, bahkan dalam urusan restoran yang tujuannya hanya untuk menyediakan lapangan kerja bagi kaum eksil pun dihubungkan dengan perkara ideologi. Tapi, begitulah Sobron. Bila lewat restoran itu ia dapat melawan, tak bakal ia sia-siakan peluang itu. Nasib kaum eksil yang terkatung-katung selama berbilang tahun di negeri orang harus diperjuangkan. Lewat menu makanan, Sobron menyemarakkan semangat keindonesiaan di restoran yang kelak menjadi tempat berkumpul bagi para pejabat tanah air saat melancong ke Paris. Mantan presiden Gus Dur berkali-kali singgah di sana. 

Meski jauh, tapi hampir setiap hari tulisan-tulisan Sobron dapat dijumpai di berbagai mailinglist. Ia berdiskusi bahkan tak jarang berdebat sengit dengan kawan-kawan penulis muda tanah air. Sobron maniak diskusi, meski usianya sudah renta. Ia tak pernah abai pada kritik dan tanggapan kawan-kawan sesama anggota mailinglist terhadap tulisan-tulisannya. Selalu dibalas, dan balasan itu lebih panjang dari esainya yang sedang jadi pusat perhatian. Dalam sehari, tak kurang dari 3-4 tulisan ia kirimkan. Rata-rata panjangnya lebih dari 8 halaman. Sebuah gambaran tentang energi kreatif yang tiada pernah sumbing meski usianya masa itu sudah berkepala tujuh. Dapat dibayangkan betapa tekunnya ia duduk berlama-lama di depan komputer. Beberapa hari sebelum Sobron meninggal dunia, 10 Februari 2007, seperti diceritakan salah seorang anaknya, ia terpeleset dan jatuh di sebuah stasiun bawah tanah di Paris saat mencari layanan internet. Lagi-lagi untuk urusan berkomunikasi dengan kawan-kawan di Indonesia. Hingga ajal datang menjemputnya, Sobron masih tercatat sebagai pemegang paspor Prancis, tapi Indonesia adalah nyala yang tak kunjung padam dalam tarikh hidupnya. 

Sobron dan Onghokham adalah anomali dalam gerombolan anak-anak muda yang tak segan menghapus sidik jari Indonesia di tubuh mereka. Ada yang berupaya keras merebut kembali napas keindonesiaan yang hilang dari tubuhnya, ada pula yang jumawa sebagai Malin Kundang, mengunci pintu kerinduan pada rahim bernama Indonesia. Orang yang mencari Indonesia hingga napas penghabisan seperti Sobron, dan orang yang tak merdeka tanpa identitas keindonesiaan seperti Onghokham sudah tiada. Yang tersisa hanya jargon “NKRI Harga Mati” yang sama-sama diteriakkan oleh dua sayap politik yang terus berseteru. Alih-alih memperkokoh tiang-tiang penyangga Indonesia, jargon itu justru membangkitkan kecemasan pada ketercabikan yang sukar diselamatkan. 

  

Damhuri Muhammad
Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta

 


Comments

Popular Posts